Dalam coretan kehidupan sehari-hari, terdapat kisah yang sering kali terabaikan, dibiarkan bergelimang dalam keheningan yang menyakitkan. Pada tahun 2022, angka kekerasan domestik di Indonesia mencatatkan diri dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA). Menghadapinya bukan sekadar melihat angka, tetapi menggali lebih dalam, melihat dalam dan melihat luar, untuk membuka pintu ke kenyataan yang sering tersembunyi.
Statistik Kriminal KDRT 2023
Pintu pertama yang kita buka adalah Statistik Kriminal 2023 dari Badan Pusat Statistik (BPS). Dalam tari angka yang tercipta, kita menyaksikan 26.112 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di sepanjang tahun 2022. Mereka yang menjadi saksi bisu terhadap kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan kekerasan psikis berada di garis depan. Polda Sumatera Utara menjadi saksi paling setia, melaporkan 792 kasus KDRT, mengikuti Jawa Timur dengan 725 kasus.
Namun, sebagai penanda yang mengejutkan, angka ini menurun 25,67% dari tahun sebelumnya. Tren ini, sementara memberikan sentilan harapan, juga membuka pertanyaan: apakah penurunan ini berarti perubahan substansial ataukah hanya sekadar pengurangan angka dalam lembaran statistik?
Melangkah lebih dalam, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) menyajikan data yang menggetarkan. Sejak awal tahun hingga 12 Desember 2023, 22.922 perempuan menjadi korban kekerasan di Indonesia. Angka ini menciptakan gambaran bahwa kekerasan bukan sekadar fenomena temporer; ini adalah pandemi yang melibatkan masyarakat.
Lebih mengejutkan, laki-laki yang menjadi korban jauh lebih sedikit, hanya 5.430 orang. Pertanyaannya muncul secara alamiah: apakah kita sebagai masyarakat cukup peduli terhadap penderitaan perempuan?
Kekerasan di Tempat yang Seharusnya Aman: Rumah Tangga
Melirik lebih dekat ke dalam angka dari Kemen-PPPA, tampak bahwa mayoritas perempuan yang menjadi korban (58,4%) mengalami kekerasan di dalam rumah tangga. Rumah yang seharusnya menjadi pelukan dan keamanan malah menjadi panggung utama teror, menciptakan narasi yang tidak boleh diabaikan.
Polda Sumatera Utara, dengan 792 kasus KDRT, menempatkan rumah tangga sebagai arena yang menyimpan teror paling masif. Ini adalah kisah tentang pintu rumah yang mungkin menghantui, tentang jendela yang menyaksikan rahasia kelam, dan tentang lantai yang menyerap cerita tragis.
Namun, kekerasan tidak mengenal batasan ruang dan waktu. Kekerasan merayap di fasilitas umum (11,2%), meracuni lingkungan sekolah (4,3%), dan membayangi ruang tempat bekerja (1,4%). Bahkan lembaga pendidikan kilat (0,1%) dan tempat-tempat lain (24,4%) juga menjadi saksi bisu kekerasan yang merajalela.