1. Masa Muda dan Perjalanan Panggilan
Karol Josep Wojtyla (nama asli Paus Yohanes Paulus II) lahir di Wadowice, Polandia pada 18 Mei 1920 dari pasangan Karol Wojtyla (seorang opsir pada tantara kekaisaran Habsburg Austria) dan Emilia Kaczorowska Wojtyla.Â
Dia adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Sebagai keluarga Katolik tulen, dia dibaptis oleh Pastor Franciszek Zak pada 20 Juni 1920. Seperti kanak-kanak lainnya, pertumbuhan Karol Wojtyla dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya, terutama dengan komunitas Yahudi di Krakow. Namun, perkembangan mental-kepribadian dan pemikirannya justru dibentuk oleh situasi derita yang senantiasa merajam diri dan kehidupannya dari kanak-kanak.
Pada usia Sembilan tahun, dia kehilangan ibunya yang tercinta (meninggal dunia tahun 1929). Pada tahun 1932, Edmund, saudaranya juga meninggal. Kepergian sang ibu dan saudaranya tidak mematahkan semangatnya untuk melanjutkan dan memperjuangkan hidupnya. Kendatipun berat, dia mampu menyelesaikan Pendidikan di Sekolah Menengah Atas. Demi meraih impiannya, dia dan ayahnya memutuskan untuk tinggal di Krakow supaya bisa melanjutkan kuliahnya di bidang Filologi Bahasa Polandia, Fakultas Filsafat, Universitas Jaghelonika.Â
Semangatnya dalam dunia pendidikan terhenti dengan munculnya Perang Dunia ke II pada 1 September 1939. Selama priode Perang Dunia ke II ini, Universitas-universitas ditutup dan sejumlah guru besar dibunuh oleh penguasa Jerman di kamp konsentrasi di Sachenhausen. Untuk menyelamatkan diri dari aksi deportasi ke Jerman, pada tahun 1940 hingga 1944, dia bekerja sebagai buruh di pertambangan batu dan pabrik kimia Solvay.
Akibat dari Perang Dunia ke II, dia haru kehilangan Ayahnya untuk selamanya (tahun 1941). Namun, kehilangan ayahnya tidak mematahkan semangatnya untuk melanjutkan kehidupannya, justru dalam situas tragis hidupnya ini, semakin memotivasi dirinya untuk menggapai impiannya menjadi seorang imam, dengan tujuan untuk mendekatkan diri dengan mereka yang menderita dan berbuat untuk mereka.
Untuk mewujudkan impian sucinya menjadi seorang imam, dia mengawali Pendidikan Seminari Menengah secara klandestin di bawah bimbingan Kardinal Adam Stefan Sapieha, Uskup Agung Krakow. Sebagai seminaris, dia berusaha mengembangkan aneka kemampuan yang dimilikinya. Berkat kemauan dan kerja kerasnya ini, dia menjadi seorang olahragawan, pemain sepak bola, pemain sandiwara, penulis sandiwara, dan menguasai beberapa Bahasa, seperti Bahasa Polandia, Slovakia, Rusia, Italia, Prancis, Spanyol, Portugis, Jerman, Inggris dan Bahasa Latin Gerejawi. Untuk mengasah dan mengembangkan bakatnya dalam bidang teater, dia bersama seminaris lainnya mendirikan "Teater Rhapsodik."
Setelah Perang Dunia II berakhir pada tahun 1945, sekolah-sekolah tinggi, termasuk Seminari Tinggi dibuka kembali dan para seminaris kembali bergumul dengan hari-hari mereka di bangku studi. Kesempatan ini dimanfaatkan untuk melanjutkan pendidikannya di Fakultas Teologi Universitas Jagiellonian.
Pada 1 November 1046, dia dithabiskan menjadi imam dan ditugaskan untuk belajar di Universitas Angelicum di Roma. Di bawah bimbingan Garriou Lagrangge (seorang teolog ternama dari Ordo Dominikan), dia menulis dan mempertahankan tesis doktoralnya dengan tema: "Doctrina de fide apud Sanctum Loanneum Cruce" (Iman dalam kesaksian Santo Yohanes dari Salib) pada tahun 1948.Â
Sekembalinya ke tempat kelahirannya, dia ditugaskan menjadi Pastor untuk Mahasiswa sambal melanjutkan studinya di Universitas Katolik Lubin dan meraih doktor di bidang Teologi Moral dan Filsafat pada tahun 1953. Tesis doktoral yang ditulisnya berjudul, "Evaluation of the Possibility of Founding a Catholic Ethic on Ethical System of Max Scheler", berkat dedikasinya dalam dunia Pendidikan, pada tahun 1954, dia dinobatkan menjadi Guru Besar di bidang Teologi Moral dan Etika Sosial di Seminari Tinggi Krakow dan di Fakultas Teologi Lubin.
=Pada tanggal 4 Juli 1958, Paus Pius XII mengangkatnya menjadi Uskup Auxilier Keuskupan Krakow dan menerima tahbisan episkopat dari tangan Uskup Agung Egeniusz Baziak di gereja Katedral Wawel, Krakow pada 28 September 1958. Pada 13 Januari 1964, Paus Paulus VI mengukuhkan dirinya sebagai Uskup Agung Krakow. Sebagai Uskup, dia diundang untuk menghadiri Konsili Vatikan II. Dia berperan aktif dengan menyumbangkan buah-buah pikiran yang sangat berarti dalam penyusunan Konstitusi Pastoral Gereja dalam Dunia Modern (Gaudium Et Spes) dan deklarasi tentang Kebebasan Beragama (Digitatis Human) dan dekrit tentang Alat-alat Komunikasi Sosial.
Pada 26 Juni 1967, Paus Paulus VI mengangkatnya menjadi Kardinal. Setelah Paus Paulus VI wafat pada Agustus 1978, dia menghadiri konklaf di Vatikan untuk memilih Paus yang baru. Dalam tuntunan Roh Kudus, konklaf memilih Kardinal Albino Luciani (Kardinal Venezia) sebagai pemimpin Gereja Roma yang baru dengan nama Paus Yohanes Paulus I. ketika diangkat menjadi Paus, beliau berumur 65 tahun. Namun, dalam usia kepemimpinannya yang masih relatif singkat, yakni tiga pulu tiga hari, dia dipanggil sang Pencipta untuk menghadap hadirat-Nya.
Pada 28 September 1978, diadakan konklaf kePausan untuk memilih pengganti Paus Yohanes Paulus I. Dalam pemilihan ini, peserta konklaf memutuskan Kardinal Karol Wojtyla sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma yang baru. Dia dipilih pada usia 58 tahun. Sebagai Paus, dia memilih nama Yohanes Paulus II sebagai rasa hormat kepada pendahulunya, Paus Yohanes Paulus I. Pengganti Rasul Petrus yang ke 263 ini adalah Paus pertama asal Polandia.
Sejak memangku jabatan Tahta Kepausan, Karol Josef Wojtyla mempunyai kehendak yang kuat untuk memperjuangkan Hak Asasi Manusia, kebebasan beragama, hak para buruh, hak atas Pendidikan agama di sekolah serta menghidupkan Gereja di tengah kekuasaan rezim komunis yang menanamkan paham ateisme, materialisme dan sekularisme kepada kalangan umat beragama Katolik di Polandia.Â
Semangat perjuangan berpuncak pada pembentukan sebuah gerakan ekumenis di kalangan Gereja Kristen, serta menjalin kontak yang bertema persaudaraan dengan kaum non-Kristiani demi terciptanya kerukunan antarumat beragama. Pergerakan ekumenis ini terwujud melalui aneka pertemuan di antara pemimpin Gereja, penyelenggaraan ibadat bersama dan khutbah di Gereja Lutheran di Roma; sedangkan gerakan dalam menciptakan kerukunan di antara umat beragama yang berbeda keyakinan dilakukan melalui kunjungan ke Sinagoga Yahudi, Mesjid Umayah di Damsyik dan acara doa bersama yang dihadiri oleh utusan dari semua agama di assisi. Derap perjuangan dirumuskan dalam ensiklik pertamanya tentang berbagai aspek penebusan dan pengutusan Gereja untuk berdialog dengan semua bangsa demi penyelamatan manusia, "Redemtoris Hominis".
2. Wafat dan Kanonisasi
Pada tanggal 31 Maret 2005, Paus Yohanes Paulus II mengalami situasi septic shock akibat dari penyebaran infeksi disertai demam tinggi dan menurunnya tekanan darah karena adanya infeksi di saluran kemih. Dalam situasi batas yang dialaminya ini, Kardinal Stanislaw Dziwisz, yang adalah sekertaris pribadinya memberikan sakramen Pengurapan Orang Sakit kepadanya.Â
Tanggal 2 April 2005, sekitar pukul 15:30 CEST, dia mengalami koma selama kurang lebih empat jam. Dia menghembuskan nafas terakhirnya di apartemen pribadinya pada jam 21:37 CEST akibat gagal jantung karena tekanan darah rendah serta penghentian perderaan darah. Dia meninggal dunia pada usia 85 tahun, 46 hari. Misa Requiem dipimpin oleh Joseph Kardinal Ratzinger yang pada saat itu menjabat sebagai dekan Dewan Kardinal. Misa penguburan ini dihadiri oleh 180 kardinal dari berbagai negara dan berbagai kepala negara.
Sembilan tahun setelah wafatnya, dia dikanonisasikan menjadi Santo. Landasan Gereja untuk memberikan gelar kudus kepadanya karena pri hidupnya dan aneka mukjizat yang terjadi dan dialami oleh kaum beriman yang sembuh dari sakit setelah berdia di pusarannya. Mukjizat kesembuhan pertama dialami oleh Sr. Marie Simon Pierre, biarawati Prancis dari Konggregasi Little Sister of Catholic Maternity Wards pada Mei 2008. Dia disembuhkan dari penyakit Parkinson yang dialaminya. Mukjizat kedua terjadi pada 2 April 2009. Seorang anak laki-laki Polandia yang menderita kanker ginjal dan tidak bisa berjalan disembuhkan dari penyakit yang dialaminya ini. Di samping kedia mukjizat ini, masih ada mukjizat lain yang terjadi dalam masa kepemimpinannya sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma. Data ini dimuat dalam artikel Miraculous Healing Attributed to Jhon Paul II, di majalah Love one Another, nomor 5 oleh Heights pada tahun 2005.
Pada tanggal 1 Mei 2011, Paus Benediktus XVI menganonisasikannya sebagai Beato di lapangan Basilika St. Petrus Roma. Akhirnya, dia dikanonisasikan sebagai orang Kudus bersama Paus Yohanes XXIII oleh Paus Fransiskus, pada 27 April 2014 di Basilika St. Petrus Roma pada hari minggu pertama setelah Paskah (Hari Kerahiman Ilahi).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H