Hick mengusulkan bahwa berbagai tradisi agama dapat dilihat sebagai respons yang berbeda terhadap realitas transenden yang sama. Teori ini dapat membantu memahami bagaimana "beragama tanpa Tuhan" dapat diterima dalam kerangka pluralisme yang lebih luas (Hick, 1989).
2. Konsep "Civil Religion" dari Robert Bellah:
Bellah mengusulkan bahwa masyarakat modern membutuhkan semacam "agama sipil" yang dapat menyatukan warga negara tanpa mengabaikan keragaman agama. Pancasila dapat dilihat sebagai bentuk "agama sipil" Indonesia yang menyediakan kerangka etis bersama (Bellah, 1967).
3. Teori "Overlapping Consensus" dari John Rawls:
Rawls mengusulkan bahwa masyarakat plural dapat mencapai stabilitas melalui konsensus yang tumpang tindih di antara berbagai pandangan komprehensif yang reasonable. Ini dapat diterapkan pada konteks Indonesia untuk memahami bagaimana berbagai kelompok agama dan non-agama dapat hidup berdampingan dalam kerangka Pancasila (Rawls, 1993).
Dengan demikian, maka konsep "beragama tanpa Tuhan" dan toleransi Pancasila menggambarkan kompleksitas hubungan antara agama, negara, dan masyarakat di Indonesia. Meskipun ada tantangan dalam implementasi, kerangka hukum dan filosofis Indonesia menyediakan ruang untuk mengakomodasi keragaman keyakinan, termasuk yang tidak berpusat pada konsep ketuhanan tradisional. Pancasila, sebagai ideologi nasional, berperan penting dalam menjembatani perbedaan dan mempromosikan toleransi di tengah keragaman Indonesia.
Namun, diperlukan upaya berkelanjutan untuk menerjemahkan prinsip-prinsip ini ke dalam praktik sosial dan kebijakan publik yang inklusif.
Tantangan dan Peluang
Meskipun Pancasila menawarkan kerangka kerja yang inklusif, penerapannya dalam mendukung pluralisme spiritual tidak selalu mulus. Tantangan utama termasuk intoleransi dan diskriminasi yang masih sering terjadi terhadap kelompok minoritas spiritual. Namun, dengan semakin meningkatnya kesadaran akan pentingnya keberagaman dan inklusi, ada peluang besar untuk memperkuat penerapan nilai-nilai Pancasila dalam mendukung pluralisme spiritual (Arifianto, 2020).
Analisis lebih lanjut dari penulis menunjukkan bahwa tantangan dalam penerapan pluralisme spiritual di Indonesia tidak hanya berasal dari masyarakat, tetapi juga dari interpretasi dan implementasi kebijakan pemerintah yang terkadang kurang konsisten. Misalnya, meskipun UUD 1945 menjamin kebebasan beragama, masih ada kebijakan yang cenderung mendiskriminasi kelompok minoritas spiritual tertentu (Hefner, 2018).
Dari segi hukum, Indonesia sebenarnya memiliki landasan yang kuat untuk mendukung pluralisme spiritual. Selain Pancasila, dasar hukum yang relevan meliputi:
- UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) yang menyatakan: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."
- UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 22 yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan.
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang mengakui hak penghayat kepercayaan untuk mencantumkan kepercayaannya di kolom agama pada KTP.