Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Buruknya Masa Depan Iklim Perkotaan di Indonesia

26 Oktober 2023   12:19 Diperbarui: 26 Oktober 2023   14:43 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Antonio Guterres, Sekretaris Jenderal PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengeluarkan pernyataan yang sangat menggambarkan betapa mirisnya kondisi alam bagi kehidupan manusia saat ini. 

"Menurut para ilmuwan, semuanya sudah sangat jelas: manusia yang harus bertanggung jawab. Udara di sekitar kita kini tidak bisa dihirup dengan nyaman, suhu terus meningkat hingga tak tertahankan, dan penggunaan bahan bakar fosil melonjak tinggi. Semua ini terjadi tanpa tindakan dan upaya nyata dalam menghadapi perubahan iklim, sebuah hal yang tidak dapat diterima oleh kita semua."

Pernyataan yang selain memberikan gambaran kenyataan yang terjadi di berbagai kota-kota di dunia, juga menohok terutama bagi kita, manusia yang hidup sekarang ini. 

Bagaimana tidak, berita-berita memburuknya kualitas udara sudah mewarnai media massa tanah air selama puncak-puncak musim kemarau tahun ini, memberikan dampak kesehatan terutama bagi mereka yang sensitif terhadap polusi, termasuk diantaranya adalah anak-anak. 

Sebuah kenyataan yang harus dihadapi setelah berita gelombang panas yang menghajar kota-kota di berbagai belahan dunia. 

Kini, panas terasa menyiksa, mengiringi suara nafas manusianya yang tak lagi nyaman dan merasa aman hidup berdampingan dengan alam, yang notabene mereka rusak sendiri.   

Suhu Semakin Memanas

Hasil analisis dari 92 stasiun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) selama empat dekade terakhir mengungkapkan fakta yang tak terbantah: suhu di perkotaan Indonesia semakin memanas. Tren kenaikan suhu ini, yang terasa lebih kuat di wilayah barat dan tengah, memberikan sinyal keras tentang perubahan iklim yang sangat mendesak.

Wilayah Indonesia bagian barat dan tengah, termasuk Pulau Sumatera bagian timur, Pulau Jawa bagian utara, Kalimantan, dan Sulawesi bagian utara, mengalami peningkatan suhu permukaan yang signifikan. Bahkan, laju peningkatannya melebihi 0,3 derajat Celsius per dekade. Ini bukan lagi sekadar statistik, tetapi sebuah perubahan yang terasa dalam kehidupan sehari-hari.

Perubahan suhu ini tidak hanya memengaruhi lingkungan, tetapi juga mempengaruhi masyarakat secara langsung. Kenaikan suhu yang mengakibatkan panas yang lebih sering terjadi dan suhu udara yang tak tertahankan telah menjadi karakteristik musim kemarau di perkotaan. Kesehatan masyarakat terancam oleh panas yang ekstrem dan kualitas udara yang ikut memburuk.

Namun, perubahan suhu di daratan tidak berdiri sendiri. Suhu permukaan laut di sekitar Indonesia juga terus meningkat. Hasil analisis menunjukkan bahwa suhu permukaan laut di Indonesia mengalami peningkatan, dengan laju yang lebih kuat setelah tahun 1960-an, mencapai 0,2 derajat Celsius per dekade. Ini adalah berita yang sangat penting karena suhu laut yang lebih tinggi memiliki dampak serius pada kehidupan laut, termasuk terumbu karang dan sumber daya perikanan.

Perubahan iklim tidak mengenal batasan geografis, dan dampaknya akan meluas hingga ke wilayah urban. Dalam konteks ini, tindakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan menghadapi perubahan iklim menjadi lebih mendesak daripada sebelumnya.

Udara Semakin Kotor 

Indonesia, yang sebelumnya dikenal sebagai salah satu negara dengan lingkungan yang bersih, kini harus menghadapi fakta pahit bahwa kualitas udara di beberapa kota semakin memburuk. 

Data yang tersedia mengungkapkan perubahan dramatis dalam kurun waktu dua dekade terakhir. Indonesia yang dulunya dikenal sebagai salah satu negara dengan lingkungan terbersih di dunia, kini masuk dalam daftar dua puluh negara paling terpolusi antara tahun 1998 dan 2016. Ini adalah alarm bagi kita semua.

Masalah polusi udara menjadi semakin parah terutama di wilayah perkotaan. Sekitar 80% dari polusi udara berasal dari sektor transportasi, diikuti oleh emisi dari industri, kebakaran hutan, dan aktivitas rumah tangga. 

Kepadatan kendaraan di jalan raya tanpa infrastruktur yang memadai menjadi salah satu penyebab kemacetan yang parah, terutama di kawasan perkotaan. 

Dampak dari kemacetan bukan hanya mengenai hilangnya produktivitas waktu perjalanan, tetapi juga tingginya tingkat polusi udara, yang berdampak merugikan bagi kesehatan masyarakat, serta kuantitas dan kualitas tanaman, hutan, bangunan, dan air permukaan.

Tidak hanya masalah kesehatan, ternyata kotornya udara dapat mempengaruhi tubuh, otak, dan perilaku manusia. 

Dilansir dari laman Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kemenkes (Kementrian Kesehatan) yang dipublikasikan pada 7 Agustus 2019, penelitian menunjukkan bahwa polusi udara dapat merusak kemampuan kognitif manusia, mempengaruhi prestasi sekolah, dan yang lebih mengkhawatirkan, berkontribusi pada peningkatan tindak kejahatan. 

Bahkan, polusi udara, termasuk PM2.5 yang membawa partikel mikroskopis berdiameter kurang dari 2,5 mikron, dapat merusak kesehatan jiwa, meningkatkan risiko gangguan psikotik pada remaja, dan berdampak buruk pada perilaku buruk pada populasi yang lebih luas.

Kelangkaan Air Bersih Meluas

Air adalah sumber kehidupan, namun saat ini kita berhadapan dengan krisis air yang semakin mengkhawatirkan. Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat bahwa sekitar 2,2 miliar orang di dunia masih kekurangan air minum yang aman. Sementara itu, 4,2 miliar orang tidak memiliki akses ke fasilitas sanitasi yang aman, dan 3 miliar lainnya tidak memiliki fasilitas cuci tangan dasar. 

Di Indonesia, laporan Bappenas menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah di Pulau Jawa dan Bali menghadapi kelangkaan air yang kritis. Proyeksi untuk tahun 2045 juga tidak menjanjikan, dengan Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan diperkirakan akan mengalami kelangkaan air.

Saat kita membahas krisis air ini, kita juga harus mempertimbangkan dampaknya pada wilayah perkotaan di masa depan. Kota-kota adalah pusat pertumbuhan penduduk, aktivitas industri, dan kegiatan ekonomi. Namun, dengan populasi yang terus bertambah, kebutuhan akan air bersih di perkotaan pun semakin meningkat. 

Kelangkaan air di masa depan dapat mengancam ketersediaan air minum yang aman bagi penduduk perkotaan. Ini dapat mengakibatkan peningkatan harga air, membatasi akses masyarakat kota terhadap sumber air yang layak, dan berpotensi menciptakan konflik atas sumber daya air yang semakin berkurang.

Penyebab krisis air mencakup kerusakan hutan, pengambilan air tanah yang berlebihan, pencemaran sumber air, dan perubahan iklim. Semua faktor ini memberikan tekanan ekstra pada ketersediaan air di perkotaan.

Terdapat keterkaitan yang kuat antara peningkatan suhu yang memanas, krisis air, dan polusi udara yang semakin buruk. Ketika suhu global terus meningkat akibat perubahan iklim, hal ini berdampak pada berbagai aspek lingkungan dan kualitas hidup manusia.

Pertama, suhu yang semakin tinggi berkontribusi pada peningkatan kekeringan. Ini terjadi karena suhu yang tinggi meningkatkan penguapan air dari permukaan tanah dan sumber air, mengurangi ketersediaan air tanah. Akibatnya, sumber air seperti sungai dan danau dapat mengalami penurunan debit air, yang pada gilirannya mengarah pada kelangkaan air bersih.

Kedua, suhu yang tinggi juga memperparah polusi udara, karena udara akan semakin kering. Kelembaban udara yang tinggi, meskipun terdengar paradoks, sebenarnya memperparah kondisi. 

Pada musim kemarau yang lembab, polutan sulit untuk berpindah secara vertikal ke atas. Sebagai akibatnya, polutan terjebak di lapisan udara yang lebih rendah, mendekati permukaan bumi. Ini menjadikan konsentrasi polutan semakin tinggi dan menyebabkan kualitas udara semakin memburuk. Apalagi tidak adanya hujan yang turun untuk membasuh bumi akan semakin menambah runyam.

Terakhir, peningkatan suhu yang memanas juga dapat mengurangi kualitas air bersih. Suhu yang lebih tinggi dapat memicu perubahan dalam ekosistem air, seperti meningkatnya suhu permukaan laut, yang berdampak pada kehidupan laut dan kualitas air laut. Hal ini juga dapat menyebabkan gangguan pada siklus air, yang pada akhirnya mengurangi ketersediaan air bersih untuk konsumsi manusia dan pertanian.

Dengan demikian, peningkatan suhu yang memanas bukan hanya masalah perubahan iklim, tetapi juga berdampak pada sumber daya air dan kualitas udara. Upaya untuk mengatasi perubahan iklim, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan melestarikan sumber daya air adalah langkah penting dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan manusia.

Upaya perlindungan hutan dan pengelolaan air yang bijaksana juga menjadi kunci untuk mengatasi kelangkaan air di masa depan. Dalam hal ini, peran pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang mendukung penggunaan air yang berkelanjutan sangat penting. Selain itu, pendidikan dan kesadaran akan pentingnya air bersih harus ditingkatkan di masyarakat perkotaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun