Tiga buah kapal bercorak kekuningan melaju dengan cepat di atas lautan biru nusantara. Butuh kira-kira enam hari lamanya untuk menempuh perjalanan menuju Malaka dari Pelabuhan Nusa. Hari Jum'at malam adalah hari yang dipilih mereka untuk memulai pelayaran. Berbarengan dengan sisa sepuluh Kapal Mataram-Parahiyangan, kapal-kapal Malaka ikut dikawal hingga ke utara pulau Jawa sebelah timur lalu melanjutkan perjalanannya menuju Malaka membawa awak kapal dan tentu saja, pada masing-masing kapal dua puluh ribu domba yang mereka beli dari Kerajaan Nusa. Formasi tiga kapal adalah formasi umum bagi mereka yang datang dari jauh, apalagi di saat kondisi agak berbahaya bagi kapal-kapal untuk berlayar sendiri.
      "Enggak kerasa ya Di, kita berlayar bareng puluhan ribu domba."
      "Ya enggak lah Lem, kan kapalnya panjang," mata abdi memicing melihat ujung tali pancing yang bergerak-gerak.
      "Ditaruhnya di dua dek, tengah dan bawah lagi, huff.. untung kita dapat ruangan di atas.. coba kalau di tengah..."
      "Ya tinggal ikut bantu bersih-bersih sama ngasih makan to Lem. Kayak pejabat aja dirimu gak mau bantu-bantu..." celetuk Abdi.
      "Kan kita punya uang..."
      "Hush! Itu kan untuk keperluan belajar Lem."
      "Raden Eru memberikan uang tambahan supaya kita bisa menambah ilmu lagi sebelum kembali. Piye to dirimu ki," tambah Abdi terlihat sedikit kesal.
      "Iya sih.. Lha banyak he Di, cukup buat bikin rumah baru ini!"
      "Weh! Kamu itu..." ucap Abdi gemas.
      "Eh Eh, dapet ini Lem!" Abdi mendadak berdiri dan menarik tali pancingnya.
      Dalem segera membantu menahan gagang pancing dan meletakkan pancingnya sendiri ke pinggir.
      "Wah, tuna kayaknya Lem, hayuk tarik-tarik, bantu tarik Lem!" Dalem tampak tak bersemangat dan hanya memegang gagang pancing saja. Setelah berhasil menarik ke atas, Abdi segera melepaskannya dari ujung kail.
      "Alhamdulillah.. Lumayan Lem, ayo cari satu lagi!"
      "Kemarin aku ngobrol sama Kapten, kalau terpaksa boleh kok beli domba yang ada di kapal untuk disantap," ucap Dalem sambil melihat ke arah tuna yang masih meloncat-loncat di atas lantai dek.
      "APA!? Mikir apa sih kamu Lem? Ngapain beli domba? Wong mancing aja bisa kok."
      "Yaa.. sekali-kali lah Di. Pingin makan sate domba lagi soalnya..." ujar Dalem memancing kemarahan Abdi. Keduanya pun bertengkar atau lebih tepatnya Dalem dimarahi Abdi meskipun ia hanya mengutarakan apa yang diinginkannya.
      Rupanya seorang awak kapal memperhatikan mereka dari kejauhan, ia dengan tersenyum mendatangi keduanya.
      "Abdi.. Dalem.. Ade ape ni?"
      "Pasti gara-gara ketagihan makan sate di Nusa kan!?" Abdi menunjuk ke Dalem yang langsung cemberut.
      Keduanya kaget melihat ada yang mendatangi. Seingat keduanya, seluruh awak kapal sibuk semua sewaktu mereka memutuskan untuk memancing ikan di dek paling belakang.
      "Eh, anu.. ini.. ga papa Encik Mudza.. eh..."
      "Mudzaffar.. atau Affar aje tak ape-ape."
      "Iya, Pak Affar kita berdua sedang iseng memancing untuk makan siang. Ini.. si Dalem malah males-malesan," Dalem hanya terdiam mendengar ucapan Abdi.
      "Hee sude sude, marilah masuk makan besame. Kite memang tidak menyiapkan makanan ekstra. Tapi jike terpaksanye harus memotong domba pun tak jadi masalah."
      "Harganya same juga pun dengan yang di pasaran, hehe..." ujar Pak Affar sambil bercanda.
      "Eeeh, anu..." Abdi tampak malu ditawari.
      "Berapa harganya Encik..eh, Pak Affar?" tanya Dalem tiba-tiba.
      "Satu dinar laah, same dari dulu harga kambing dan domba semenjak zaman rasulullah," mata Abdi melotot menatap Dalem yang segera memalingkan pandangan ke arah pancingnya yang tergeletak di pinggir.
      Satu jam kemudian Dalem keluar dari dapur membawa Tuna yang sudah direbus dengan bumbu. Hanya ada sayuran, tidak ada nasi.
      "Ayo Di makan ini dulu," wajah Dalem tampak lebih ceria. Ia pun mengambil posisi duduk tepat di sebelah Abdi dan meletakkan piringnya di tengah.
      "Enak ternyata Di rasanya, meskipun ga pake nasi, ayo, ini hasi tangkapanmu sendiri lho!" Dalem mendorong piring agar lebih dekat ke arah Abdi sementara ia sendiri sudah mencomot sebagian.
      "Nanti tunanya loncat lagi ke laut lho, susah lagi dapet satu aja hari ini."
      "Itu karena kamu males Lem! Huh, bikin kesel aja kamu ini," Abdi pun mengambil piring di samping dan melahap tuna hasil tangkapannya tadi.
      "Yaah yaa.. jangan semua Di.. kan aku sudah masakin.. sisain dikit doong!"
      "Iya-iya.. ni!" Abdi meletakkan piringnya kembali di tengah, mulutnya sudah menguyah cukup banyak daging tuna.
      "Malam ini Di.. tenang aja.. makan daging domba kita.. hehe..." meskipun Abdi ingin memarahi Dalem lagi tapi rasa lapar dan porsi tuna yang hanya sedikit membuatnya hanya terdiam.
      "Sekali-kali lah Di.. daripada kita sakit nanti." Abdi tak menanggapi.
      "Kan aku sudah mendayung lama waktu kita menyelamatkan diri..."
      "Gak ada nasi lagi..." ucap Dalem.
      hening sejenak, hanya terdengar suara ombak yang dibelah.
      "Iya, memang harusnya kita membeli domba..." kata Abdi seketika, membuat Dalem kembali ceria.
      "Tuu kan, bener kan."
      "Yaah, tapi kita benar-benar harus menghitung kebutuhan untuk nanti di Malaka Lem. Siapa tahu di sana lebih mahal dibandingkan dengan di tempat-tempat yang telah kita kunjungi sebelumnya."
      "Cuma satu dinar kok Di. Eh tapi apa bener ya sejak zaman rasulullah harga kambing satu dinar? Gak salah denger kan tadi aku Di?"
      "Sama kita kok dapat kembalian sih, emang beda ya hitungannya?" Abdi pun balik bertanya kepada Dalem.
      "Gak tahu sih Di, tapi setelah aku kasih satu dinar Mataram trus dikembalikan dua dirham Malaka sama Pak Affar," Abdi menoleh melihat Dalem.
      "Jangan-jangan dombanya dipilih yang kurusan?"
      "Heh, enggak laah Di..." jawab Dalem meskipun muncul keraguan dalam benaknya.
      "Nanti kan kita ikut bantu memotong, membersihkan, dan memasak, hmm.. yuk datengin aja Pak Affar," ucap Dalem lagi yang langsung berdiri, disusul Abdi. Suara ombak yang tenang membuat keduanya semakin penasaran dan berpikir apakah ada yang salah dan segera menuju ke bagian dalam dek bagian tengah.
      Bau domba tidak terlalu mengganggu mereka karena di rumah pun mereka berdua terbiasa dengan kambing-kambing peliharaan yang berada di sekitar pekarangan. Hal yang benar-benar berbeda di dalam dek tengah adalah udara yang lebih dingin dibandingkan dengan di luar. Pembahasan yang sudah dibicarakan berkali-kali dan menjadi topik hangat antara Abdi dan Dalem di hari pertama mereka berlayar menaiki kapal angkutan khusus buatan Malaka ini.
      "Wuuiihh lupa Di kalau di dalem lebih dingin.. muantab memang..." ujar Dalem segera begitu mereka masuk ke dek bagian tengah.
      "Alhamdulillah, aku juga lupa Lem. Teknologi yang hebat!" Abdi memandang ke arah puluhan jendela yang berbentuk seperti mocong-moncong kecil di dalam namun di luar kapal terlihat seperti mangkuk-mangkuk yang terbuka.
      "Ah lupa aku Di, Pak Affar sudah ngasih tahu sih waktu itu, moncongnya ya yang buat udara lebih dingin. Ah, pokoknya kayak botol yang dibelah dua dan diambil ujungnya kan."
      "Yap. Terus dipasang aja dengan ujung botol ke arah dalam," Abdi melanjutkan.
      "Kira-kira satu jendela dua puluh lubang ya..." Dalem menghitung jumlah lubang di masing-masing jendela.
      "Sebanyek mungkin Dalem," tiba-tiba dari balik rak nomor tiga muncul Pak Affar ditemani seorang awak kapal yang bertugas siang ini.
      "Eh, Pak Affar," Abdi dan Dalem langsung menelungkupkan kedua tangannya secara otomatis di depan paha.
      Rak-rak terlihat dari ujung kaki hingga atas kepala, bersusun dari ujung ke ujung. Rak ini berbentuk persegi dengan masing-masing rak menampung sekitar seratus ekor domba. Ada sekitar dua ratus dua puluh rak di Kapal ini. Di ujung masing-masing rak ada delapan drum besar tempat pakan ternak yang telah disiapkan dan diisi semenjak dari Malaka.
      "Hehe, tak habis-habisnye ka kalian membahas persoalan tu?" tangannya menunjuk ke arah jendela.
      "Hebat tapi Pak Affar, teknologi ini membuat domba tidak kepanasan saat dibawa mengarungi samudera. Coba Mataram juga bisa membuatnya ya..." Dalem segera menyahut.
      "Ya bise laah.. cume kan jarak antara Mataram dengan kepulauan Nusa dekat, satu hari pun sampe kalau lancar. Kite sesuaikan kondisi je," jelas Pak Affar.
      "Eee sedang apa Pak? Mengganggu kah kita?" tanya Dalem.
      "Sedang kasih pakan Lem," Pak Affar menunjuk ke arah awak kapal yang sedang menaruh pakan ke rak-rak.
      "Cukup ya Pak selama berlayar?" tanya Abdi.
      "Maksimal kire-kire tujuh hari perjalanan. Seluruh pakan disini dibuat fermentasi jadi tahan enam bulan di dalam drum. Nah, tapi ombak tak terase payah, kondisi cuace pun bagus, InsyaAllah sangat cukup sampai tujuan," jelas Pak Affar.
      "Oh iye, ini sambil nyari domba yang agak gemuk buat kalian berdua malam ni," tiba-tiba muka Abdi memerah dan Dalem hanya batuk-batuk pelan.
      "Ayo la, kite cari di rak tujuh puluh sembilan, di sane gemuk-gemuk tampaknye tadi seingat saye," mereka pun berjalan menuju rak-rak di tengah. Suara embikan domba menemani mereka selama berjalan. Udara pun terasa lebih dingin seiring dengan makin jauhnya mereka melewati rak-rak yang dipasang. Berbeda-beda memang antara rak satu dengan yang lain, ada rak yang didominasi domba kurus dan ada yang gemuk, namun begitu sampai di rak nomor tujuh puluh sembilan barulah mereka yakin Pak Affar tidak memiliki maksud jahat sedikitpun.
      "Wah, memang gemuk-gemuk," mata Dalem termanjakan dengan pilihan yang begitu banyak.
      "Iye lah, pasti saye pilihkan domba yang siap jual, bukan yang masih perlu digemukkan," ujar Pak Affar.
      "Ee.. anu Pak Affar tadi kok ada kembalian dua dirham ya ?" Abdi tiba-tiba menanyakan transaksi mereka ketika membeli domba.
      "Hmm.. due dirham Malaka ke tadi yang aku kasih ke kau Dalem?" tanya Pak Affar.
      "Iya betul Pak Affar.. ini.. sebentar..." Dalem mencari di kantongnya.
      "Tak usah, memang benar, karena satu dinar Malaka kan beza karatnye same satu dinar Mataram," jelas Pak Affar segera.
      "Hah? Eh.. beda ya..." tanya Abdi.
      "Haha, harusnya kalian sudah tahu, dan haruslah tahu."
      "satu dinar Malaka same dengan satu dinar di zaman rasulullah, yakni emas dengan bobot empat seperempat gram dan kadarnye dua puluh dua karat. Naa, satu dinar Mataram bobotnya hanya empat gram tapi kadarnye dua puluh empat karat," keduanya tak bisa menyembunyikan kebingungan mereka.
      "Loh, lebih ringan dinar mataram berarti dibandingkan dengan dinar malaka..." tanya Dalem.
      "Yup, betul sangat! Tapi kadarnye lebih besar dinar mataram sebanyak dua karat."
      "Pernah kite bandingkan, ketike dihitung untuk pertukaran 1 dinar mataram ditukar ke dinar malaka akan mendapat satu dinar Melaka dan dua dirham," jelas Pak Affar lebih jauh.
      "Ooh jadi 1 dinar mataram.. jika ditukar menjadi dinar malaka.. setara dengan 1 dinar malaka.. dan 2 dirham ya?" tanya Abdi sambil berpikir.
      "Yaa, tepat sekali!" Pak Affar tampak geli melihat mereka berdua.
      "Harusnya kalian ikut mengaji tentang uang ni, jadi tahu pule mana yang haram dan yang halal, haha..." candanya.
      "Oh iye, InsyaAllah ada konferensi di Malaka minggu ni, cobe kite bareng ke sana nanti. Kalau tak salah pesertanye juge dari seluruh Nusantara."
      Abdi dan Dalem hanya mengangguk-angguk, sementara Pak Affar tertawa ringan. Mereka lalu melanjutkan kegiatan di dapur setelah memilih domba yang cocok. Memotong domba dan mengulitinya dilakukan di ruangan khusus sebelah dapur yang berdekatan dengan jendela luar. Diselingi sholat Ashar, kegiatan ini berlangsung cukup lama sebelum mereka mulai memasak sebagian dagingnya dan menyimpan sebagiannya lagi untuk dimakan besok.
      Setelah magrib barulah masakan mereka matang, namun saat itu sudah menjelang isya' dan hidangan baru tersaji di meja makan. Seluruh awak kapal akan menyantap makan malam ba'da isya, kebanyakan mereka makan dengan lauk ikan. Beberapa bahkan masih menyimpan bahan makanan yang mereka bawa dari Malaka.
      "Huff, sudah laper ni Di.. capek bener dari siang tadi nyiapinnya..." gerutu Dalem.
      "Sebentar Lem, aku nanya ke Pak Affar dulu, sekalian ngajak beliau makan bareng," Pak Affar yang sedang membersihkan piring di dapur ternyata memperhatikan mereka. Ia menyuruh awak yang lain untuk menunaikan sholat terlebih dahulu lalu mendatangi Abdi dan Dalem.
      "Kalian makan duluan lah, pasti kalian capek sekali," ujarnya.
      "Ah, I.. iya Pak Affar. Gimana kalau ikut bergabung dengan kami. Eee tadi kan Bapak juga sudah menemani menyiapkan dan memasak dagingnya...Kami segan kalau harus makan berdua saja," ajak Abdi.
      "Hmm.. baikla. Kite sholat Isya' bareng saje nanti kalau begitu sehabis makan," Pak Affar mengiyakan ajakan Abdi. Mereka pun bertiga menyantap makanan yang terhidang.
      Pak Affar memimpin doa sebelum makan. Menghadap laut lepas di perairan nusantara sungguh sangat indah, Dalem yang sangat ceria mulai mengambil potongan paling besar dari daging kambing yang telah direbus dengan rempah-rempah khas. Abdi tidak begitu memperhatikan Dalem dan ikut mengambil potongan di sebelahnya. Pak Affar tertawa ringan, tahu keduanya sudah menahan lapar semenjak siang.
      "Pelan-pelan laa Abdi, Dalem... makannya," yang dibalas senyum singkat keduanya dan tanpa kata-kata melanjutkan melahap daging domba yang ternyata sangat empuk sekali.
      "Hahaha..." Pak affar tertawa sambil mengambil beberapa sayuran dan meletakkan daging domba di atasnya, Ia membungkus daging itu sebelum ikut melahap bersama. Sejenak Pak affar tersenyum, senang kedua tamunya bisa menikmati perjalanan menuju Malaka. "Hmm.. Abdi.. kenape banyak nian kancing bajunye? Ape ada maksud di balik itu?" pertanyaan yang tidak langsung dapat dipahami Abdi, namun Dalem segera melihat ke arah yang sama dengan Pak Affar dan menjawab.
      "Akh.. ittu mmang paken khss krrton Pk Affar!" makanan masih penuh mengisi mulut Dalem. Mulut Abdi yang tidak begitu penuh segera menjelaskan.
      "Ini..." tangan Abdi menunjuk ke arah bagian kerah dimana terdapat tiga pasang kancing.
      "Melambangkan Rukun Iman."
      "Aaahh karne jumlah kancingnye ennaam..." Pak Affar menimpali jawaban Abdi yang dibalas anggukan singkatnya.
      "yang ini," tangan kanannya menunjuk ke arah kancing di lengan kiri yang tidak ditekuk.
      "Melambangkan Rukun Islam."
      "satu.. Due.. Tige.. yaya pas lime rupanye..." Abdi tersenyum singkat senang Pak Affar segera memahaminya.
      "Waah, elok juge maknanye.. Alhamdulillah, berarti Kraton Mataram benar-benar sangat memperhatikan Islam di semua sendi kehidupan. Bahkan baju pun ade aturannye..." Abdi dan Dalem hanya mengangguk sembari tersenyum.
      Beberapa saat kemudian Abdi mengurangi tempo makannya dan melihat sekilas ke arah laut di sebelah belakang dimana terlihat kapal dengan layar kuning besar yang mengiringi perjalanan mereka semenjak dari Nusa.
      "Senang ya ada kapal yang menemani..."
      "Hoo.. pastilaah.. apalagi ade due!"
      "Kami kira hanya dua kapal yang ke Nusa. Rupanya satu kapal lagi mengangkut domba dari pulau sebelah selatan," tambah Abdi.
      "Ah, itu hanye masalah teknis saje, tidak jadi soal. Suruh ambil ke selatan semue juge tak ape-ape, karena memang top punye domba milik Nusa ni," jempol Pak Affar teracung.
      "Jangan-jangan di kapal lain juga sedang potong kambing Pak Affar?" tanya Dalem.
      "Hehe, bise aje kau Dalem.. Yaa.. makanan yang kite stok dari Malaka tidak begitu banyak, tapi insyaAllah cukup laa kalau tanpa tambahan awak," jawabnya.
      "Alhamdulillah, tidak salah kami memutuskan untuk membeli domba kalau begitu..." mata Dalem melihat sekilas ke arah Abdi yang hanya tersenyum kecut.
      Tak banyak yang diperbincangkan setelah itu. Seusai menyantap makanan mereka bertiga segera menunaikan sholat magrib yang dijamak dengan sholat isya' karena sedang dalam perjalanan.
      Kompartemen Abdi dan Dalem ada di tempat tamu di bagian atas dek. Baru kali ini mereka membayar untuk kamar yang lebih 'mewah' dari biasanya. Ada dua ranjang yang cukup luas dan kamar mandi pun tersedia di dalam. Malam ini keduanya sangat pulas beristirahat, seolah-olah tak pernah terjadi peperangan di laut dan mereka pun tak pernah menaiki sekoci kecil dan mendayungnya sangat jauh untuk menyelamatkan diri...
                                          ~
      Lima hari pun berlalu, tidak banyak yang terjadi di hari-hari berikutnya. Abdi dan Dalem hanya bertukar cerita saja dengan Pak Affar mengenai perjalanan mereka ke Samudera, pelajaran yang mereka ambil dari Imam Hassan dan tenyata Malaka sering sekali mengadakan perjalanan ke sana, begitu pun pula sebaliknya. Banyak pemuda Samudera pergi belajar ke Malaka selain kapal dagang yang rutin hilir mudik setiap awal bulan. Rupanya ketika Abdi dan Dalem berkunjung ke sana tidak bertepatan dengan kunjungan kapal-kapal dari Malaka, karena mereka datang pada tengah bulan. Pak Affar bercerita pengalamannya sendiri ketika masih muda dahulu berkunjung ke Samudera, satu-satunya Negeri di Nusantara yang benar-benar gigih mempertahankan hukum Allah untuk dapat ditegakkan.
      "Negeri yang elok nian, tak pernah menyerah pade kekufuran..." ujarnya.
      "Iya, benar itu Pak Affar. Kami sudah mencatat sejarahnya yang panjang..." Abdi mencari buku kecil di tas.
      "Tapi Malaka juga terkenal keindahannya kok, kami dulu hanya mendengarnya saja. Makanya sekarang benar-benar bersyukur bisa bersama Pak Affar menuju Malaka," ucap Dalem.
      "Negeri dongeng dari utara Nusantara," tambahnya lagi, diiringi senyum Abdi yang sudah menemukan catatannya.
      "Ah, bise saje kalian nii..."
      Tak banyak yang bisa dilakukan Abdi setelah sholat Isya' selain menikmati luasnya kompartemen sambil memandangi langit malam. Sementara itu Dalem bolak-balik ke kamar mandi, yang untungnya berada di dalam kamar mereka sendiri. Ia terlalu banyak menyantap cabai selain tentu saja porsi makannya yang besar, apalagi daging domba malam ini dibuat seperti masakan padang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H