HARI MALARIA SEDUNIA
Hari Malaria Sedunia atau World Malaria Day diperingati setiap tahunnya pada tanggal 25 April. Hari Malaria Sedunia adalah kesempatan untuk menyoroti kebutuhan akan investasi berkelanjutan dan komitmen politik untuk pencegahan dan pengendalian malaria. Hari tersebut ditetapkan oleh Negara Anggota WHO pada Sidang Majelis Kesehatan Dunia tahun 2007. Pada tahun 2023 ini WHO menetapkan tema World Malaria Day tahun 2023 ini adalah "Time to deliver zero malaria: invest, innovate, implement". Yaitu "Saatnya mewujudkan bebas malaria: investasi, inovasi, implementasi".
Mengapa penyakit malaria ini perlu dieliminasi, apa tujuan dan makna dari peringatan Hari Malaria Sedunia, serta sejarah penemuan penyakit malaria, berikut ini hasil perbincangan dengan Prof. Maksum Radji, Guru besar Prodi Farmasi FIKES Esa Unggul.
Mengawali perbincangan ini, Prof. Maksum menjelaskan bahwa tujuan utama dari Peringatan Hari Malaria sedunia ini adalah sebagai salah satu bentuk upaya dunia guna mengendalikan dan memberantas penyakit malaria di seluruh dunia. Hingga saat ini penyakit malaria masih merupakan salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia dan termasuk penyakit yang mengancam jiwa. Sehingga memerlukan komitmen seluruh pemangku kepentingan dalam upaya pencegahan dan pengendalian malaria.
Prof. Maksum menambahkan bahwa sesuai dengan laporan terbaru dari World Malaria Report, yang diterbitkan pada Desember 2022, malaria telah merenggut nyawa sekitar 619.000 orang pada tahun 2021, terjadi peningkatan sekitar 247 juta kasus baru malaria pada tahun 2021 dibandingkan dengan 245 juta pada tahun 2020.
"Hampir separuh populasi dunia berisiko terkena malaria. Sebagian besar kasus dan kematian terjadi di Afrika sub-Sahara. Namun, malaria juga dilaporkan di wilayah Asia Tenggara, Mediterania Timur, Pasifik Barat, dan Amerika dengan tingkat kematian yang signifikan. WHO Wilayah Afrika menanggung beban malaria global yang sangat tinggi. Anak-anak di bawah usia 5 tahun merupakan kelompok yang paling rentan terkena penyakit malaria. Sekitar 80% dari semua kematian akibat malaria di wilayah Afrika merupakan anak dibawah usia 5 tahun", ungkapnya.
Sejarah Penemuan Malaria
Melansir beberapa sumber Prof. Maksum menjelaskan bahwa Malaria atau penyakit yang menyerupai malaria sebetulnya sudah ada sejak lebih dari 4.000 tahun silam. Namun dalam perkembangan dunia medis modern, malaria dikenal sejak tahun 1753, dan baru ditemukan adanya parasit dalam darah oleh Alphonse Laxeran pada tahun 1880, sebagai penyebab penyakit malaria. Pada tahun 1883, Marchiafava mengembangkan teknik pewarnaan sel, menggunakan zat warna metilen biru untuk mempelajari morfologi parasit ini secara mikroskopis.
"Sedangkan siklus hidup plasmodium di dalam tubuh nyamuk dipelajari oleh Ross dan Binagmi pada tahun 1898 dan pada tahun 1900 berdasarkan hasil penelitiannya Patrick Manson menemukan bahwa nyamuk merupakan serangga yang dapat menularkan parasit sebagai vektornya. Pada 1890, Giovanni Batista Grassi dan Raimondo Feletti, dua peneliti Italia yang pertama kali memberi nama dua parasit penyebab malaria pada manusia, yaitu Plasmodium vivax dan Plasmodium malariae. Â Kemudian pada tahun 1897, ilmuwan Amerika bernama William H. Welch memberi nama parasit penyebab malaria tertiana sebagai Plasmodium falciparum. Dan pada 1922, John William Watson Stephens menemukan spesies parasit malaria lainnya, yaitu Plasmodium ovale", urainya.
Patofisiologi Malaria
Menjawab pertanyaan tentang patofisiologi penyakit malaria, Prof. Maksum menjelaskan bahwa pentingnya untuk memahami siklus hidup parasit Plasmodium malaria yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles sp. betina. Ada 5 jenis spesies Plasmodium yang dapat menimbulkan penyakit malaria pada manusia, yakni Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium malariae, dan Plasmodium knowlesi. Dua spesies diantaranya yakni Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax merupakan spesies yang dominan.
Melansir laman https://www.cdc.gov/dpdx/malaria/index.html Prof. Maksum menguraikan bahwa pada prinsipnya siklus hidup parasit malaria melibatkan dua inang yaitu nyamuk dan manusia sebagai inangnya. Selama mengisap darah, nyamuk Anopheles spp. betina yang terinfeksi menginokulasi sporozoit ke manusia. Sporozoit ini kemudian menginfeksi sel hati manusia dan matang menjadi skizon, yang pecah dan melepaskan merozoit.Â
Sel parasit merozoit ini dapat dorman (hipnozoit) dapat bertahan di sel hati dan dapat menyebabkan kekambuhan dalam berminggu-minggu, atau bahkan bertahun-tahun kemudian. Setelah replikasi awal ini di hati (skizogoni ekso-eritrositik), parasit menjalani multiplikasi aseksual dalam eritrosit (skizogoni eritrositik). Selanjutnya merozoit menginfeksi sel darah merah. Beberapa merozoit berdiferensiasi menjadi tahap eritrositik seksual (gametosit). Gametosit, jantan (mikrogametosit) dan betina (makrogametosit) ini, saat nyamuk menghisap darah manusia, akan ditelan oleh nyamuk Anopheles spp. Selanjutnya, perkembangbiakan parasit pada nyamuk dikenal dengan siklus sporogonik. Di dalam perut nyamuk, mikrogamet berkembang menjadi zigot. Zigot ini pada gilirannya menjadi motil dan memanjang (ookinetes) yang menyerang dinding usus nyamuk di mana mereka berkembang menjadi ookista. Ookista tumbuh, pecah, dan melepaskan sporozoit, yang menuju ke kelenjar ludah nyamuk. Inokulasi sporozoit ke inang manusia dapat meneruskan siklus hidup malaria dengan menggigit inang manusia lainnya.
"Multiplikasi parasit plasmodium pada fase siklus eritrositik ini meningkatkan jumlah parasit, sehingga terjadi parasitemia dalam darah manusia yang terinfeksi yang meningkat setiap kali terjadi lisis eritrosit dan ruptur skizon eritrosit yang melepaskan ribuan parasit dalam bentuk merozoit dan zat hasil metabolik ke sirkulasi darah. Tubuh yang mengenali antigen tersebut kemudian melepaskan makrofag, monosit, limfosit, dan berbagai sitokin, seperti tumor necrosis factor alpha (TNF- ). Sirkulasi sitokin, TNF- dalam darah ini akan menstimulasi munculnya demam. Selain TNF-, juga ditemukan senyawa sitokin proinflamasi lainnya, seperti interleukin 10 (IL-10) dan interferon (IFN- ). Parasitemia pada malaria falciparum lebih hebat dibandingkan parasitemia spesies lainnya. Hal ini disebabkan karena Plasmodium falciparum dapat menginvasi semua fase eritrosit, sedangkan Plasmodium vivax lebih dominan menginfeksi retikulosit dan Plasmodium malariae menginvasi eritrosit yang matang. Anemia pada malaria terjadi akibat proses hemolisis dan fagositosis eritrosit. Peningkatan aktivitas limpa menyebabkan splenomegali. Hemolisis dapat meningkatkan serum bilirubin sehingga menimbulkan jaundice", urainya.
Cara Diagnosis Malaria
Prof. Maksum mengatakan bahwa malaria dapat didiagnosis menggunakan tes yang menentukan keberadaan parasit Plasmodium penyebab penyakit malaria. Ada 2 jenis tes utama yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan darah dan tes diagnostik cepat. WHO merekomendasikan tes diagnosis cepat malaria pada semua pasien yang dicurigai menderita malaria sebelum pengobatan diberikan. Tes diagnostik cepat malaria (Rapid Diagnostic Test, RDT) memiliki potensi untuk meningkatkan kualitas pengelolaan infeksi malaria, terutama di daerah terpencil dengan akses terbatas ke layanan pemeriksaan mikroskop yang berkualitas baik. RDT relatif sederhana untuk dilakukan dan diinterpretasikan, memberikan hasil dengan cepat, hanya memerlukan pelatihan singkat, dan memungkinkan diagnosis malaria di tingkat masyarakat.
Kasus Malaria di Indonesia
Prof. Maksum mangungkapkan bahwa menurut data Kemenkes disebutkan bahwa pada akhir tahun 2022, tercatat sebanyak 372 dari 514 kabupaten (72,4%) di Indonesia yang telah dinyatakan bebas malaria. Namun di Indonesia bagian timur, masih banyak kabupaten/kota yang merupakan daerah endemis tinggi. Sehingga sekitar 90% kasus malaria yang dilaporkan secara nasional berasal dari Indonesia bagian Timur.Â
Dengan melansir laman https://www.who.int/indonesia/news/events/world-malaria-day/2023 di Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 1.412 kematian akibat malaria dari sekitar 811.636 kasus baru malaria pada 2021 di Indonesia, dimana sekitar 89% dari kasus malaria di Indonesia terjadi di Provinsi Papua. Oleh sebab itu, guna mencapai tujuan program malaria di Indonesia antara lain diperlukan langkah-langkah penguatan program eliminasi malaria, tinjauan komprehensif terhadap kinerja program, dan mengidentifikasi permasalahan untuk terus dilakukan upaya-upaya perbaikan, termasuk untuk mendapatkan vaksin malaria Mosquirix melalui Gavi (the global vaccine alliance), yang merupakan vaksin malaria pertama yang telah disetujui oleh WHO. Vaksin malaria Mosquirix buatan GlaxoSmithKline (GSK) ini telah direkomendasikan oleh WHO guna mencegah terjadinya penyakit malaria terutama pada anak-anak, tutup Prof. Maksum mengakhiri perbincangan ini. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H