Di awal September yang lalu pengalaman buruk terulang kembali. Penyakit alergi anak saya tiba-tiba saja bertambah parah, seluruh tubuhnya gatal-gatal. Buntul-buntul seperti biduran muncul di permukaan kulit hampir merata di seluruh tubuhnya. Bagian di belakang siku dan lutut turut menghitam, hal yang berlangsung hampir sebulan ini. Pada puncaknya, ia ketularan batuk pilek dari teman-teman sekelasnya yang juga pada akhirnya banyak yang tidak masuk sekolah karena sakit. Asmanya pun kambuh lagi, nafasnya sempat hingga lebih dari 50 kali dalam semenit, ketika oksigennya diukur pun berkurang cukup signifikan.
Untung, di rumah kami sudah sedia tabung oksigen dan tentu saja nebulizer, jika sewaktu-waktu asma anak kambuh dan menjadi cukup parah. Hal yang sangat mengagetkan, terutama karena sebenarnya dia sedang menjalani tahap akhir terapi untuk asmanya.
Selain konsumsi rutin obat-obatan dari dokter, ia juga rajin berolahraga renang, namun harus terhenti karena kulitnya tak boleh sering-sering terkena percikan air, hal yang bisa menambah parah penyakit gatalnya.
Membaca berita di berbagai media ternyata memberikan fakta yang cukup mencengangkan, banyak anak-anak yang sakit. Dahulu, mungkin waktu-waktu ini adalah masa yang dinamakan dengan 'musim pancaroba' yang berakhir kala hujan lebat tiba. Hal yang biasa menyebabkan penyakit bagi anak-anak.
Namun demikian, ada fakta lain yang tak kalah berbahayanya, yakni kondisi kualitas udara, terutama di puncak musim kemarau ini, yang sangat buruk khususnya di ibukota.
Data dari BMKG
Bekerja sebagai pegawai BMKG bidang Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara, saya iseng-iseng mengolah data kualitas udara untuk melihat seberapa parah memburuknya kualitas udara di puncak musim kemarau tahun 2023 ini.
Ternyata hasilnya cukup mengagetkan, dari data yang dikumpulkan selama enam tahun di stasiun Kemayoran Jakarta Pusat, kualitas udara di bulan Agustus tahun 2023 ini adalah yang terburuk selama rentang waktu tahun 2018 hingga 2023.
Rata-rata konsentrasi PM 2,5 sebagai zat pencemar utama berada di posisi 59,69 g/m3 pada Bulan Agustus 2023. Nilai ini sudah masuk kategori tidak sehat dan bisa jadi berbahaya bagi mereka yang sensitif terhadap kualitas udara di ruang terbuka, khususnya anak-anak.
Nilai kelembaban pun tinggi, hal yang justru semakin menambah runyam, karena kelembaban udara yang tinggi, meskipun terdengar paradoks, sebenarnya memperparah kondisi. Pada musim kemarau yang lembab, polutan sulit untuk berpindah secara vertikal ke atas.
Sebagai akibatnya, polutan terjebak di lapisan udara yang lebih rendah, mendekati permukaan bumi. Ini menjadikan konsentrasi polutan semakin tinggi dan menyebabkan kualitas udara semakin memburuk.
Data dari US Embassy
Tak yakin hanya dengan data dari kantor sendiri, saya pun kembali iseng mengolah data kualitas uadra dari sumber lainnya. Berdasarkan data monitoring PM 2,5 yang dilakukan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta ternyata hasilnya tak jauh berbeda. Kedubes AS memiliki dua alat pengukur kualitas udara, satu di Jakarta Pusat dan satu di Jakarta Selatan, yang mengukur PM 2.5.
Data monitoring di Jakarta Pusat menunjukkan nilai konsentrasi rata-rata PM 2,5 pada Bulan Agustus 2023 sebagai nilai tertinggi, yakni sebesar 124,20 bila dibandingkan dengan data pengamatan di bulan yang sama selama delapan tahun pengamatan. Hal yang berkesuaian dengan data yang juga dihasilkan oleh BMKG. Meski berbeda nilainya, karena standar yang berbeda yang ditetapkan oleh Environmental Protection Agency (EPA) milik Amerika.
Nilai tersebut, berdasarkan AQI (Air Quality Index) masuk ke dalam kategori Unhealthy for Sensitive Groups. Di bagian keterangan dapat kita lihat penjelasannya lebih mendetail, yakni bahwa anggota kelompok masyarakat yang rentan mungkin mengalami dampak kesehatan. Selaras dengan apa yang dikategorikan oleh data dari BMKG.
Lalu, bagaimana dengan data di Jakarta Selatan?
Data monitoring di Jakarta Selatan secara umum menunjukkan nilai konsentrasi yang lebih tinggi ketimbang data monitoring di Jakarta Pusat.
Nilai konsentrasi rata-rata PM 2,5 pada Bulan Agustus 2023 merupakan nilai tertinggi ketiga selama 8 tahun pengamatan yakni sebesar 136,72. Tak jauh beda dengan nilai tertingginya di nilai 147,16 pada tahun 2019 dan nilai tertinggi kedua di nilai 142,09 pada tahun 2018.
Beberapa nilai pengamatan di Bulan-bulan September dan Oktober ini, yang notabene masih masuk ke dalam puncak-puncak musim kemarau, sudah masuk kategori Unhealthy. Berdasarkan keterangannya yaitu anggota masyarakat umum mungkin mengalami dampak kesehatan dan anggota kelompok yang rentan mungkin mengalami dampak kesehatan yang lebih serius.
Sekali lagi data dari Kedutaan Besar Amerika Serikat menunjukkan bahwa kondisi kualitas udara di puncak musim kemarau tahun 2023 merupakan yang tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Hal ini tentu perlu untuk mendapat perhatian lebih dari sektor-sektor terkait, terutama sektor kesehatan, terutama karena dampaknya yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat.
Data Dari Satelit
Tak berhenti sampai di situ, penulis pun mencari data dukung tambahan, kali ini didapat dari pengukuran Nitrogen dioksida (NO2) secara Near-Real Time oleh satelit Sentinel-5 Precursor yang disajikan dalam bentuk spasial melalui Google Earth Engine.
NO2 sendiri adalah gas penting di atmosfer Bumi yang terdapat di troposfer dan stratosfer. Mereka memasuki atmosfer sebagai hasil dari aktivitas antropogenik (terutama pembakaran bahan bakar fosil dan pembakaran biomassa) dan proses alam (kebakaran hutan, kilat, dan proses mikrobiologis di tanah).
Data peta spasial rata-rata Bulan Agustus pada tahun 2023 menunjukkan konsentrasi NO2 cukup tinggi di Jakarta dan sekitarnya. Bahkan terlihat pula tingginya konsentrasi NO2 ini di tahun-tahun sebelumnya, yakni di 2022, 2021, 2019, dan 2018. Hanya di tahun 2020 saja, yakni saat La Nina Moderate terjadi, yang juga bertepatan dengan tahun PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), konsentrasi rata-rata NO2 tampak berada di bawah 0,0002 mol/m2 di Jakarta dan sekitarnya.Â
Bagian utara Banten juga menunjukkan konsentrasi rata-rata NO2 yang cukup tinggi. Hanya di tahun 2021 saja tidak nampak konsentrasi di atas 0,0002 mol/m2 dan di 2020 dimana terdapat lebih sedikit konsentrasi rata-rata rata-rata NO2 di atas 0,0002 mol/m2.
Secara umum, di puncak musim kemarau, yakni di Bulan Agustus dapat dilihat rata-rata konsentrasi NO2 yang tinggi di wilayah Jakarta. Hanya di tahun 2020 saja konsentrasi NO2 lebih sedikit nilainya di atas Jakarta dibandingkan tahun-tahun lainnya.Â
Banyaknya konsentrasi gas buang dari sektor transportasi disinyalir menjadi penyebab utama tingginya konsentrasi NO2 di Jakarta dan sekitarnya. Selain tentunya dari sektor industri Pembangkit Listrik yang banyak memanfaatkan batu bara.
Duh, setelah melihat sendiri data dan fakta di atas, kini penulis lebih yakin lagi akan dampak buruk yang dihasilkan oleh kotornya udara. Banyaknya anak-anak sekolah yang sakit batuk-pilek bahkan terkena ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas) akhir-akhir ini, khususnya di wilayah ibukota dan sekitarnya, sangat mungkin disebabkan oleh parahnya kondisi kualitas udara.
Bukankah pada kenyataannya udara yang kita hirup itu lebih banyak berpengaruh daripada makanan karena tubuh kita membutuhkan oksigen dari udara bersih setiap detiknya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H