Mohon tunggu...
Rendy Ariyanto
Rendy Ariyanto Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis untuk mengerti

Semoga tulisan disini bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Money

Tensi Geopolitik Rusia dan Ukraina: Apa yang akan Dirasakan Indonesia?

22 Februari 2022   09:42 Diperbarui: 22 Februari 2022   09:59 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejarah Tensi Geopolitik Antara Rusia dan Ukraina

Konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina menarik untuk diperhatikan. Bukan hanya informasi sejarah penting tentang beberapa negara di Eropa Timur, tetapi juga mengenai dampaknya terhadap ekonomi negara lain, khususnya Indonesia. Semua bermula ketika Rusia menginvasi Ukraina di tahun 2014 yang menyebabkan Crimea akhirnya berintegrasi dengan Rusia pada 21 Maret 2014 setelah ratifikasi perjanjian oleh parlemen Rusia. 

Alasan Rusia menginvasi Ukraina adalah letak geopolitik yang dimiliki oleh Ukraina sangat strategis untuk memperluas pengaruh ke Eropa Timur. Salah satu faktor yang membuat Ukraina memiliki letak geopolitik yang strategis adalah Ukraina dapat bergabung dengan North Atlantic Treaty Organization (NATO). Apabila bergabung dengan NATO, dalam perjanjian NATO disebutkan bahwa apabila ada serangan pada salah satu atau lebih negara NATO, maka akan dianggap menyerang seluruh negara yang menjadi member dari NATO. Member NATO sampai saat ini  berjumlah 30 negara, termasuk Perancis, Jerman, Itali, Inggris, dan Amerika Serikat.

Namun, sampai saat ini maupun dalam waktu dekat Ukraina kemungkinan besar belum akan bergabung dengan NATO. Fakta tersebut yang sedang dimanfaatkan oleh Rusia untuk menginvasi Ukraina. Rusia mengganggap invasi Ukraina adalah sebagai bentuk penjagaan keamanan nasional. 


Bagaimana Tensi Geopolitik Rusia-Ukraina Mempengaruhi Ekonomi Negara Lain

Tensi yang terjadi antara Rusia dan Ukraina politik tersebut berpengaruh terhadap harga minyak. Hal ini karena Rusia merupakan salah satu pengekspor minyak terbesar di dunia dan salah satu anggota OPEC+. Dengan adanya invasi ini, dikhawatirkan pasokan suplai minyak menjadi terganggu, sehingga harga akan terkerek naik. Sesuai dengan teori ekonomi, ketika suplai terganggu kurva akan bergeser ke kiri dan menyebabkan harga turun sedangkan kuantitas suplai menjadi menurun dengan asumsi kurva permintaan tetap.

Harga acuan minyak terdiri dari dua jenis, yaitu harga kontrak berjangka minyak mentah jenis Brent yang menjadi acuan Eropa dan harga kontrak minyak mentah acuan Amerika Serikat jenis West Texas Intermediate (WTI). Jika diliat harganya, harga minyak jenis Brent per Jumat 11 Februari 2022 harga minyak jenis Brent menguat 3,31% ke level US$ 94,4/barel. Sedangkan harga minyak jenis WTI juga mengalami hal yang sama, meningkat 3,58% ke level US$ 93,1/barel. Kedua harga acuan tersebut menyentuh level tertinggi sejak akhir 2014. Kondisi ini tercermin dalam grafik dibawah dimana harga minyak jenis Brent dan WTI terus beranjak naik seiring memanasnya tensi Rusia-Ukraina.

Sumber: fred.stlouisfed.org, diolah.
Sumber: fred.stlouisfed.org, diolah.

Kenaikan harga minyak ini akan memperparah masalah inflasi yang tengah dialami negara-negara di dunia, terutama negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Uni-Eropa. Amerika Serikat pada tanggal 10 Februari 2022 merilis data inflasi Januari 2022 dengan nilai 7,5%. Angka tersebut merupakan inflasi tertinggi sejak 1982 dan melampaui ekspektasi pasar sebesar 7,2%. Tidak lama berselang, Inggris juga merilis inflasi Januari 2022 sebesar 5,5%. Angka inflasi Inggris tersebut juga menjadi inflasi tertinggi sejak Maret 1922. Para investor luar negeri yang semula mempunyai ekspektasi bahwa ada tiga hingga empat kali kenaikan suku bunga acuan AS, kini mulai berekspektasi bahwa akan ada kenaikan suku bunga acuan sampai tujuh kali dalam setahun untuk mengendalikan inflasi yang cukup tinggi. Kenaikan suku bunga acuan pertama rencananya akan dilakukan oleh AS di bulan Maret 2022.

Masalah inflasi ini sangat diperhatikan negara-negara berkembang, khususnya Indonesia karena dengan tingginya inflasi yang dialami negara maju seperti Amerika Serikat menyebabkan pemerintah dan otoritas moneter di negara tersebut akan semakin ketat dan cepat menerapkan normalisasi kebijakan moneter. Normalisasi kebijakan dilakukan setelah Amerika Serikat melakukan kebijkan moneter yang ekspansif dengan menurunkan suku bunga acuan dan meningkatkan suplai uang yang ada di peredaran. Ketika keadaan mulai membaik atau kebijakan ekspansif dirasa telah cukup memulihkan keadaan ekonomi maupun psikologis investor, maka normalisasi kebijakan dilakukan yaitu dengan menerapkan kebijakan moneter yang kontraktif yaitu dengan menaikkan suku bunga acuan dan mengurangi suplai uang beredar.

Meningkatnya suku bunga acuan Amerika Serikat, apalagi jika dilakukan sebanyak tujuh kali, akan membuat pasar modal, pasar obligasi, dan rupiah tertekan. Tekanan tersebut muncul karena para investor luar negeri memindahkan dana investasi dari aset-aset Indonesia seperti saham, obligasi, dan rupiah ke aset-aset yang ada di AS yang memiliki risiko relatif lebih seidkit atau safe haven. Istilah perpindahan dana ini dikenal sebagai capital outflow. Padahal, di bulan Februari 2022 ini, khususnya minggu kedua dan ketiga, Indonesia sedang menikmati melimpahnya aliran dana masuk melalui pasar saham. Bahkan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatatkan rekor sepanjang masa pada minggu tersebut. IHSG sempat mencatatkan rekor tertingginya pada saat perdagangan dibuka di harga 6.874. Tidak berhenti disitu, di minggu ketiga, IHSG juga terus mencatatkan rekor harga tertinggi saat penutupan. Puncaknya di tanggal 21 Februari 2022, IHSG ditutup di harga 6.906! Selain itu, berdasarkan data transaksi Bank Indonesia (BI), di periode minggu kedua non-residen, atau dapat kita sebut investor asing, tercatat melakukan beli neto atas aset Indonesia khususnya saham sampai 5,57 T.

Capital outflow yang dapat terjadi karena AS menaikkan suku bunga acuan karena normalisasi kebijakan pernah terjadi di 2013. Istilah terkenal yang menandakan adanya tekanan pada pasar keuangan di negara lain akibat normalisasi kebijakan di tahun 2013 disebut dengan taper tantrum. Bagi Indonesia, taper tantrum 2013 memang memberikan tekanan yang cukup mengkhawatirkan. Rupiah terus merosot semenjak Mei 2013 di level Rp. 9.700-an hingga akhirnya menyentuh di level Rp. 14.000-an pada September 2015 meskipun sempat bertahan di pertengahan tahun 2014 di level Rp. 11.000-an. IHSG juga mengalami nasib yang sama, terus turun semenjak bulan Juni 2013 hingga akhirnya di level terendah 3,967 pada Agustus 2013.

Biarpun begitu, banyak ekonom maupun analis mengatakan taper tantrum tidak akan terulang di tahun 2022 ini. Pendapat tersebut didukung beberapa faktor, diantaranya adalah kepemilikan asing di pasar obligasi Indonesia kini berada di kisaran 20%, berbeda jauh dibanding tahun 2013 yang berada di atas 40%. Dengan kepemilikan asing yang lebih sedikit terhadap obligasi Indonesia, tekanan yang akan dialami akan dapat terminimalisir karena capital outflow kemungkinan tidak akan besar. Kondisi fundamental ekonomi Indonesia juga memberikan pondasi yang kuat bagi pasar keuangan tanah air. Masalah inflasi yang tinggi tidak dialami oleh Indonesia. Neraca pembayaran Indonesia di sepanjang 2021 juga mencatatkan surplus yang cukup tinggi sebesar US$ 13,5 miliar. Begitu pun dengan cadangan devisa yang dimiliki Indonesia per Desember 2021 tercatat sebesar US$ 144,9 miliar. 

Begitulah bagaimana cerita dari ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina dapat berpengaruh terhadap aspek ekonomi negara lainnya. Pada 15 Februari 2022 disebutkan Rusia telah menarik pasukan yang ditempatkan di perbatasan Ukraina. Namun beberapa hari setelahnya pejabat AS seperti Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, Presiden AS, Joe Biden, memberikan keterangan bahwa Rusia masih menjadi ancaman bagi Ukraina karena pasukannya masih dalam jumlah besar masih di perbatasan Ukraina. Kondisi tersebut masih mengindikasikan tensi sewaktu-waktu berubah menjadi peperangan, apalagi mengingat kaitannya dengan NATO. Semoga ketegangan yang terjadi tersebut segera mereda dan tidak menimbulkan korban jiwa maupun dampak tidak langsung terhadap perekonomian di negara lain, khususnya Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun