"Siapa pun sebetulnya dapat tertular penyakit kusta, namun sebagian besar dari kita memiliki sistem kekebalan yang cukup kuat sehingga tidak menderika penyakit kusta, meskipun kita tinggal di negara yang endemik penyakit kusta", ungkapnya.
Prof. Maksum menambahkan bahwa sejarah penyakit kusta sudah berlangsung berabad-abad dan sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Menurut WHO sepanjang sejarah para penderita kusta seringkali dikucilkan oleh masyarakat dan keluarga, karena dianggap sebagai kutukan akibat dosa.
"Pada era modern, penyebab penyakit kusta ini pertama kali diidentifikasi pada tahun 1873 oleh Gerhard Henrik Armauer Hansen, seorang ahli kimia dan biologi yang dari Norwegia yaitu bakteri Mycobacterium leprae. Penemuan bakteri penyebab kusta ini dianggap telah mengakhiri stigma negatif terhadap penyakit kusta bahwa kusta bukanlah merupakan kutukan bagi penderitanya, akan tetapi disebabkan oleh infeksi bakteri. Â Karena itu penyakit kusta juga disebut dengan penyakit Hansen", ungkapmya. Â
Patofisiologi dan transmisi kusta.Â
Prof. Maksum menguraikan bahwa bakteri Mycobacterium leprae ditularkan melalui kontak erat dan dalam waktu lama antara individu yang rentan dengan pasien yang terinfeksi. Cara penularan utama adalah melalui sekresi nasal atau droplet. Selain itu, transmisi juga dapat terjadi melalui erosi kulit, atau darah dan ditularkan secara vertikal dari ibu ke bayinya.
"Individu yang tinggal di daerah endemis dapat terinfeksi oleh Mycobacterium leprae namun tidak menderita penyakit kusta. Berdasarkan sebuah hasil penelitian disebutkan bahwa ditemukan materi genetik dari Mycobacterium leprae pada biopsi hidung dan antibodi terhadap antigen bakteri pada individu yang sehat yang tinggal di daerah endemis", jelasnya.
Adapun manifestasi klinis kusta, menurut Prof. Maksum dipengaruhi oleh sistem imunitas seluler pasien terhadap Mycobacterium leprae. Pertahanan pertama pada saat infeksi Mycobacterium leprae adalah imunitas alamiah antara lain berupa integritas epitel, sekresi IgA, sel NK (natural killer), dan makrofag yang teraktivasi. Sitokin dan kemokin inflamasi dapat mengaktifkan proliferasi sel-sel limfosit. Respon ini akan menentukan perjalanan penyakit menjadi jenis kusta yang tuberkuloid atau kusta lepromatosa.
Kusta tuberculoid adalah kusta yang masih tergolong ringan dan tidak mudah menular. Seseorang yang mengidap kusta jenis ini memiliki kekebalan yang baik dan infeksi hanya menimbulkan beberapa lesi. Sedangkan kusta lepromatosa ditandai dengan lesi yang semakin luas bahkan lesi membentuk nodul atau benjolan besar, disebabkan karena sistem kekebalan pengidapnya memburuk. Jenis kusta ini memengaruhi kulit, saraf, dan organ-organ lainnya, serta harus diwaspadai karena lebih mudah menular.
"Manifestasi klinis dapat terjadi setelah masa inkubasi yang lama yaitu berkisar antara 6 bulan sampai 20 tahun. Antibodi terhadap antigen Mycobacterium leprae dapat ditemukan 9 tahun sebelum munculnya gejala klinis. Masa inkubasi Mycobacterium leprae yang lama disebabkan oleh proliferasi bakteri yang lambat, di dalam tubuh penderitanya. Secara umum infeksi bakteri Mycobacterium leprae juga dapat menyebabkan reaksi kusta, yang ditandai dengan kemerahan di kulit dan lesi baru yang muncul tiba-tiba, dan juga dengan Eritema Nodosum Leprosum (ENL) yang ditandai dengan banyak nodul kulit, demam, mata merah, nyeri otot dan nyeri sendi. Â Sedangkan komplikasi kusta antara lain dapat memengaruhi saraf ekstremitas, kulit, lapisan hidung, dan saluran pernapasan bagian atas. Â Apabila penderita tidak mendapatkan pengobatan yang tepat atau tidak segera diobati, akan mengakibatkan kerusakan saraf yang permanen. Neuropati atau kerusakan saraf yang terjadi pada pengidap kusta inilah yang menjadi penyebab mereka mengalami komplikasi berupa kecacatan atau kelumpuhan," ungkapnya.
Upaya pengobatan kusta.
Lantas bagaimanakah pengobatan kusta yang selama ini dilakukan?