Sepulang sekolah, dia menghangatkan spageti di oven microwave. Segera setelah makan, dia meninggalkan rumah untuk melakukan aktivitas olahraga, namun dia kembali lagi 30 menit kemudian karena sakit kepala, sakit perut, dan mual. Saat tiba di rumah, dia muntah-muntah selama beberapa jam dan pada tengah malam mengalami dua kali diare cair. Dia tidak menerima obat apa pun dan hanya minum air putih. Setelah tengah malam, dia tertidur. Keesokan paginya orang tuanya khawatir karena dia tidak bangun. Ketika mereka pergi ke kamarnya, mereka menemukannya telah meninggal dunia. Kasus itulah yang kemudian disebutkan bahwa remaja tersebut meninggal dunia karena "sindrom nasi goreng", paparnya.
Prof. Maksum menambahkan bahwa bakteri Baccilus cereus adalah bakteri umum yang ditemukan di lingkungan. Bakteri ini dapat menimbulkan masalah jika masuk ke dalam makanan tertentu yang dimasak dan tidak disimpan dengan benar. Makanan yang mengandung karbohidrat seperti nasi dan pasta seringkali menjadi penyebabnya. Tapi penyakit ini juga bisa ditimbulkan oleh makanan lainnya, seperti susu, keju, daging, sup, dan makanan bayi, yang terkontaminasi dengan bakteri penghasil toksin yaitu Baccilus cereus.
Patogenesis Bacillus cereus
Prof. Maksum menjelaskan bahwa Bacillus cereus adalah bakteri Gram-positif aerobik atau anaerobik fakultatif, pembentuk spora, berbentuk batang yang tersebar luas di lingkungan. Meskipun Bacillus cereus terutama dikaitkan dengan keracunan makanan, namun kini semakin banyak dilaporkan sebagai penyebab infeksi saluran non-gastrointestinal yang serius dan berpotensi fatal.
"Patogenisitas Bacillus cereus, terkait erat dengan produksi eksotoksin yang bersifat tahan terhadap pemanasan yang dapat merusak jaringan. Spora Bacillus cereus sangat tahan terhadap pemanasan. Pemanasan sisa makanan dengan suhu tinggi dapat membunuh jenis bakteri lainya. Namun, spora Bacillus cereus dapat tumbuh dan menjadi aktif. Sehingga mampu memproduksi toksin yang berbahaya karena jenis toksin yang dihasilkannya juga bersifat tahan terhadap pemanasan. Â Di antara toksin yang disekresikan adalah hemolisin, fosfolipase, toksin pemicu emesis, protease, enterotoksin, enterotoksin nonhemolitik, dan sitotoksin K. Di saluran pencernaan, sel-sel vegetatif atau spora bakteri menghasilkan enterotoksin dan menyebabkan sindrom diare, sedangkan toksin emetik, dapat menimbulkan mual dan muntah", jelasnya.
Apa saja gejalanya.
"Penyakit ini biasanya berlangsung singkat dan dapat sembuh dengan sendirinya, namun penyakit ini bisa menjadi parah pada kelompok berisiko tinggi, seperti mereka yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah, dan bagi orang-orang yang rentan, seperti anak-anak atau mereka yang memiliki penyakit penyerta, memerlukan bantuan medis yang tepat. Adapun gejala infeksi Bacillus cereus antara lain diare, muntah, sakit perut dan biasanya terjadi sangat cepat. Pasien akan mulai merasakan sakit sekitar 30 menit setelah makan, meski gejalanya bisa timbul hingga 15 jam kemudian", tambahnya.
Terapi "sindrom nasi goreng".
Gejala "sindrom nasi goreng" mungkin terasa mengganggu, tetapi biasanya gejala tersebut dapat hilang dengan sendirinya dan hilang dalam waktu 24 jam, kata Prof. Maksum. Namun yang penting adalah menjaga untuk tetap terhidrasi, terutama jika mengalami muntah dan diare.
"Jika gejalanya parah atau berkepanjangan, atau jika sistem imunitas terganggu, kunjungi dokter secepatnya. Terapi antibiotik tidak diperlukan untuk keracunan makanan yang disebabkan oleh Bacillus cereus, karena gejala penyakit lebih dominan disebabkan oleh toksin bakteri, kecuali ada infeksi penyerta lainnya. Namun cairan intra vena terkadang diperlukan jika seseorang mengalami muntah parah dan diare yang ekstrem", tambahnya.
Bagaimana upaya pencegahannya.