Â
Skandal di Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, sebuah lembaga yang selama ini kita cintai dan hormati, menghadapi ujian berat yang mengancam integritas dan kewibawaannya. Lembaga yang seharusnya menjadi pelindung konstitusi dan demokrasi, kini tersandung dalam kontroversi besar, akibat dari Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang dikenal sebagai "Putusan 90." Keputusan ini telah menjadi ujian sejauh mana Mahkamah Konstitusi dapat mempertahankan prinsip-prinsip keadilan dan supremasi hukum.
Latar belakang di mana drama hukum ini terjadi adalah Pemilihan Presiden 2024 yang semakin mendekat, di mana ruang sidang Mahkamah Konstitusi yang suci telah berubah menjadi medan perang untuk kepentingan politik. Namun, sayangnya, kepentingan-kepentingan ini seringkali tidak selaras dengan kepentingan terbaik bangsa. Yang kita saksikan adalah permainan kekuasaan yang sering kali lebih mendominasi daripada prinsip-prinsip yang seharusnya menjadi dasar politik Indonesia.
Mahkamah Konstitusi, yang diisi oleh para hakim yang diharapkan menjadi contoh negarawan, seharusnya bersifat tahan terhadap godaan kekuasaan dan kekayaan. Namun, putusan 90 mencerminkan suatu mahkamah yang tunduk pada daya pikat kekuasaan, mengubah peraturan legislasi dengan cara yang tampak tidak bijak dan tidak adil.
Lebih lanjut, Hakim Anwar Usman yang memimpin kasus ini, notebene merupakan adik ipar Jokowi yang menunjukkan adanya konflik kepentingan yang jelas. Konflik ini berakar pada hubungan keluarga dengan Presiden Joko Widodo dan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, yang kini mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden. Kepentingan ini tidak dapat disangkal, karena pencalonan Gibran menggunakan kriteria usia yang baru ditetapkan dalam Putusan 90.
Dilansir dari keputusan yang dikeluarkan MKMK (Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi) , keputusan ini tidak hanya melanggar prinsip imparsialitas, di mana Hakim Anwar Usman seharusnya telah menarik diri sesuai dengan konsep pengunduran diri yudisial, tetapi juga menimbulkan kecurigaan sebagai hasil dari kejahatan yang direncanakan dan terorganisir. Skala pelanggaran etika dan tindakan politik yang terjadi sangat luas sehingga mengancam menggerus pilar-pilar kredibilitas Mahkamah Konstitusi. Skandal ini melibatkan tiga elemen tertinggi: Ketua Mahkamah Konstitusi, keluarga Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, dan anaknya Gibran Rakabuming Raka; dan kantor Kepresidenan Republik Indonesia itu sendiri.
Sandungan Bagi Pasangan Prabowo-Gibran
Pencalonan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka telah menjadi pusat perhatian publik dan pemerhati politik, yang tak hanya mempertimbangkan isu-isu politik yang diusung oleh kandidat, tetapi juga kendala hukum dan konstitusional yang mungkin mempengaruhi kemungkinan sah atau tidaknya pasangan tersebut dalam kontestasi politik mendatang.
Hal pertama yang harus dipertimbangkan adalah aspek konstitusional. Sebagai calon presiden dan wakil presiden, Prabowo dan Gibran harus memenuhi semua syarat yang ditetapkan dalam konstitusi Indonesia, yaitu UUD 1945. Ini mencakup persyaratan usia, kewarganegaraan, serta persyaratan lain yang diatur dalam konstitusi. Namun, perhatian khusus harus diberikan pada kemungkinan perubahan hukum elektoral yang mungkin terjadi seiring waktu.
Pada Putusan 90/PUU-XXI/2023, Mahkamah Konstitusi mengambil keputusan penting yang mengubah persyaratan usia calon presiden dan wakil presiden. Dalam konteks ini, pasangan Prabowo-Gibran harus memastikan bahwa mereka mematuhi perubahan hukum ini atau peraturan baru yang mungkin dikeluarkan sebelum Pemilu 2024. Bagaimana Mahkamah Konstitusi merespons Putusan 90 juga akan menjadi faktor penentu dalam kelangsungan pencalonan pasangan ini.
Namun, konstitusi dan hukum elektoral bukan satu-satunya hal yang harus dipertimbangkan. Reaksi masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya juga akan memengaruhi kemungkinan sah atau tidaknya pasangan ini. Jika ada tekanan publik yang kuat atau protes yang berlarut-larut terhadap pencalonan mereka, ini dapat memengaruhi keputusan akhir dan legitimasi pasangan calon tersebut.
Selain itu, lembaga-lembaga hukum lainnya, seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau Dewan Etik partai politik yang mencalonkan pasangan tersebut, juga dapat memiliki wewenang untuk menentukan kesahihan pencalonan. Revisi hukum elektoral sebelum Pemilu 2024 juga menjadi faktor yang tidak boleh diabaikan.
Bahaya di Masa DepanÂ
Jika Pemilu 2024 berlanjut dengan pasangan Prabowo-Gibran tetap berkompetisi, banyak masalah yang timbul harus diperhatikan dengan serius. Ini tidak hanya menjadi persoalan hukum dan politik, melainkan juga memiliki potensi dampak serius yang bisa mempengaruhi stabilitas negara dan ketahanan nasional.
Dalam dunia politik yang penuh persaingan, tidak mungkin semua pihak dapat menyelesaikan perbedaan mereka melalui lobi dan diskusi. Terutama saat pemilihan telah tiba, persaingan politik akan mencapai puncaknya, dan setiap kandidat akan berusaha dengan maksimal untuk memenangkan hati pemilih. Namun, saat persaingan begitu ketat, terdapat potensi besar untuk serangan dan serangan balik antara para kandidat, termasuk pasangan Prabowo-Gibran. Hal ini mungkin akan memperburuk iklim politik yang sudah tegang.
Kekuatan politik juga berarti memiliki pengaruh besar dalam pengambilan keputusan dan pengaruh terhadap kekuasaan. Pasangan calon yang merasa dirugikan atau merasa kalah secara tidak adil cenderung melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan kepentingan mereka. Potensi konflik kepentingan yang meruncing menjadi kenyataan yang sulit dihindari, terutama jika keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh badan yudikatif tinggi negara diragukan.
Salah satu ancaman terbesar adalah potensi terjadinya kerusuhan. Saat kekuatan politik yang merasa dicurangi atau kalah secara tidak adil, terutama jika pasangan Prabowo-Gibran berhasil lolos ke putaran kedua atau bahkan memenangkan pemilu, situasi politik bisa memanas menjadi konflik terbuka. Kerusuhan yang melibatkan massa dan demonstrasi besar-besaran dapat mengancam ketertiban dan stabilitas negara.
Selain itu, ketidakstabilan politik juga dapat merembet ke ketidakstabilan ekonomi dan sosial. Keputusan politik yang kontroversial dan memicu ketegangan politik dapat mengganggu stabilitas ekonomi, mengurangi kepercayaan investor, dan merugikan pertumbuhan ekonomi. Hal ini juga berdampak pada ketahanan sosial, seperti ketegangan antar kelompok masyarakat dan kemungkinan terjadinya konflik berdarah.
Keselamatan negara dan pemerintahan harus diutamakan di atas kepentingan politik individu. Tantangan yang dihadapi dalam Pemilu 2024 adalah ujian bagi demokrasi Indonesia, dan kematangan politik serta kesadaran akan pentingnya menjaga stabilitas negara harus menjadi pedoman dalam menghadapinya. Dalam situasi yang penuh risiko, langkah-langkah bijak dan pemahaman yang mendalam tentang konsekuensi dari tindakan politik adalah kunci untuk mencegah bahaya di masa depan.
Sumber: Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi nomor 2/MKMK/L/11/2023
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI