Menguji Sila Pancasila: Implikasi Kematian Afif Maulana pada Nilai-Nilai BangsaÂ
DISCLAIMER:
- Tulisan ini di dedikasikan sebagai respon dan bentuk kepedulian dan empati penulis sebagai akademikus untuk memberikan sedikit sumbangsih pemikiran dalam kasus kematian Afif Maulana (siswa SMP usia 13 tahun - Jasad Afif ditemukan di bawah Jembatan Kuranji oleh seorang pegawai cafe pada Ahad siang, 9 Juni 2024. Temuan mayat bocah tersebut kemudian dilaporkan ke Polsek Kuranji - Padang Sumatera Barat) yang meninggal dunia "diduga" dianiaya "oknum" Polisi.
- Karya penulis akan disajikan dalam berbentuk Tetralogi. Tetralogi merupakan serangkaian 4 (empat) karya seni yang saling berhubungan, namun akan saling terkait dalam bentuk essai. Selamat membaca.
Tulisan ini merupakan bagian ketiga dari dua tulisan sebelumnya (tetralogi) dengan pendekatan yang sebelumnya "filsafat kesadaran dialektika hegel" dan "rechtsvinding-revorming hukum hakim" untuk didedikasikan pada kasus kematian afif maulana. Saat ini bagian ketiga, penulis menggunakan pendekatan "pengujian sila-sila Pancasila pada nilai-nilai bangsa".
Kasus kematian Afif Maulana mengundang perhatian luas di masyarakat Indonesia. Peristiwa tragis ini tidak hanya menyentuh sisi kemanusiaan, tetapi juga memancing diskusi mendalam tentang bagaimana nilai-nilai Pancasila diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Artikel ini akan mengkaji insiden ini dalam konteks sila-sila Pancasila dan menekankan pentingnya Pancasila sebagai landasan moral dalam menghadapi kasus pelanggaran hak asasi manusia.
Dalam sebuah negara yang menjunjung tinggi keadilan dan kemanusiaan, kematian seorang warga negara akibat tindakan sewenang-wenang merupakan alarm yang memekakkan telinga. Kasus Afif Maulana bukan sekadar statistik, melainkan cerminan dari tantangan nyata yang dihadapi bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita luhur Pancasila. Bagaimana mungkin ideologi yang mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab dapat berdamai dengan tindakan yang menghilangkan nyawa seseorang tanpa proses hukum yang layak?
Pancasila, sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa, seharusnya menjadi kompas moral yang menuntun setiap tindakan, baik oleh individu maupun institusi. Namun, kasus ini membuka mata kita terhadap jurang yang terbentang antara idealisme dan realitas. Apakah nilai-nilai Pancasila hanya menjadi slogan kosong, atau masih memiliki relevansi dan kekuatan untuk membentuk masyarakat yang lebih adil dan manusiawi?
Melalui analisis mendalam terhadap kasus Afif Maulana, kita akan menjelajahi bagaimana setiap sila Pancasila dapat menjadi instrumen kritis dalam mengevaluasi dan merespons peristiwa ini. Dari Ketuhanan Yang Maha Esa hingga Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, setiap prinsip akan diuji relevansinya dan aplikasinya dalam konteks kasus ini.
Artikel ini mengajak pembaca untuk tidak hanya merenung, tetapi juga bertindak. Bagaimana kita, sebagai warga negara, dapat memastikan bahwa tragedy serupa tidak terulang? Apa peran kita dalam menjaga agar Pancasila tetap hidup dan bermakna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Mari kita bersama-sama menelaah kasus ini, tidak hanya sebagai pengamat pasif, tetapi sebagai agen perubahan yang aktif dalam mewujudkan Indonesia yang lebih baik – sebuah negara yang benar-benar mencerminkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam setiap aspek kehidupannya.
Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa