Raja Putus Asa
Oleh Rendy Artha Luvian
Catatan: hanya kisah fiktif, tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata
Alkisah hiduplah seorang Raja, dahulu ia sangat menghargai tradisi dan warisan nenek moyang, hingga suatu ketika keputusasaan mengubah seluruh dunianya. Sang Raja hidup di zaman yang sungguh sangat aneh, laki-laki berperilaku seperti layaknya perempuan sedangkan para perempuannya bertingkah laku layaknya makhluk-makhluk yang tak memiliki kehormatan. Berita-berita asusila acap kali terdengar di Negeri itu, bahkan hampir setiap hari selalul ada berita kriminal yang menemani. Tapi sang Raja sudah kehilangan rasa sesnsitifnya terhadap zaman yang terus berganti dan bergulir.
Entah apa yang membuat Raja kini tak lagi bisa membaca situasi zaman dimana rakyatnya hidup. Dahulu, ketika alam masih sungguh indah, Sang Raja bisa membaca berbagai perubahan dan mengantisipasi dengan sangat lihai. Kini, ketika teknologi menguasai kehidupan sosial dan budaya masyarakatnya malah Sang Raja kebingungan. Hujan salah musim sudah menjadi sebuah hal yang wajar, banjirnya lahan ketika musim kemarau hingga hujan yang tak kunjung-kunjung datang ketika musim hujan tiba tak menjadi persoalan berarti, bahkan Ia tak melihatnya sebagai pertanda Tuhan.
Para patihnya pun tidak bisa membaca perubahan dan tanda-tanda zaman yang makin aneh dan makin menjadi-jadi dari hari kehari. Semakin panasnya udara tempat rakyat tinggal juga tidak menjadi sebuah peringatan bagi Sang Raja untuk berbuat sesuatu. Ada sesuatu yang hilang dalam dirinya, seolah-olah hal tersebut tak bisa lagi dibaca dan dilihat oleh mata hatinya, mata hati seorang Raja yang harusnya selalu awas akan keadaan alam dan masyarakatnya.
Kondisi Raja saat ini sudah semakin tua, sebenarnya sudah saatnya dia menyiapkan seorang penerus supaya kerajaannya tetap bisa berjalan dengan baik dan terus ada, begitu apa yang ada di pikiran Sang Raja. Pikiran inilah yang setiap hari selalu menjadi kekhawatirannya, hingga membuat matanya tak sanggup lagi melihat kondisi perubahan alam dan zaman yang terjadi.
Hal tersebut ternyata terjadi karena Sang Raja tidak memiliki anak laki-laki, yang seharusnya memang menjadi putra mahkota. Ia hanya memiliki tiga orang putri, yang teramat disayangnya. Dalam pikirannya hanya ada ketiga putrinya dan tahta yang harus diwariskan dalam setiap lamunannya hari demi hari. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk mengubah seluruh tradisi dan warisan yang harusnya ia jaga.
Tak terpikir oleh Sang Raja untuk menjadikan adik-adiknya yang laki-laki menjadi seorang penerus, begitu pula keponakan-keponakannya untuk menjadi putra mahkota. Ia tak siap untuk menyerahkan seluruh hal yang dimilikinya, yang juga diwariskan oleh ayahnya dulu kepadanya sekarang. Padahal di dalam sejarahnya, ada saat-saat di mana nenek moyangnya dahulu memberikan tahta kepada adik atau keponakannya yang laki-laki.
Seluruh rasa putus asa itu menjadi liar, tak sanggup lagi menanggungnya. Akhirnya ia pun bersabda di depan seluruh rakyatnya, bahwa ia mengganti gelar yang dimilikinya selama ini, gelar yang menjadi warisan turun temurun dari para leluhurnya dulu. Tapi dia juga lupa, rakyatnya kini sudah tak begitu mendengarkan lagi apa kata Sang Raja. Berubahnya zaman ternyata juga memberikan perubahan terhadap kondisi rakyatnya.