Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Catatan Abdi Dalem (Bagian 3) - Catatan Perjalanan Satu

13 Maret 2024   08:40 Diperbarui: 13 Maret 2024   14:41 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini diawali dengan sebuah cerita atas saran Imam Ibrahim Hassan, setelah aku menunjukkan catatan ini di hari terakhirku dan Dalem di Samudera, sehingga harus mengurutkan kembali catatan lama, memberi coretan di sana-sini, dan menyalinnya kembali.

Ini adalah sebuah cerita yang mengisahkan perjuangan seorang janda miskin untuk menghidupi ketiga anaknya. Ia hidup di pedalaman sebelah selatan kerajaan Samudera, namanya diambil dari nama seorang bangsawan masa lalu yang dikaguminya, Nyak Dien. Sudah semenjak kecil ia mendengar kisah kepahlawanan itu dari kedua orang tuanya. 

Kini, setelah ia dewasa dan menikah apalagi dikaruniai tiga orang anak, ia jadi mengerti bagaimana rasanya menjadi 'pahlawan' itu. Terutama ketika ia menyadari betapa sulitnya mengasuh ketiga anaknya di rumah, memberi mereka pendidikan, dan menyiapkan semua keperluan suami sebelum ia berangkat ke ladang dan pulang nanti ke rumah lagi. Itu semua dijalaninya selama lima tahun setelah mendapat anak ketiga, kemudian secara tiba-tiba ia kehilangan orang yang setiap hari, meskipun hanya sebentar, selalu membantu mengurus ketiga buah hatinya. Suaminya meninggal di saat umurnya hampir menginjak kepala tiga. Disinilah ia berjuang seorang diri untuk mengurus seluruh kebutuhan ketiga buah hatinya. Beruntung, anak pertamanya adalah seorang anak lelaki yang cukup kuat dan bisa membantunya dalam mengurus ladang. 

Suatu waktu anak pertamanya yang sudah berusia 10 tahun itu ingin bersekolah di Madrasah yang berada di kota Samudera. Di Madrasah itu hanya diperlukan uang pangkal saja, sisanya ia harus mengikuti serangkaian tes yang akan menentukan di kelas mana ia akan ditempatkan. Umur tidak menjadi masalah dan bagusnya lagi ia bisa bersekolah sambil bekerja. Ia mendapat kabar bahwa Madrasah itu selalu membuka kesempatan bagi anak-anak yang ingin mendapat tambahan penghasilan untuk diri dan keluarga mereka. Paling banyak yang ditawarkan adalah dalam hal perdagangan namun juga di bidang peternakan, perikanan, bahkan perkebunan. Penghasilan yang didapat nanti akan sangat bergantung kepada dirinya sendiri. Itulah yang membuat Nyak Dien begitu senang, apalagi itu adalah keinginan anak pertamanya sendiri. 

Bagi Nyak Dien, ia bahagia mendapat harapan yang cerah bagi anaknya di masa depan, apalagi sebenarnya anak pertamanya itu sudah terlambat masuk sekolah, tapi dengan sistem yang memungkinkan ia untuk tidak harus mengawali pendidikan dari titik awal sungguh sangat membahagiakan. 

Mulai hari itulah keluarga ini sangat bersemangat dalam berkerja dan berusaha menabung untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan. 

Sedikit demi sedikit mereka menyisihkan sebagian uang yang didapat dari penjualan hasil ladang, bahkan untuk makan pun mereka berusaha berhemat. Kedua anak Nyak Dien yang lain sangat mengerti bagaimana perasaan dan keinginan ibu dan kakak mereka. Keduanya juga kadang membantu di ladang, meskipun yang paling bungsu hanya melihat dari kejauhan bagaimana sang ibu mengangkat cangkul sementara kakak-kakaknya menabur bibit dan menyiraminya. 

Nyak Dien mendapat ide untuk menambah pengasilan dengan beternak, maka dengan bekal empat ekor kambing yang dibiarkannya mencari makan di rerumputan sekitar ladang, ia yakin bahkan dapat mengirim anak keduanya ke Madrasah. Harapan yang membuat satu keluarga ini sangat ceria di setiap harinya, meskipun mereka harus berlelah-lelah dalam bekerja. 

Pendidikan di rumah pun dimulai seusai menunaikan sholat magrib berjamaah setiap hari, si kakak yang paling sulung cepat sekali menangkap apa pun yang diajarkan Nyak Dien kepadanya sementara itu anak keduanya yang berumur 7 tahun ikut menyimak sambil kadang bertanya jika ia kebingungan. Bagi Nyak Dien itu sudah cukup, apalagi anak keduanya ini adalah seorang perempuan, tapi bila ia bisa ikut masuk ke Madrasah, hal itu juga merupakan anugerah tersendiri, apalagi di Madarasah pendidikan bagi kaum perempuan juga sama bagusnya. 

Sekitar enam bulan telah berlalu, tabungan yang kini terkumpul sudah siap untuk dikeluarkan, kambing-kambing pun terlihat gemuk dan layak dijual. Mereka sangat bersyukur sekali dan memutuskan untuk segera mendaftar ke Madrasah. Maka di suatu malam Nyak Dien dan ketiga anaknya bersiap melakukan perjalanan yang jauh, sekitar satu hari penuh menuju ke madrasah. Rencananya mereka akan pergi esok hari setelah subuh dengan berjalan hingga waktu dhuha tiba ke tetangga mereka yang memiliki pedati, kemudian menyewanya untuk mengantarkan mereka ke Madrasah sehingga mereka bisa tiba sebelum Ashar. Keempatnya begitu bersemangat dan mereka memilih untuk tidur lebih awal di malam hari supaya esoknya dapat memiliki energi penuh untuk menempuh perjalanan jauh. Sayangnya semua tidak berjalan sesuai dengan rencana, malam itu mereka kehilangan segalanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun