Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Di Balik Topeng Politik

15 Februari 2024   10:47 Diperbarui: 15 Februari 2024   10:47 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: freepik.com

Politik di Keseharian Kita

Dunia politik menjadi bagian dari kehidupan manusia, baik dalam keseharian maupun kehidupan berbangsa dan bernegara. Menjadi Kepala Keluarga, Kepala Rukun Tetangga, Rukun Warga, hingga Kepala Desa ke atas menjadi sebuah kegiatan berpolitik. Tentu cakupannya bergantung pula kepada wilayah dan jumlah orang yang menjadi subjek dan objeknya. Nah, satu hal yang menarik di dunia politik, yang sudah sering dibahas namun hanya dimengerti secara harfiah saja oleh kebanyakan dari kita, yakni 'topeng' dengan istilah 'pencitraan'.

            Seseorang yang berpolitik tentu bisa menjadi dirinya sendiri atau bisa juga menjalankan misi yang berbeda. Layaknya seorang aktor, dia bisa memerankan perannya dengan sempurna di atas panggung perpolitikan dan selalu menampilkan pertunjukan yang nyaris sempurna. Hal yang tentu jika memang merupakan karakternya, bisa sangat berjalan dengan baik sekali, bahkan jika dibalik karakter itu ia menyimpan sesuatu yang 'busuk', tak akan tercium baunya sama sekali oleh para 'pemirsa' setia yang beragam.

Baca juga: Raja Putus Asa

Bisa dimisalkan ibu-ibu rumah tangga di negara kita sendiri yang suka bergosip, mereka sebenarnya adalah yang terdepan dalam berpolitik. Ibu-ibu yang rajin membicarakan hal-hal di sekitarnya ini merupakan ahli politik paling lihai di tingkatan rukun tetangga. Mereka bisa mencitrakan diri dan keluarga yang sempurna di depan tetangga-tetangganya sambil menjatuhkan 'lawan politik' yakni 'ibu-ibu' lain yang tak begitu disukainya atau yang tidak sekubu dengannya.

Secara tidak sadar mereka yang menjadi pemenang, berhasil melakukan yang namanya 'politik pencitraan' sehingga keluarganya terhindar dari gosip miring dan selalu divisualisasikan baik di depan ibu-ibu lainnya. Entah dengan sarana apapun, bisa melalui 'corongnya' atau bisa juga melalui kekayaan suaminya yang digunakannya untuk sekedar memberi 'jajan bersama' dengan ibu-ibu rumah tangga lainnya.

Nah, dari contoh di atas dapat kita lihat betapa politik sudah menjadi bagian dari keseharian kita semua. Bahkan, para suami, kepala keluarga, dan mereka yang bekerja di kantor dan lapangan pekerjaan lainnya tentu juga memiliki 'sistem politik' dan 'cara berpolitiknya' sendiri.

Topeng Politik

Ada satu pedoman dalam dunia politik, jika seseorang yang berpolitik entah itu tokoh politik kelas atas atau sekedar tetua desa, jika ia terlihat sangat sempurna di depan, maka ia pasti menyimpan sesuatu yang 'busuk' dibalik itu. Istilah ini bisa kita misalkan dengan meneruskan contoh tadi yakni ibu rumah tangga yang berhasil mencitrakan diri dan keluarganya yang sangat sempurna, bahkan bisa dibilang tanpa cela. Ibu-ibu di dalam rukun warganya juga selalu berkhayal untuk menjadi dirinya. Nah, jika demikian halnya, pastilah ia menyimpan sesuatu yang 'buruk' di dalamnya.

Biasanya lama-kelamaan keburukan itu pastilah tercium juga, bisa jadi ternyata suaminya menyimpan wanita simpanan lain. Bisa juga ternyata kekayaannya didapat dari hasil utang yang tak bisa mereka lunasi atau dari hasil korupsi. Atau ternyata mereka terlibat tindak kriminal yang masih bisa disembunyikan dan lain sebagainya. Hal ini bisa juga terjadi di dunia politik, terutama apabila tokoh politik yang menjadi pemerannya terlihat sangat sempurna tanpa cela yang berarti dengan pencitraan maksimal. Pasti di belakangnya, ia menyimpan sesuatu yang 'berbahaya', 'busuk', atau juga menipu.

Ada kesamaan mekanisme yang selalu digunakan, yakni 'corong'. Mulut ibu-ibu rumah tangga yang tak bisa berhenti berkicau menjadi semacam suara 'cebong', 'kampret', dan 'kodrun' yang disuarakan dalam hal ini untuk mencitrakan sehingga nampak sangat sempurna di hadapan khalayak ramai. Hal yang dalam dunia politik sekali lagi, menjadi sebuah perhatian besar, terutama bagi mereka yang kritis dan tajam 'penglihatan politiknya' untuk melihat apa-apa saja yang ada dibalik topeng politik yang dicitrakannya.

Istilah 'dibalik topeng politik' juga bukan istilah khusus, di Amerika sering dipakai istilah-istilah seperti 'behind the faade' atau 'skeleton in the closet', dan lain sebagainya yang merujuk kepada para pelaku politik yang tampil sangat sempurna di depan publik. Sekali lagi ada satu mekanisme yang sama yang dilakukan para politkus ini tadi, yakni pencitraan.

Kenyataan di 'Balik Layar'

Pada kegiatan politik pemilu lalu pastilah para pembaca bisa membedakan secara cepat, mana-mana yang pernah terjerat kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme namun masih mencalonkan diri menjadi anggota lesgislatif. Baik itu di di tingkatan parlemen utama (DPR RI) maupun di tingkatan DPD yang tidak melalui partai politik. Secara normal yang terjadi adalah kita hanya mengenal beberapa saja, terutama yang wajahnya sudah pernah masuk ke layar kaca, entah karena terseret kasus atau yang lainnya. Barulah setelah kita mencari lebih jauh dan lebih dalam mengenai calon yang akan kita pilih, kita bisa mengetahui rekam jejak kehidupannya, apa-apa saja pekerjaan yang pernah ia lakoni, serta prestasi dan organisasi yang pernah diikutinya. Sayangnya, banyak juga yang akhirnya hanya memilih para artis, mereka yang sangat diuntungkan sekali dengan situasi seperti ini, karena sudah lebih dikenal oleh rakyat. Meskipun, pengetahuannya tentang berbangsa dan bernegara masih belum bisa diukur, hal yang bisa menjadi bumerang bagi rakyat yang memilihnya. Bisa-bisa panggung politik akan diubah, dan memang terjadi demikian, menjadi layaknya panggung layar kaca.

Bagi mereka yang sering membaca dan berliterasi, tentu akan dengan sendirinya mencari lebih dalam mengenai tokoh-tokoh politik yang disuguhkan saat pemilihan umum berlangsung. Mereka akan berjalan dengan mantap dan memilih dengan pasti karena sudah mengenal dan mengetahui rekam jejak para politikus-politikus yang nantinya menjadi wakil mereka, bukan para pemenang kontes yang hanya bisa menghambur-hamburkan uang rakyat sementara utang negara semakin bertumpuk, kekayaan bangsa banyak yang dijual, serta kemiskinan semakin merajalela.

Kenyataan dibalik 'topeng politik' menjadi hal yang sudah seharusnya diperhatikan dengan seksama. Tampilan yang begitu memukau di depan, jika terlalu sempurna, bahkan tanpa cela, perlu mendapat sedikit atensi dari kita. Rasa curiga bukanlah hal yang salah apalagi jika itu menyangkut mereka-mereka yang nantinya akan menjadi pejabat yang mengurus kepentingan bangsa dan negara. Hadirnya mekanisme pencitraan, terutama yang berlebihan, bahkan hingga menjatuhkan dan menangkapi para kritikusnya, bisa berarti ada hal 'busuk' yang tersimpan dibalik layar.

Mau contoh? Istilah 9 Naga yang mulai beken saat orde baru sudah menjadi rahasia umum. Istilah 'Gang of Nine' ini diberikan kepada orang-orang tertentu yang memegang kendali atas sistem pemerintahan di indoensia karena pengaruhnya yang kuat. Mereka dirumorkan memegang hampir seluruh 'bisnis gelap' yang beroperasi di negara ini. Mulai dari narkoba, barang-barang ilegal, dunia malam, hingga perjudian.

Satu hal yang perlu dicermati adalah pastilah grup-grup semacam ini, yang memiliki bisnis gelap, memiliki koneksi di pemerintahan sehingga seluruh kegiatannya dapat dengan lancar. Coba hitung berapa kasus selama setahun terakhir yang melibatkan narkoba serta judi dengan para perjabat negara? Mungkin baru sampai ke tingkatan oknum-oknum penegak hukum yang 'bermain' dengan targetnya, yang akhirnya malah ikut 'tercemplung' juga ke dalamnya. Mereka pada akhirnya harus menanggung konsekuensi hukum atas apa yang diperbuatnya. Namun, yakinkah kita bahwa hal itu sudah sampai ke sumbernya langsung? Atau hanya terhenti dan dihentikan agar tidak sampai ke akar-akarnya?

Hanya Tuhan dan orang-orang tertentu yang bisa menjawab pertanyaan itu, namun demikian, sekali lagi, layaknya ibu-ibu rukun tetangga yang bergosip setiap hari, begitulah dunia politik Indonesia. Jika sesuatu itu digambarkan sangat sempurna, maka kita patut berhati-hati dengan apa yang ada dibaliknya. Permainan politik di level tertinggi bukan lagi hanya sekedar gosip antar tetangga, tapi tentu menyentuh ranah kebijakan, undang-undang dan peraturan, serta bisa juga hal-hal sederhana seperti bantuan kepada masyarakat, sembako, hingga kenaikan upah. Hal-hal ini bisa menjadi 'alat politik' dan 'pencitraan', bergantung kapan dan dimana ia dilaksanakan. Oleh karena itu jadilah warga negara yang cerdas dan jeli dalam menilai dunia perpolitikan Indonesia karena bagaimanapun juga kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjadi taruhannya.

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun