digital ini, meresap lebih dalam dari yang pernah kita bayangkan.Â
Sejak bertahun-tahun yang lalu, tanggal 29 November membawa pengingat yang pahit dan panggilan solidaritas internasional untuk rakyat Palestina. Sebuah panggilan yang, dalam eraSementara dunia maya menjadi medan pertempuran ideologi, darah nyata terus mengalir di medan tempur. Inilah pandangan lebih dalam tentang perang Israel-Palestina yang melibatkan perang digital dan realitas yang terabaikan.
Kondisi di Lapangan: Darah dan Air Mata di Tepi Barat dan Jalur Gaza
Perang yang meletus sejak 7 Oktober 2023 telah menciptakan medan tempur yang penuh penderitaan, terutama di pihak Palestina. Menurut Palestinian Central Bureau of Statistics (PCBS), hingga hari ke-52 perang, jumlah total korban jiwa Palestina mencapai 15.093 orang.Â
Rinciannya, korban jiwa di Jalur Gaza mencapai 14.854 orang, sementara di Tepi Barat sebanyak 239 orang. Jumlah total korban jiwa Palestina ini sudah 11 kali lipat lebih banyak dari korban jiwa Israel.
Namun, di tengah statistik yang mengguncangkan, terdapat kisah-kisah pribadi yang terabaikan. Keluarga yang terpisah, anak-anak yang kehilangan masa depan, dan nyawa yang terenggut dengan cepat oleh hantaman perang. Itulah realitas pahit di lapangan yang seringkali hilang dalam keriuhan narasi digital.
Laporan dari Komite untuk Perlindungan Jurnalis (CPJ) memberikan gambaran yang lebih dalam tentang dampak perang ini terhadap jurnalis dan pekerja media.Â
Sejak 7 Oktober hingga 28 November 2023, 57 jurnalis dan pekerja media tewas, dengan mayoritas dari mereka merupakan warga Palestina (50 orang).Â
Risiko tinggi, terutama di Gaza, melibatkan serangan udara, gangguan komunikasi, serta kekurangan pasokan dan pemadaman listrik.
Jurnalis di seluruh dunia melakukan pengorbanan besar untuk meliput konflik tersebut. Mereka tidak hanya kehilangan rekan kerja, keluarga, dan fasilitas media, tetapi juga harus melarikan diri mencari keselamatan tanpa tempat berlindung yang aman.Â
Suara mereka, seringkali menjadi saksi bisu penderitaan, menyoroti keberanian dan pengabdian yang terlupakan dalam perang digital ini.
Resolusi PBB, termasuk resolusi 181 (II) yang menentukan pemisahan Israel dan Palestina, terus menggantung tanpa pelaksanaan yang nyata.Â
Setelah perang saudara di Palestina pada tahun 1948, Israel menjadi sebuah negara, tetapi negara untuk warga Arab Palestina tidak pernah terbentuk.
Pada tahun 1977, Majelis Umum PBB menyerukan resolusi tahunan tentang pemisahan Palestina. Namun, hingga saat ini, resolusi dan panggilan perdamaian masih belum memberikan keadilan dan kedamaian yang diinginkan oleh kedua belah pihak.
Perang di Dunia Maya: Perlawanan Digital
Dalam kondisi di lapangan yang penuh dengan penderitaan, perang di dunia maya juga memainkan peran krusial. Israel, dengan mesin propagandanya, Hasbara, mencoba mengontrol narasi di media sosial. Puluhan iklan dan konten propaganda mencoba merubah pandangan dunia, menyajikan Hamas sebagai kelompok teroris kejam.
Namun, platform-platform seperti TikTok, Instagram, dan Facebook menjadi medan perlawanan. Netizen menggunakan kreativitas mereka untuk menentang upaya pembungkaman, mengekspresikan dukungan terhadap Palestina dan menyoroti realitas yang sering terlupakan.
Di tengah perang digital, suara-saudara yang menggema di dunia maya menciptakan momentum dan kesadaran. Meskipun Israel mencoba mengontrol narasi, pergeseran sikap di media sosial menunjukkan bahwa simpati banyak orang di dunia telah beralih dari Israel.
Unggahan-unggahan di TikTok, Instagram, dan Facebook mencerminkan perubahan persepsi global. Tagar #freepalestine mendominasi jumlah unggahan dibandingkan dengan #standwithisrael.Â
Kesadaran akan realitas di lapangan dan penghargaan terhadap keberanian warga Palestina mulai merasuki pikiran dan hati para netizen di seluruh dunia.
Pada akhirnya, perang di dunia maya menciptakan momentum dan kesadaran, tetapi kenyataan di lapangan tetap menjadi pemandu utama sentimen global.Â
Walaupun Israel mencoba mengontrol narasi, pergeseran sikap di media sosial menunjukkan bahwa simpati banyak orang di dunia telah beralih dari Israel.
Meskipun perang mungkin berakhir, perang di dunia maya akan terus memainkan peran penting dalam membentuk opini publik global.Â
Di sini, di tengah konflik yang kompleks, dunia maya adalah medan yang memperlihatkan sisi kemanusiaan, keberanian, dan perlawanan terhadap ketidakadilan.Â
Suara-suara digital, walau kuatnya, tetap menjadi bagian dari narasi yang lebih besar, sebuah narasi yang terus berkembang dan membentuk sejarah kita.
Dalam era informasi yang melimpah, suara digital menjadi sekutu darah nyata yang mengalir di medan perang. Suara jurnalis yang terdengar samar di tengah kerumunan statistik, suara korban yang terlupakan, dan suara digital yang mengubah opini publik global.Â
Kita dihadapkan pada tantangan untuk tetap peka terhadap realitas darah yang mengalir, sambil tetap bersatu di dunia maya untuk mendorong perdamaian yang hakiki.Â
Sebuah panggilan untuk tidak hanya mendengar, tetapi juga ikut merasakan dan bertindak dalam upaya mencapai keadilan sejati di tanah Palestina.
Sumber: berbagai sumber.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H