Berpuasa tidak hanya berarti menahan lapar, namun juga menahan nafsu. Dalam hal ini tentu saja tidak hanya melatih kita untuk disiplin, pun pula bersabar dan bersyukur dengan segala karunia-Nya. Ada pula hikmah untuk tidak tamak dan mengambil seperlunya saja dari apa yang tersedia di dunia ini, serta mengambil sebanyak-banyaknya kesempatan untuk beramal shaleh serta menabung pahala untuk akhirat nanti. Kesemuanya dengan penuh keikhlasan tentunya.
Berbagai macam tantangan dan godaan dihadapi dalam bentuk yang berbeda-beda. Paling rendah dalam bentuk rasa lapar yang terjadi karena ketidakdisiplinan dalam menjalankan puasa itu sendiri, meninggalkan sahur misalnya. Lalu ada lagi godaan sederhana seperti makanan yang sangat kita inginkan untuk disantap tiba-tiba hadir dan tersedia di depan mata, jauh sebelum waktu berbuka. Belum lagi tantangan yang mengharuskan diri ini untuk belajar dan bekerja, sama seperti hari-hari lain atau bahkan lebih keras daripada biasanya. Kesemuanya menuntut kontrol diri yang harus bisa dimiliki oleh mereka-mereka yang menjalaninya.
Belum lagi yang baru menikah, harus benar-benar menjaga waktu-waktu bersama pasangan supaya tidak melanggar aturan berpuasa di Bulan Ramadhan. Pada intinya kita dilatih untuk bisa menahan diri dari godaan serta tantangan yang datang baik dari dalam maupun dari luar. Setiap muslim diharapkan dapat menghadapi berbagai jenis tantangan dan godaan yang datang selama bulan suci ini sebagai bentuk tempaan untuk menjadikan jiwa mereka lebih dekat kepada Pemilik Akhirat dan tidak terlalu mencintai dunia fana ini.
Kualitas masing-masing pelakunya tentu berbeda-beda, hal yang akan menentukan kualitas jiwa manusianya di luar bulan puasa nanti. Berakhirnya puasa Ramadhan bukan berarti berakhir sudah seluruh kegiatan menahan diri tadi. Justru bulan-bulan di luar bulan suci ini adalah arena bertarung sesungguhnya. Bulan-bulan yang menunjukkan seberapa besar Ramadhan memberikan dampak dan efek bagi kehidupannya, serta tentu saja menunjukkan kualitas jiwa manusia itu sendiri.
Ada yang seperti artis, hanya menunjukkan di luar saja bagaimana ibadahnya meningkat selama bulan Ramadhan, namun maksiat kembali dilakukan di bulan-bulan biasa. Mereka yang seperti ini sangat jauh dari kualitas seorang pemimpin, sayangnya banyak diantara kita yang malah memilih mereka untuk menjadi wakil-wakil rakyat. Padahal akting itu hanya bisa dilakukan di waktu-waktu tertentu yang terbatas, sedangkan sisanya, orang akan menunjukkan jati diri mereka sesungguhnya.
Ada pula yang meski ibadahnya hanya meningkat di bulan Ramadhan, ia bisa menjaga dirinya dari hal-hal maksiat serta larangan Tuhan di bulan-bulan biasa. Ini adalah kualitas minimal yang biasanya memang menjadi target seorang muslim biasa. Namun demikian, untuk menjaga diri ini dengan keshalehan dan ketaatan kepada-Nya bukan perkara mudah. Jumlah dan intensitas tantangan dan godaan yang lebih besar di hari-hari biasa di luar bulan Ramadhan menjadi sesuatu yang harus bisa dihadapi.
Yang terbaik dari kita tentu adalah yang benar-benar bisa menjadikan bulan Ramadhan unuk meningkatkan standar kualitas diri. Apa-apa yang dilakukannya selama Bulan Ramadhan menjadi sebuah pembelajaran dan pembiasaan yang dilakukannya pula di hari-hari biasa. Sholat wajib selalu tepat waktu dan dilaksanakan secara berjamaah, sholat sunah juga tidak ketinggalan, begitu pula sholat lail di malam hari. Zakat serta sedekah tak pernah terlupakan, pun kewajiban sehari-hari dilaksanakan dengan sangat baik.
Tak sampai di sana, mereka juga selalu dapat melahirkan solusi bagi setiap persoalan, di keadaan yang ekstrem sekalipun. Tentu tak ada yang bisa menyangkal kalau itulah yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Kuatnya godaan dan tantangan tak membuat mereka lengah dan tetap bisa menyelesaikan berbagai persoalan yang harus dipecahkannya. Besarnya tekanan juga menjadi bagian tersendiri yang harus dicarikan jalan keluarnya. Mereka yang memiliki kualitas seorang pemimpin haruslah dapat menghadapi itu semua.
Tidak berhenti sampai di situ, kekuasaan pastilah menawarkan sesuatu yang luar biasa. Harta dan wanita, keduanya menjadi godaan tersendiri bagi mereka yang diamanahi kekuasaan. Semenjak dahulu, kedua hal ini yang menjadi bumerang bagi kesuksesan seorang pemimpin, bahkan tak jarang kedua hal ini pula yang menghambat jalan pemimpin itu sendiri. Membuat mereka lupa diri dan berbuat melebihi batas bahkan melanggar larangan-laranganNya. Jumlah korupsi, kolusi, dan nepotisme di Negara ini juga tidak berkurang begitu signifikan, malah ada yang bilang bertambah.
Oleh karena itu, mereka yang menjadi pemimpin haruslah mereka yang telah lulus berpuasa. Tidak hanya di Bulan Ramadhan, pun di bulan-bulan yang lain, gaya hidupnya tidak banyak berubah. Kesederhanaan menjadi kekuatan tersendiri, yang harus berjalan konsisten apa adanya. Tidak melalui sebuah agenda pencitraan yang menipu, namun harus melalui pembiasaan yang menjadi kebiasaan, tercermin dalam sikap keseharian, kejujuran kata-katanya, serta kebijakan yang diambil yang selalu membawa solusi tanpa masalah, bukan sedekar citra yang ditonjolkan untuk menutupi jati diri sebenarnya. Â Â
      Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H