Sebenarnya Nyak Dien mendengar sesuatu yang mencurigakan di malam hari namun ia mengabaikannya. Barulah menjelang subuh ia terbangun dan melihat ada sesuatu yang tidak beres. Ia menemukan anak keduanya pingsan di depan pintu dan di tangan kanannya ada seuntai robekan kain berwarna hitam dengan bau khas. Setelah terbangun, anak keduanya bercerita bahwa ada segerombolan orang yang membunuh kambing-kambing mereka dan membawanya pergi. Keluarga Nyak Dien kehilangan hartanya, bahkan tabungan yang diletakkan di dekat ruang makan pun raib. Anak keduanya bercerita ada yang menutup mulut serta hidungnya sebelum ia sempat berteriak, ia pun dibuat pingsan. Ia menarik kain baju orang yang membekapnya. Entah apa yang dirasakan oleh semua anggota keluarga Nyak Dien, yang jelas pagi itu semuanya menangis, tak percaya dengan apa yang mereka alami. Sudah berbulan-bulan mereka mengumpulkan uang tabungan itu dan sudah berbulan-bulan pula kambing-kambing itu mereka besarkan, belum lagi itu dilakukan setiap hari. Semua yang mereka kerjakan halal, namun tiba-tiba ada sekelompok orang yang seenaknya sendiri mengambil seluruh hasil kerja keras dan keringat mereka. Yang dapat dilakukan mereka di hari itu hanyalah menangis dan menahan perasaan karena hancurnya harapan untuk hidup lebih baik dan cerah di masa depan. Si sulung hanya terdiam lama setelah usai tangisannya, begitu pula anak keduanya, si bungsu ikut menangis namun lebih karena kedua kakaknya menangis. Nyak Dien termenung cukup lama, ia teringat kisah seorang pahlawan yang tak pernah menyerah sampai matinya, kisah yang dulu diceritakan oleh kakek dan kedua orang tuanya. Ia pun bergegas menuju ke pusat kerajaan Samudera bersama ketiga anaknya untuk mengadukan hal ini ke petugas kerajaan.Â
Perjalanan yang teramat jauh hanya untuk memberikan laporan apalagi barang bukti yang dibawanya hanya selembar kain dari baju salah satu gerombolan pencuri. Selama perjalanan ketiganya terdiam, si sulung berkata ingin rasanya menghajar mereka yang mencuri hasil kerja kerasnya selama ini, adik keduanya ikut bersimpati, bahkan Nyak Dien sendiri tahu rasanya. Ia menenangkan mereka dengan terus meyakinkan bahwa Allah tidak tidur, pencurian adalah hal yang bisa terjadi di mana saja, ia sendiri jika memiliki senjata ingin rasanya mencari para pencuri itu dan menembak mereka semua. Kita semua adalah milik Allah dan akan kembali kepadaNya, bila mendapat kesulitan kita haruslah kembali kepadaNya.
      Sampai di sini Imam Ibrahim Hassan menghentikan ceritanya dan menjelaskan pentingnya Hukum Hudud dalam kehidupan bermasyarakat terutama di Samudera. Dulu, kata beliau, seluruh bentuk kejahatan didata dan dibuat peringkatnya. Ternyata yang menduduki tingkat teratas adalah pencurian. Beliau juga bertanya pernahkah kami mencari tahu tindak kriminal apa yang paling tinggi di Mataram. Entahlah, tak pernah aku dan Dalem mencari tahu apa jenis kejahatan yang paling tinggi di Mataram. Tapi yang jelas, diperlukan tindakan yang tegas dan segera apalagi jika kejahatan itu berada di peringkat teratas. Pernah kudengar di negeri orang kulit kuning sana hukuman bagi para koruptornya adalah hukuman mati. Hmm, mungkin di sana korupsi sudah parah sekali sehingga membutuhkan suatu tindakan nyata yang bisa memberikan pengaruh signifikan dalam mengurangi korupsi. Ah, cukup bagi kami hukum hudud ini dari Allah, kami ridha terhadap ketentuanNya dan semoga Ia juga ridho kepada kami. Orang-orang yang tangannya dipotong itu kadang-kadang muncul di pasar atau ketika hari besar, mengingatkan kami untuk berhati-hati mencari rezeki, jangan dari jalan yang haram.
      Hukum Pencurian dirinci sedemikian rupa bahkan hingga yang bersifat halus seperti orang yang berhutang namun tidak membayar padahal sudah lewat jauh dari jatuh temponya. Imam Hassan menceritakan kepada kami hakim dapat memerintahkan supaya tangan orang yang berhutang tapi bandel diikat erat-erat di punggung; kalau sesudah waktu tertentu tak ada dari teman atau keluarganya yang datang membayar utang dan membebaskannya, maka orang tadi diserahkan kepada yang memberi hutang untuk dijadikan budak. Hal ini mencontoh pada zaman keemasan dulu di bawah pemerintahan Iskandar Muda. Nah, Imam Hassan juga menceritakan kepada kami sejarah kerajaan Samudera yang dulunya memiliki wilayah kekuasaan hampir di seluruh pulau ini, sangat luas hingga ke lampung, dan dulunya berpusat di Kesultanan Aceh.
      Berbicara mengenai penduduknya, mereka adalah pelaut-pelaut berjiwa petani. Sangat melimpah sekali hasil laut di Samudera, bahkan hingga ke desa di pinggiran. Hal itu diimbangi dengan kemampuan berkebun dan bertani serta sedikit dalam beternak. Sebenarnya yang paling mereka kuasai adalah bidang kelautan, sedikit sekali mereka mengembangkan kemampuan dalam hal pertanian, meskipun, banyak sekali ditemukan tanaman dan rempah di sini. Tetapi masalah teknik pertanian sangatlah kurang terutama apabila hari panas yang panjang dan hujan yang sedikit. Oleh karena itu mereka sangat senang ketika aku dan Dalem mengajarkan teknik pertanian Hidroponik. Kami mengajari mereka membuat hidroponik sederhana tanaman kangkung dan sawi, sehingga mereka nantinya bisa mengembangkan sendiri untuk tanaman lainnya.
      Hasil buminya beraneka ragam mulai dari minyak tanah, belerang, kamper, kemenyan, hingga emas. Selain itu rempah-rempah juga banyak ditanam terutama oleh mereka yang tinggal di dataran tinggi. Salah satu tumbuhan yang terkenal dan paling banyak ditemui di sini adalah cempaka wangi. Sayang sekali kami tidak sempat menjelajahi seluruh wilayahnya yang memang sangat luas.
      Mengenai gaya hidup dan adat kebiasaan penduduk Samudera, pakaian yang biasanya mereka pakai dari belacu biru, jenis yang paling bagus, warnanya merah lembayung. Kadang dengan aksesoris di atas kepala meyerupai sorban yang diikat seperti gulungan, sedemikian rupa hingga ujung kepalanya tak tertutup. Pedang panjang di sisi yang bergantung pada sabuk yang diselempangkan, kadang diganti dengan keris. Orang terkemuka diantara penduduk kadang memakai kopiah yang pas di kepala, terbuat dari kain wol yang diwarnai, bentuknya seperti topi tanpa tepi.
      Makanan masyarakat Samudera sangat bervariasi dengan berbagai macam bumbu, olahan, dan rasa. Kami mendapat sajian timphan dan gulai bebek yang cukup pedas saat berada di Lubuk, rasa yang membuat Dalem menghabiskan hampir tiga piring nasi (porsi makannya memang besar tapi).
Â
      Imam Hassan menyebutkan bahwa posisi Samudera sangat strategis di laut, namun masih menggantungkan makanan pokok pada beras, sehingga membuatnya harus menjalankan politik maritim dan politik "tanah daratan". Hal ini juga dilakukan oleh kota-kota besar lain yang letaknya diantara dua dunia, seperti Venice dan Malaka. Beras bahkan didatangkan dari wilayah selatan seperti Pagaruyung yang menjadi sekutu.
      Ah iya, di akhir pertemuan kami dengan Imam Hassan ia bercerita mengenai masa mudanya. Dulu dia lahir dan 'berjuang' dari gunung Halimun. Entah di mana itu dan melawan siapa, tapi sekilas ia menceritakan bagaimana Samudera dapat kembali menegakkan hukum Allah setelah berjuang sekian lama. Banjir yang datang dari laut saat ia muda dulu mengakhiri semuanya, berkah dan peringatan dari Allah. Kami tidak bertanya lebih jauh karena terburu-buru untuk segera kembali ke penginapan dan berkemas, namun demikian Dalem sempat menanyakan bagaimana kelanjutan kisah Nyak Dien sebelum kami berpamitan, yang ternyata memang ada kelanjutannya. Aku langsung mengambil pena dan mencatat.