Kondisi Masa-Masa Awal Islam sebelum Perintah Puasa Diturunkan
Alkisah, ketika Muhammad SAW mengajarkan dan memurnikan kembali agama Ibrahim AS, saat itu di tahun-tahun awal perjalanan dakwah, Islam masih terlihat sangat lemah, tidak begitu dipandang, dan tampak tidak memilki kekuatan apapun, bahkan untuk sekedar menguasai sebuah kota sekalipun. Kala itu tidak ada yang berpikir kalau Islam akan menguasai seluruh jazirah Arab bahkan nanti hingga sepertiga dunia.
Para pengikutnya kebanyakan hanya orang-orang lemah, bahkan para budak, yang senang dengan konsep kesetaraan antara muslim satu dengan yang lainnya sehingga tanpa disuruh pun hatinya sudah langsung mengikuti. Karena tidak adanya daya dan kekuatan, hampir setiap hari mereka harus menerima berbagai bentuk tekanan selama berada di Mekah bersama Sang Nabi tercinta. Tiga belas tahun lamanya mereka harus menanggung penderitaan dan bertahan hidup demi menjaga iman yang di tempat itu bagaikan secercah sinar benderang bagi mereka yang hidup dalam kegelapan, sadar maupun tidak.
Berbagai bentuk perintah ibadah termasuk sholat lima waktu sudah mereka terima, yang disampaikan dari lisan Nabi tercintanya, namun ada satu ibadah yang belum juga diperintahkan, yakni puasa. Puasa merupakan bentuk ibadah yang umum, yang ada hampir di semua agama. Tidak hanya pemegang Taurat dan Injil, bahkan mereka yang membaca kitab Veda sekalipun mengerti apa itu ibadah puasa. Namun, umat Muhammad SAW belum juga mendapatkan perintah untuk berpuasa. Lalu datanglah perintah hijrah ke Madinah, sehingga masa-masa di Mekah perintah puasa tidak pernah diturunkan.
Setelah umat Muhammad SAW hijah ke Madinah, kondisi yang lebih tenang membuat mereka menjadi lebih leluasa dalam beribadah. Namun, ada hal aneh yang terjadi ketika masa-masa awal berhijrah, yakni berpindahnya arah kiblat. Umat Islam saat itu diharuskan menghadap ke arah Jerussalem saat melaksanakan sholat. Padahal, tidak pernah dalam sejarah, mereka membelakangi Ka’bah ketika beribadah kepada Tuhan Pencipta Langit dan Bumi. Ketika itu pula akhirnya mereka berpuasa, namun puasa yang mereka jalani mengikuti apa yang dilakukan oleh umat sebelum mereka. Waktu berpuasa pun mengikuti apa yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada umat sebelum mereka, yakni dari matahari tenggelam sampai tenggelamnya matahari kembali.
Sekilas Kisah Bani Israil Hingga ke Tanah Arab
Mengapa Allah SWT memerintahkan umat Islam kala itu untuk mengganti arah kiblat mereka dan melaksanakan ibadah puasa dengan mengikuti syariat umat terdahulu? Jawabannya ada pada keberadaan kaum Yahudi di Madinah. Umat terdahulu sudah mengantisipasi kedatangan Rasul terakhir yang akan datang di jazirah Arab sesuai dengan keterangan Nabi-nabi yang diutus kepada mereka, mengabarkan tentang ciri-ciri kedatangan Nabi terakhir yang seharusnya sudah dikenal oleh kaum Yahudi seperti mereka mengenal anaknya sendiri.
Oleh karena itu mereka dengan bersemangat dan sepenuh hati mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh para Nabi yang diutus yang berasal daari golongan mereka sendiri. Termasuk diantaranya berhijrah dan mendirikan pemukiman di wilayah Madinah, tempat yang relatif dekat dengan Ka’bah. Hanya saja karena Ka’bah kala itu banyak dipenuhi dengan kemusyrikan, sehingga mereka memutuskan untuk tidak mendirikan pemukiman di sana, melainkan di Madinah.
Ada legenda turun temurun yang sangat dipercaya oleh Kaum Yahudi yang berasal dari pemberitaan oleh para Rasulnya. Yang pertama yakni Sang Messiah, yang akan membawa kembali kejayaan di masa-masa Raja Daud dan Sulaiman. Kedua pemberitaan mengenai kedatangan Rasul terakhir, yang akan membawa pintu keselamatan dan ampunan bagi mereka. Allah SWT telah menjanjikan untuk mengampuni seluruh dosa-dosa mereka di masa lalu jika mereka mengikuti Rasul yang terakhir ini. Seluruh dosa-dosa yang penuh dengan kelicikan, kesombongan, dan darah para nabi serta orang-oranag yang tidak bersalah.
Mereka, dengan keyakinannya, masih merasa kalau Rasul yang terakhir itu nanti pasti akan datang dari golongan mereka sendiri. Sehingga mereka jauh-jauh datang ke Madinah dengan harapan anak keturunannya akan dipilih oleh Allah SWT sebagai Rasul pembawa ampunan dan keselamatan itu. Hal yang sayangnya tidak akan pernah terjadi dan menjadi ujian tersendiri bagi mereka jika memang benar-benar mengharapkan ampunan dan keselamatan dari Allah SWT.
Sang Messiah yang asli sudah ditolak, bahkan mereka berusaha membunuh Nabi Isa AS. Jika saja Allah SWT tidak berkehendak untuk menyelamatkan Messiah yang asli kala itu pastilah orang-orang yang benar-benar menyombongkan diri dari golongan mereka saat itu akan tertawa dan meremehkan Sang Penciptanya sendiri. Namun Allah berkehendak supaya Messiah yang asli selamat dan turun kembali di masa yang akan datang dan ajarannya tetap lestari meski saat sekarang ini penuh dengan penyelewengan.
Meskipun Allah SWT marah kepada kaum Yahudi saat itu, mereka masih diberikan satu peluang untuk diampuni, yakni melalui Rasul terakhir. Allah SWT sudah memberi mereka tanda, yakni perpindahan kiblat umat Muhammad SAW kala itu menghadap Jerussalem. Audiensi pun telah dilakukan secara berkala kepada seorang dari Bani Quraish yang mengaku sebagai Nabi utusan Tuhan itu. Namun, seperti sebelumnya, kesombongan kaum Yahudi ini mengalahkan seluruh pengetahuan yang dimilikinya untuk mengikuti ajaran Nabi Ibrahim AS yang sebenarnya dan memurnikan agama mereka.
Penolakan mereka kepada Nabi Muhammad SAW dan umat Islam kala itu, bahkan saat mereka berpuasa dengan syariat yang sama dengan apa yang diturunkan melalui Taurat, semakin menjadi-jadi dan membuat semuanya jelas. Pintu dan kesempatan terakhir itu akhirnya akan ditutup oleh Allah SWT. Namun, dengan segala kemurahan dan kasih sayang-Nya, kesempatan untuk kembali ke jalan yang benar selalu terbuka bagi mereka yang di masa depan bersyahadat dan mengikuti Islam sebagai penerang jalannya. Sementara yang tetap menolak, akan mengikuti Dajjal, Sang Messiah palsu, seperti yang terjadi sekarang ini terhadap mereka yang mengaku Bangsa Israel di Palestina.
Tiga Perintah di Bulan Sya’ban
Tujuh belas bulan pun berlalu di Madinah, tanpa kejelasan identitas akibat ibadah yang mereka jalani. Sebenarnya mereka benar-benar memurnikan ajaran Nabi Ibarahim AS atau hanya sekedar mengikuti umat terdahulu. Nabi Muhammad SAW pun kerap melihat ke arah langit, seperti mempertanyakan, “sampai kapan wahai Pencipta Langit dan Bumi, hamba dan umat ini harus menghadap ke arah Jerussalem dalam melaksanakan sholat dan berpuasa layaknya umat terdahulu?”
Perintah itu pun akhirnya turun, kiblat pun dikembalikan ke arah Ka’bah. Hal yang sempat membuat kaum Yahudi terkejut, mengapa Muhammad dan kaumnya kembali ke arah Mekah, “apakah mereka sudah bosan dan malu mengikuti kita?” Sayangnya, mereka tidak berpikir kalau itu datang dari langit dan bertujuan untuk memberi tahu mereka bahwa pintu itu kini sudah ditutup. Pintu untuk mendapatkan keselamatan dan ampunan Tuhan Yang Maha Tinggi.
Saat ini sebenarnya Allah SWT juga ingin memberikan kejelasan identitas, bahwa umat Muhammad SAW berbeda dengan umat terdahulu. Akan tetapi belum bisa sepenuhnya terpisah karena bentuk puasa yang masih sama dengan syariat umat terdahulu. Ejekan-ejekan dan benih kebencian dari kaum Yahudi mulai nampak, belum lagi tekanan dari Mekah yang tidak rela sanak saudaranya mengikuti ajaran Muhammad SAW.
Maka Allah SWT menurunkan perintah berikutnya, bukan puasa, tetapi perintah untuk berjihad. Berjihad bisa jadi merupakan hal yang tidak kita sukai, namun sebenarnya ia baik dan mendatangkan kebaikan. Allah SWT menurunkan perintah jihad dengan tujuan supaya setiap muslim dapat mempertahankan diri dan keyakinannya masing-masing. Ketika opsi untuk berdamai justru akan menghilangkan identitas sebagai seorang muslim, maka pilihan yang kita sukai justru menjadi hal yang buruk dan akan mendatangkan keburukan bagi kita.
Allah SWT sudah memerintahkan masing-masing dari kita dan kepada umat ini, untuk bersiap mengangkat senjata melawan musuh yang akan menginjak-injak dan merampas milik dan identitas kita sebagai seorang muslim. Jadi pada dasarnya jihad diturunkan bukan untuk melakukan penjajahan tetapi ia diturunkan untuk melawan kejahatan serta penindasan. Ia diturunkan sebagai perintah untuk mempertahankan diri dari musuh yang menyerang.
Saat itu, permusuhan yang ditunjukkan kaum kafir Mekah sedemikian dahsyatnya, hingga mengarah ke arah pertempuran yang tidak terhindarkan. Jika harus berdamai, maka umat Islam akan kehilangan identitasnya sebagai seorang Muslim.
Di saat umat Islam mempersiapkan diri untuk berjihad ini lah turun perintah ketiga, perintah yang ditunggu-tunggu sejak awal kedatangan agama ini melalui lisan Muhammad yang mulia dan terpercaya. Perintah berpuasa akhirnya diturunkan sebagai perintah ketiga di bulan Sya’ban yang sama.
Mengapa perintah berpuasa turun di saat umat Islam bersiap untuk bertempur dan mengumpulkan kekuatan melawan musuh? Apa makna dari perintah berpuasa ini?
Puasa adalah kekuatan, ia menghubungkan langsung seorang hamba kepada Sang Penciptanya, yang dengan itu manusia terkoneksi tanpa perantara kepada Sang Pemilik Kekuatan itu sendiri. Lihatlah sejarah, umat muslim tidak akan pernah kalah di medan pertempuran, kecuali didahului dengan kehilangan iman, identitas, dan cahaya yang asalnya dari langit.
Kekuatan internal yang datang langsung dari Allah SWT lah yang membimbing seluruh aktivitas para mujahid dalam pertempuran. Ketika mereka melempar maka itu lemparan dari Allah, ketika mereka memukul maka itu pukulan dari Allah, ketika mereka melancarkan serangan maka itu serangan yang juga memperoleh restu dan energi dari langit.
Tidak pernah kekalahan umat ini tanpa didahului rusaknya akidah dan moral serta hilangnya cahaya yang sesungguhnya. Sebaliknya, seluruh kemenangan yang diraih, pasti lekat dan dekat dengan kekuatan tak terbatas yang bersumber langsung kepada Tuhan Pemilik Seluruh Alam. Afganistan sudah menunjukkan betapa kegigihan dan keimanan yang menyatu bisa mengalahkan tiga emporium terbesar yang berusaha menjajah mereka, Kerajaan Inggris Raya, Russia yang kala itu masih bernama Uni Soviet, terakhir Amerika dan sekutunya NATO, hingga mereka memperoleh kemerdekaan berkat kekuatan internal yang luar biasa, yang langsung terkoneksi kepada Allah SWT.
Berpuasa merupakan ibadah yang langsung berhubungan dengan Allah SWT. Bahasa yang digunakan oleh Allah SWT untuk menunjukkan hal ini sungguh sangat intim, “Bila kau berpuasa, kau berpuasa untuk Ku”. Bila kita berpuasa kita berpuasa langsung untuk Nya.
Bila sebuah panah dipatahkan tentunya hal itu sangatlah mudah, tetapi bagaimana bila ribuan panah menjadi satu? Puasa Ramadhan, memberikan rasa kebersamaan yang kuat bagi kita, di sebuah keluarga, di sebuah desa, di satu wilayah, di seluruh dunia. Setiap muslim berpuasa, dan rasa kebersamaan itu muncul di hati-hati kita. Bulan yang menjadikan kita satu. Tidak hanya ribuan, bahkan jutaan panah menjadi satu, dan itu merupakan kekuatan.
Untuk melawan sesuatu, bertempur tiap harinya, kita membutuhkan lebih daripada kebersamaan. Ketika kita melawan kita butuh daya tahan. Dan ketika kita berpuasa, kita selalu belajar untuk menahan diri setiap waktunya, setiap harinya. Puasa Ramadhan mendisiplinkan kita, dimana kualitas daya tahan dan kesabaran menjadi sempurna.
Bila kita bisa berpuasa untuk Allah SWT dari subuh hingga tenggelamnya matahari. Menahan nafsu dengan berpuasa hari demi hari, maka mengapa kita tidak bisa hidup untuk-Nya?
Ramadhan mengubah umat Muhammad SAW saat itu, menjadikan orang-orangnya hidup hanya untuk Sang Maha Hidup. Bila kita korelasikan di kehidupan saat ini, bisakah kita meninggalkan semua yang dilarang Nya, untuk kemudian hidup untuk Nya? Pekerjaan kita yang berhubungan dengan riba dan dosa, kebiasaan buruk kita yang selalu bermaksiat kepada Nya, semua dosa yang masih melekat dan terus berkembang biak dalam diri kita, bisakah kita meninggalkan semua itu demi hidup untuk Nya?
Ketika seseorang telah siap untuk mengorbankan hidupnya, ia dapat mengalahkan musuh yang jauh lebih kuat dari dirinya. Ketika seseorang telah siap untuk memberikan hidupnya untuk Sang Maha Hidup, ia tak akan dapat dikalahkan. Meskipun ia mati, alasan mengapa ia mengorbankan hidupnya akan selalu hidup, dan di akhiratlah kemenangan yang sebenar-benarnya. Dan hidup untuk Allah SWT memberikan kekuatan kepada diri kita. Baik dalam kehidupan maupun di medan perang, dan di setiap pertempuran. Karena hanya mereka yang dapat hidup untuk Nya, hanya mereka, yang dapat mati untuk Nya. Sisanya, hanya seperti debu yang datang dan pergi ditiup angin.
Akhirnya Puasa Ramadhan memberikan umat Muhammad SAW saat itu kekuatan, kekuatan yang mengantarkan mereka kepada kemenangan di medan pertempuran pertama, Badr.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H