Mohon tunggu...
Rengga Yudha Santoso
Rengga Yudha Santoso Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer and Writer from STKIP PGRI NGANJUK

Yang biasa bilang Salam LITERASI seharusnya perlu introspeksi sejauh mana berliterasi, apa jangan-jangan hanya sekedar ucapan tanpa aktualisasi agar mendapat apreasiasi? - Rengga Yudha Santoso (a.k.a halalkiri)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kafir: Kajian Filsafat Ringan Tentang Jelajah Lorong Pengetahuan Dari "Tahu" Menuju "Paham"

21 Juli 2024   10:55 Diperbarui: 21 Juli 2024   11:00 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(DIKW) adalah sebuah model yang dikonsep oleh Russell Lincoln Ackoff. Sumber gambar: bahan ajar penulis

Tulisan penulis ini merupakan pengembangan dari proses pembelajaran filsafat di tempat penulis berkarya dan bekerja disalah satu kampus swasta. Pengembangan ini dilakukan karena ketika penulis membuka kelas KAFIR, hanya 3 (tiga) mahasiswa yang hadir. Dari sinilah penulis membawa keresahannya kedalam tulisan.

Pernahkah kita merasa bingung dengan suatu keadaan dan ingin mencari jawaban yang lebih dalam? Atau ingin memahami suatu konsep dengan lebih menyeluruh atau holistik? Di sinilah filsafat hadir untuk membantu.

Filsafat bukan tentang menghafal rumus atau teori yang rumit, melainkan tentang mengembangkan cara berpikir yang kritis dan analitis (metode berpikir).

Apakah kita sudah yakin mampu membedakan antara "Tahu" dengan "Paham"?, jika sudah tahu belum tentu paham, jika paham hanya sebatas batang/tangkai pengetahuan, maka belum sepenuhnya tahu.

Secara ontologis jika dielaborasikan dengan Aksioma maka sebuah adanya "asumsi dasar yang diterima kebenaran tanpa perlu pembuktian".

Pertama, hubungan dengan "tahu". Disini penulis memadukan dengan pemikiran menurut James C. Snyder dan Anthony J. Cattanse dalam Introduction of Architecture. Dimana penulis mengkaji kedalam kaidah "metafora", karena metafora merupakan tindakan mengidentifikasi pola yang mungkin terjadi dari hubungan parallel dengan melihat keabstrakannya, maka permisalannya menjadi sebagai berikut:

"Seseorang yang tahu sesuatu mungkin berpegang pada aksioma yang belum diuji secara kritis, sehingga pengetahuannya terbatas dan mudah goyah".

Kedua, hubungan dengan "paham" yang sama menggunakan metafora, maka permisalannya menjadi sebagai berikut:

"Seseorang yang paham sesuatu telah mempertanyakan dan menganalisis aksioma yang mendasarinya, sehingga pengetahuannya lebih kokoh dan fleksibel".

Contoh:

  • Seseorang yang tahu bahwa bumi itu datar mungkin berpegang pada aksioma ini tanpa mempertanyakannya.
  • Namun, orang yang paham tentang sains telah mempertanyakan aksioma bumi datar dan menemukan bukti yang menunjukkan bahwa bumi itu bulat.

Maka dari penjelasan diatas dapat ditarik kedalam sebuah filsafat, yang mengajarkan untuk mempertanyakan segala sesuatu, mencari akar permasalahan, dan melihat berbagai sudut pandang. Seperti penjelasan dalam piramida DIKW yang menjelaskan setiap tingkatan menjawab pertanyaan tentang data awal dan menambah nilai dari data tersebut. Semakin kaya data yang dimiliki, maka semakin banyak pengetahuan dan wawasan yang didapatkan, sehingga perusahaan Anda mampu menggunakan data untuk pengambilan keputusan yang lebih baik.

(DIKW) adalah sebuah model yang dikonsep oleh Russell Lincoln Ackoff. Sumber gambar: bahan ajar penulis
(DIKW) adalah sebuah model yang dikonsep oleh Russell Lincoln Ackoff. Sumber gambar: bahan ajar penulis

Secara aksioma, seseorang yang berpikir secara mendalam (radikal) berarti berfilsafat dengan sebutan filosof yang mencintai kebijaksanaan. Maka dengan berfilsafat, kita tidak perlu takut untuk belajar dan mencari pengetahuan baru. Justru, filsafat membantu kita untuk memahami dunia dengan lebih baik dan menjadi pribadi yang lebih bijaksana.

Jika dilihat dari segi praktis, filsafat berarti alam pikiran atau alam berpikir. Berfilsafat berarti sudah melakukan aktivitas didalam otak yang dinamakan berpikir. Namun tidak semua orang yang berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat merupakan tindakan berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh (sampai bertemu dengan akar). Sebuah semboya dikatakan bahwa "Setiap manusia adalah filosof". 

Semboyan ini benar karena pada dasarkan manusia melakukan aktivitas otak 100% setiap hari klaim dari Dokter Ryu Hasan seorang ahli saraf (neurologist) terkenal di Indonesia. Ia dikenal melalui berbagai kontribusinya di bidang kesehatan, terutama neurologi. , namun tidak sepenuhnya terverifikasi kebenarannya. Namun tidak sepenuhnya dapat dikatakan benar secara umum bahwa "Setiap manusia adalah filosof", karena tidak semua manusia yang berpikir adalah filosof.

Jadi dapat kita simpulkan bersama, bahwa filosof hanyalah orang yang memikirkan "hakikat sesuatu" dengan sungguh-sungguh dan mendalam sampai keakar-akarnya.

Misalkan muncul pertanyaan yang sering diucapkan pada entitas komunal yang sebenarnya berminat menyelami filsafat namun merasa inferior dengan dogma agama tertentu. "Apakah berfilsafat bertentangan dengan dogma agama?"

Berfilsafat tidak bertentangan dengan agama. Keduanya dapat saling melengkapi dalam pencarian kebenaran dan pemahaman realitas. Filsafat justru menyediakan alat analisis rasional untuk memahami ajaran agama secara lebih mendalam. Sementara agama memberikan fondasi moral dan spiritual bagi pemikiran filosofis. Banyak pemikir muslim seperti Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd telah memadukan filsafat dengan agama dalam karya-karya mereka.

Al-Ghazali dalam "Tahāfut al-Falāsifah" mengkritik beberapa pandangan filsuf, namun tetap menggunakan metode filosofis. Ibnu Rusyd dalam "Tahāfut al-Tahāfut" berupaya mendamaikan filsafat dengan agama (Fakhry, 2004). Selanjutnya Al-Qur'an sendiri mendorong perenungan dan pemikiran, misalnya dalam Surah Ali 'Imran ayat 190-191 yang mengajak untuk merenungkan penciptaan alam semesta.

Maka mari kita berani berfilsafat dan membuka cakrawala pengetahuan kita!

Urgensi Atau Normalisasi: Perlunya Filsafat Untuk "Tahu Menuju Paham"

Di lautan informasi yang luas atau dalam bahasa sederhana secara kodrati lahiriah, kita semua merupakan penjelajah yang haus akan pengetahuan. Dalam perjalanan ini, kita sering menemui dua kata kunci: tahu dan paham. Meskipun terlihat mirip, keduanya memiliki perbedaan yang cukup besar dalam memengaruhi bagaimana kita memahami dunia di sekitar kita.

Bayangkan "tahu" seperti peta sederhana. Ia memberi tahu kita bahwa sesuatu ada, tapi tidak selalu menjelaskan apa artinya. Misalnya, kita mungkin tahu rumus fisika, tapi belum tentu bisa menjelaskan mengapa rumus itu penting atau bagaimana ia bekerja dalam kehidupan sehari-hari.

Sementara itu, "paham" lebih seperti kompas yang membimbing kita ke pemahaman yang lebih dalam. Ketika kita paham tentang fisika, kita tidak hanya bisa menggunakan rumus, tapi juga bisa menjelaskan fenomena alam, memprediksi hasil percobaan, bahkan mungkin menciptakan teknologi baru.

Perbedaan ini menjadi lebih jelas jika kita lihat dari segi ontologi (hakikat sesuatu), epistemologi (cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologi (nilai dan keyakinan). Orang yang paham biasanya lebih kritis dalam menerima informasi, lebih fleksibel dalam berpikir, dan lebih objektif dalam menilai.

Penelitian terbaru mendukung pentingnya pemahaman mendalam ini. Misalnya, Schank & Cleary (2015) menemukan bahwa orang yang benar-benar paham suatu konsep bisa menggunakannya dalam berbagai situasi yang berbeda. Ini berbeda dengan orang yang hanya tahu, yang mungkin kesulitan jika dihadapkan pada situasi baru.

Brookfield (2017) juga menekankan pentingnya refleksi kritis dalam proses pemahaman. Menurutnya, kita perlu terus mengevaluasi asumsi dan nilai-nilai kita sendiri untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam.

Dalam dunia pendidikan, McDermott (2020) menganjurkan metode pembelajaran yang fokus pada pemahaman mendalam, bukan sekadar menghafal informasi. Ini penting untuk mempersiapkan siswa menghadapi tantangan dunia yang semakin kompleks.

Begitu pentingnya belajar berfilsafat sejak dini, karena filosofi memberikan alat yang kuat untuk mengembangkan pemahaman mendalam ini. Lipman (2017) dalam bukunya "Philosophy Goes to School" menegaskan bahwa mengajarkan filsafat kepada anak-anak dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan etis mereka. Penelitian yang dilakukan oleh Gorard et al. (2015) menunjukkan bahwa siswa yang terlibat dalam program filsafat untuk anak menunjukkan peningkatan signifikan dalam kemampuan penalaran dan keterampilan sosial.

Lebih lanjut, Trickey & Topping (2014) dalam studi meta-analisis mereka menemukan bahwa pendidikan filosofi untuk anak-anak memiliki dampak positif pada kemampuan kognitif, termasuk pemahaman bacaan dan matematika. Ini menunjukkan bahwa belajar berfilsafat tidak hanya meningkatkan kemampuan berpikir abstrak, tetapi juga membantu dalam bidang akademik lainnya.

Dalam konteks dunia yang semakin kompleks dan penuh tantangan, kemampuan untuk berpikir secara filosofis menjadi semakin penting. Nussbaum (2018) dalam bukunya "Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities" berpendapat bahwa pendidikan filosofi penting untuk mempertahankan demokrasi dan mengatasi tantangan global. Ia menekankan bahwa kemampuan untuk berpikir kritis, berempati, dan memahami perspektif yang berbeda - semua keterampilan yang dikembangkan melalui filosofi - sangat penting dalam masyarakat yang beragam dan saling terhubung.

Jadi, perjalanan dari tahu menuju paham adalah proses yang terus berlanjut, dan filosofi menyediakan alat yang berharga dalam perjalanan ini. Kita terus belajar, bertanya, dan menghubungkan informasi. Dengan memahami perbedaan antara tahu dan paham, serta mengembangkan kemampuan berpikir filosofis sejak dini, kita bisa menjadi penjelajah pengetahuan yang lebih baik, siap menghadapi tantangan dan peluang di masa depan.

Referensi:

  • Brookfield, S. D. (2017). Becoming a critically reflective teacher. John Wiley & Sons.
  • Gorard, S., Siddiqui, N., & See, B. H. (2015). Philosophy for Children: Evaluation report and executive summary. Education Endowment Foundation.
  • Lipman, M. (2017). Philosophy goes to school. Temple University Press.
  • McDermott, L. C. (2020). A perspective on teacher preparation in physics and other sciences: The need for special science courses for teachers. Science Education, 104(2), 188-205.
  • Nussbaum, M. C. (2018). Not for profit: Why democracy needs the humanities. Princeton University Press.
  • Schank, R. C., & Cleary, C. (2015). Making machines smart. Cognitive Science, 39(7), 1543-1552.
  • Trickey, S., & Topping, K. J. (2014). Philosophy for children: a systematic review. Research Papers in Education, 29(3), 349-378.

Semoga bermanfaat. Masalah setuju atau tidak silahkan diview beberapa referensi yang dijadikan basis analisis argumen dalam redaksinya, dan jangan lupa tinggalkan komentar yang konstruktif baik berguna atau tidak berguna, sebagai sarana refleksi. Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun