Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Negeri Dongeng

4 November 2023   08:37 Diperbarui: 4 November 2023   08:43 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: freepik.com

Lebih gilanya lagi, kudengar juga mereka membuat hukum sendiri, yang membuat semuanya justru semakin amburadul. Rakyatnya seenaknya sendiri, yang lurus diganggu setiap hari, disiksa oleh mereka yang bersenjata, hingga tak menyisakan harapan untuk menjadi seberkas cahaya yang menyinari. Para pemimpin-pemimpinnya pintar berbicara, padahal mereka tak tahu apa maksudnya, kebenaran yang sesungguhnya selalu disembunyikan dan pada akhirnya dipinggirkan.

Suara-suara Iblis menjadi penjaga, suara-suara adzan dianggap mengganggu, pun khutbah-khutbah para pemuka agama selalu diawasi. Waduh, entah mengapa belum ada revolusi. Orang-orang itu pasti kuat sekali, sampai hari ini menanggung semua itu tanpa basa-basi. Padahal kupkir, harusnya sudah ada revolusi, untuk mengembalikan semuanya menjadi baik kembali.

Alhasil, bumi tempat mereka berpijak kabarnya kini terasa panas membara, bahkan udara yang mereka hirup merusak raga yang harusnya bersih tanpa noda. Tak ada lagi keheningan dan kesunyian dari asrinya alam, bahkan pohon-pohon itu terbakar dan berdebu di mana-mana. Teknologi merusak pikiran dan jiwa mereka akhirnya. Setelah mengalami semua itu pun, mereka kabarnya hingga kini tak pernah bisa sadar salahnya dimana, ck ck ck ck, semakin heran saja aku kalau mendengarnya lagi.

Kutertawa kecil, lagi-lagi mungkin itu hanya khayalanku, ya, itu pasti hanya pikiranku saja yang melantur. Tak ada yang akan kuat hidup bersama setan, yang ada pasti mereka melawan. Apalagi kalau sampai terbiasa, sungguh tak mungkin rasanya, lalu kemana hati nurani mereka?  

Lagi-lagi kugelengkan kepala, kulihat senyuman orang-orang di bawah, mereka yang baru pulang dari Ibadah. Ketuhanan menjadi bagian utama dari Nusantara, tak mengenal suku, ras, atau agama yang manapun, semua beribadah kepada Sang Pencipta. Para pemeluk Hindu-Buddha menjalankan apa yang diperintahkan Sang Maha Pencipta kepada mereka, begitupun ahli-ahli kitab yang juga selalu membaca kitab-kitabnya sendiri, tidak bergantung kepada para pendeta yang juga kadang bisa salah dalam mentafsirkan.

Muslim tentunya, menjalankan pula apa yang telah diajarkan Rasulullah SAW dan telah dituliskan dalam Firman Tuhan kepada mereka. Meskipun menjadi yang terbanyak, tetap menjaga keadilan dan keharmonisan dalam berkehidupan. Beribadah menjadi tujuan dan hal utama yang wajib bagi semua manusia Nusantara. Tak ada yang berjalan sendiri-sendiri, semua bersama Sang Pencipta.

Lebih jauh lagi, seluruhnya bertasbih, bertahmid, bertakbir, dan beristighfar kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seluruh alam ikut tunduk bersujud bersama manusia-manusia Nusantara. Teknologi yang tercipta hanya alat belaka, tak pernah menjadi penghalang atau bahkan melenakan. Bersyukur kuhidup di Negeri Nusantara ini, yang damai dan tenang bersama Tuhan Pencipta Seluruh Alam.   

Ah, sesaat kutersadar, hmm, andaikan itu tadi bukan sekedar mimpi...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun