Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memilih Pemimpin: Mencari Mutiara di Samudera Luas

19 Februari 2024   11:46 Diperbarui: 19 Februari 2024   11:46 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

            Ada kata-kata bijak dari orang-orang tua yang menyaksikan hingar bingar dan berbagai kejadian yang terjadi sepanjang pemilu di era modern ini. Kata-kata itu begitu terasa di pikiran, jiwa, dan hati penulis. Kira-kira seperti ini kata-katanya, "zaman dahulu pemimpin dipilih oleh orang-orang yang memiliki kualitas, sehingga wakil rakyat yang dipilih juga memiliki kualitas dan pemimpinnya adalah mutiara yang bersinar diantara lautan samudera yang luas."

            Itu baru kalimat pertamanya, yang sudah berasa menohok. Meskipun, masih bisa dijawab dengan jawaban yang juga tak kalah bagusnya. Namun demikian, kita teruskan dahulu ke kalimat selanjutnya, "suara-suara yang menentukan kepemimpinan Negara ini kini disamaratakan, suara berlian sama nilainya dengan suara kerikil, sehingga jumlah mengalahkan kualitas."

            Kalimat itu sebenarnya memiliki makna yang sama, yang bisa dijabarkan maknanya menjadi beberapa bagian. Pertama, tentu kita mengingat kembali zaman dimana sistem Kerajaan dan Kesultanan masih mendominasi di wilayah Nusantara. Waktu itu, wakil-wakil rakyat adalah mereka yang paling terpelajar, memiliki ilmu pengetahuan yang luas, dan paling mengerti tentang pemerintahan serta kebutuhan rakyatnya. Mereka yang mengerti betul apa isi kitab suci dan paling dekat amalannya sehari-hari dengan apa yang diperintahkan Tuhan juga menjadi wakil-wakil rakyat untuk akhirnya memilih pemimpin.

            Kedua, keburukan demokrasi nampak sangat nyata di sini. Demokrasi membuat suara berlian menjadi sama nilainya dengan suara kerikil, lebih jauh lagi suara para wali nilainya akan sama dengan suara-suara penjahat. Bahkan lebih parah lagi, suara-suara setan kini ikut menentukan proses pemilihan pemimpin di Negeri ini.

            Padahal kalau mau mengikuti asas berbangsa dan bernegara sudah tentu yang terjadi adalah 'kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan, perwakilan'. Seharusnya wakil-wakil rakyat adalah mereka yang memiliki hikmah dan kebijaksanaan, yang nantinya akan bersmusyawarah bersama untuk kepentingan bangsa dan negara.

            Meskipun demikian, ada jawaban yang meyakinkan tentang sejarah orde baru dan kemunculan era reformasi yang mengajarkan untuk tidak seratus persen mempercayakan suara-suara rakyat ke para wakil yang pada akhirnya hanya patuh dan taat kepada pemimpin otoriter. Pemilihan langsung menjadi proses yang harus dijalani di masa itu. Namun perlu diingat  bahwa keberlangsungan proses ini sangat memerlukan usaha-usaha untuk menaikkan kualitas suara-suara yang memilihnya. Yang tadinya kerikil menjadi batu yang mengkilap, sehingga tidak hanya sekedar mencoblos dan memberikan suara tanpa mengerti apa visi, misi, beserta rekam jejak para calon wakilnya.  

Baca juga: Raja Putus Asa

            Sayangnya, itulah yang terjadi, sehingga di hari ketika pemilihan umum dilakukan secara serentak, para pemilih tidak banyak mengenal siapa-siapa saja wajah yang terpampang di surat suara. Alhasil, seperti sebelum-sebelumnya, lagi-lagi para artis dan komedian yang dengan senang hati memanfaatkan situasi ini. Wajah-wajahnya lebih dikenal oleh ibu-ibu rumah tangga beserta mereka yang setia memantengi tayangan di layar monitor.

            Lalu? Bagaimana kalau mereka pada akhirnya juga hanya berakting dan mengikuti saja script yang sudah dituliskan? Bukankah para aktor dan aktris itu begitu lihai melakukannya? Apakah Anda yakin mereka tidak mengikuti script yang sudah diatur sebelumnya oleh mereka yang berpengaruh misalnya? Alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat di wilayah yang diwakilinya?

            Atau jangan-jangan mereka menjadikan permasalahan-permasalahan di Negeri ini menjadi bahan guyonan dan seperti sebelum-sebelumnya, akhirnya ikut terbawa arus hitam yang nampak indah dan putih bersih sebersih susu di luarnya. Entahlah, apa yang sudah dan sedang terjadi di Negeri ini, yang jelas kecenderungan untuk memilih para artis, komedian, beserta orang-orang terkenal lebih besar ketimbang memilih calon wakil-wakil yang memiliki pengalaman serta rekam jejak yang jelas.

            Mungkin karena rasa sakit hati, mungkin juga karena kepercayaan yang menurun sehingga kebanyakan dari mereka tidak ingin lagi memilih wakil-wakil rakyat dengan profil serta biografi 'berbobot'. Tak bisa dipungkiri memang, berita-berita Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme selalu menyeret para wakil rakyat yang sayangnya segera dilupakan. Coba ingat-ingat di gambar Pemilu kemarin lalu, ada yang pernah terseret namanya di pusaran hukum, tapi toh lolos-lolos saja untuk mencalonkan diri kembali. Hal itu juga yang bisa menjadi pemicu dan alasan mengapa orang-orang lebih cenderung memilih para artis dan komedian terkenal ketimbang melihat lebih jauh profil dan rekam jejak yang tak akan menghabiskan waktu seminggu lamanya.

            Itulah usaha yang harus ditingkatkan, bagaimana suara-suara kerikil tadi bisa sedikit berkilau, meski jika dianalogikan menggunakan kata-kata bijak di paragraph pertama dan kedua akan sangat jauh sekali perbedaan antara suara kerikil dan suara berlian. Lagipula di masa-masa sekarang ini, yang penuh dengan tipuan, susah membedakan mana suara berlian yang asli dan mana suara berlian jadi-jadian, yang hanya nampak indah di luarnya saja dan dari jauh, namun sangat kasar jika dilihat dari dekat dan di dalam hanya ada kerikil hitam.

            Hal di atas sudah diimbangi sebetulnya dengan lahirnya 'era informasi'. Ada yang mengatakan tidak perlunya suara berlian yang mewakili rakyat karena informasi mudah didapat sekarang ini, hanya rasa malas saja yang sebenarnya membuat suara kerikil tak bisa menjadi suara berlian. Sayangnya, kenyataan di lapangan masih jauh dari harapan, mereka yang memilih lagi-lagi tak begitu mengenal dan mengetahui betul siapa yang mereka pilih. Lagipula data-data yang disuguhkan di internet kini belum tentu serratus persen bisa dipercaya dan benar adanya.

            Begitulah, sehingga apa yang disebut sebagai 'pencitraan' menjadi senjata yang mematikan. Media-media bisa jadi juga dimanfaatkan sebagai 'senjata politik' untuk menggerakkan pemilih, memberikan pencitraan, bahkan juga untuk menghapus 'dosa dan keburukan', serta menutup-nutupi kenyataan. Semoga saja media-media di Negeri ini masih bisa istiqomah memperjuangkan kebenaran, tidak menjadi 'alat politik' dan kepanjangan tangan penguasa seperti kebanyakan  terjadi di barat.

             Sebagai penutup, penulis sendiri masih berpikir dan masih terus mencerna ucapan bijak orang-orang tua di awal tulisan tadi. Misalkan saja di zaman ini yang sangat susah mencari suara yang dikategorikan berlian untuk menjadi wakil, benarkah kita sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mencarinya? Lalu bukakah para penjahat akan menemukan suara setan sebagai wakilnya? Bukankah para maling itu akan menemukan koruptor sebagai wakilnya? Lalu bagaimana dengan orang-orang tidak tahu tapi hatinya masih bersih dan putih? Siapa wakil-wakil terbaik mereka?

            Sayang, tidak ada nama Abdullah Gymnastiar, Adi Hidayat, Abdul Somad, atau Ainun Najib yang pasti dengan mudah saya pilih untuk mewakili suara saya sebagai rakyat. Atau saya saja yang tidak mendengar mereka merekomendasikan nama, siapa-siapa saja yang harus dipilih menjadi wakil rakyat?

Ah, hanya berandai-andai, suara-suara berlian itu jika disandingkan pastilah bisa menemukan mutiara yang bersinar diantara samudera luas. Bukankah dalam urusan memilih memimpin, kita mengharapkan yang memiliki kualitas terbaik bukan dari hasil yang terbanyak?  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun