Tawa kecil Bu Asih memecah keheningan. Matanya berbinar dengan keyakinan yang tak tergoyahkan.
"Anak-anakku, buku mungkin tidak ada, tapi halaman yang tak terbatas ada di dalam diri kita masing-masing. Kita bisa menulis masa depan kita sendiri, tidak hanya dengan tinta, tapi juga dengan semangat dan ikhtiar yang tak pernah padam."
"Siapa bilang kita butuh buku mewah untuk menulis mimpi?" Ia mengeluarkan setumpuk kertas bekas dari tas lusuhnya. "Lihat ini! Kita akan menulis di sini. Ingat, anak-anak, bukan kertasnya yang penting, tapi mimpi yang kita goreskan di atasnya."
Dui, dengan matanya yang berbinar-binar, perlahan mengangkat tangan kecilnya. "Saya siap, Bu.
Kertas-kertas itu dibagikan satu per satu. Dui menatap kertasnya, sebuah brosur properti mewah yang dibalik. Ironis, pikirnya.
"Sekarang," Bu Asih melanjutkan, "pejamkan mata kalian dan bayangkan diri kalian sepuluh tahun dari sekarang. Siapa kalian? Apa yang kalian lakukan? Tuliskan, anak-anak, tuliskan dengan hati yang berani!"
Spidol-spidol murah itu mulai menari di atas kertas. Ada yang ragu-ragu, ada yang penuh semangat. Dui menatap kertasnya lama, lalu mulai menulis dengan tangan yang gemetar.
Bu Asih berjalan mengelilingi kelas, membisikkan kata-kata penyemangat di sana, memberikan pujian di sini. Tiba-tiba, ia berhenti di meja Dui. Matanya terbelalak membaca tulisan anak itu.
"Dui, bacakan untukku apa yang kau tulis."
Dui menegakkan bahunya, lalu membaca dengan suara yang terdengar yakin: "Sepuluh tahun dari sekarang, saya berharap dapat menyelesaikan studi saya di universitas terbaik di negeri ini dan menjadi seorang guru yang handal.
"Aku akan menjadi guru, seperti Bu Asih. Aku akan mengajar anak-anak miskin, tanpa biaya. Karena semua orang berhak memiliki masa depan."