Asap Pencemar Udara saat Puncak Musim Kemarau
Di saat puncak musim kemarau, Indonesia seperti biasa tenggelam dalam kabut asap yang pekat. Ini bukanlah pertanda baik, melainkan sebuah pengingat yang tak dapat diabaikan.Â
Kebakaran hutan dan lahan telah menjadi musibah tahunan yang merusak ekosistem, mengancam kesehatan manusia, dan menyebabkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara.
Kita semua tahu bahwa Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa, termasuk hutan dan lahan gambut yang melimpah. Namun, kekayaan ini seringkali menjadi bumerang ketika musim kemarau tiba.Â
Keringnya tanah, cuaca panas yang ekstrem, dan aktivitas manusia yang tidak terkontrol semakin meningkatkan risiko kebakaran hutan dan lahan.
Dalam beberapa tahun terakhir, kebakaran hutan dan lahan telah menjadi masalah global. Asap tebal yang bertiup ke negara-negara tetangga telah menjadi berita utama di seluruh dunia.
Ini adalah pengingat yang pedih bahwa masalah ini tidak hanya berdampak lokal, tetapi juga memiliki konsekuensi yang signifikan secara global.
Ada beberapa faktor yang berkontribusi pada meningkatnya kebakaran hutan dan lahan selama musim kemarau. Pertama, deforestasi yang terus berlanjut untuk memberi ruang bagi ekspansi pertanian dan perkebunan kelapa sawit telah merusak ekosistem hutan dan lahan gambut.Â
Tanaman kelapa sawit yang menggantikan hutan alami tidak hanya meningkatkan risiko kebakaran tetapi juga menghilangkan habitat bagi satwa liar yang terancam punah.
Kedua, praktik-praktik pertanian dan perkebunan yang tidak berkelanjutan, termasuk penggunaan api terbuka untuk membersihkan lahan, telah menjadi penyebab utama kebakaran. Ini bukan hanya masalah kebijakan, tetapi juga masalah kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan.Â
Perusahaan dan petani perlu memahami bahwa praktik-praktik ini tidak hanya merugikan lingkungan tetapi juga merusak masa depan pertanian dan perkebunan mereka.
Ketiga, kurangnya penegakan hukum dan pemantauan terhadap praktik-praktik ilegal yang menyebabkan kebakaran juga menjadi masalah serius. Perlu ada kerjasama yang lebih erat antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat untuk memastikan bahwa hutan dan lahan dilindungi dengan baik.
Selama musim kemarau, asap dari kebakaran hutan dan lahan mengancam kesehatan manusia. Partikel-partikel berbahaya dalam asap tersebut dapat menyebabkan masalah pernapasan, terutama pada anak-anak dan orang tua.Â
Selain itu, dampak ekonomi kebakaran ini juga tak bisa diabaikan. Hilangnya lahan pertanian dan perkebunan, kerusakan properti, dan biaya penanganan kebakaran semuanya berdampak negatif pada perekonomian.
Titik Panas dan Ancaman Kebakaran yang Terus Meningkat
Puncak musim kemarau telah tiba, dan dengan datangnya musim kering, Indonesia kembali menghadapi ancaman serius: kebakaran hutan dan lahan.Â
Data terbaru dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa jumlah titik panas (hotspot) dalam 10 hari terakhir sangat dominan di Kalimantan, dengan sebanyak 460 titik panas.Â
Rinciannya adalah 247 titik panas di Kalimantan Barat, 107 di Kalimantan Tengah, 70 di Kalimantan Timur, dan 36 di Kalimantan Selatan.
Selain Kalimantan, titik panas juga terdeteksi di wilayah lain, termasuk 170 titik panas di Nusa Tenggara Timur (NTT), 139 di Papua, dan 91 di Sumatera Selatan. Angka-angka ini mengingatkan kita akan potensi kebakaran hutan yang selalu mengintai di musim kemarau.
Di Kalimantan Barat, luas karhutla (kebakaran hutan dan lahan) tahun 2023 hingga bulan Juli telah mencapai 1.962,59 hektar.Â
Meskipun angka ini 13% lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2022, kita tidak boleh meremehkan situasi ini. Seiring dengan pengaruh El-Nino yang diperkirakan akan meningkat, potensi kebakaran hutan dan lahan masih sangat mungkin tumbuh.
Kondisi saat ini di Indonesia sangat kering, terutama karena puncak musim kemarau yang bersamaan dengan fenomena El-Nino moderat dari sebelah timur dan Indian Ocean Dipole (IOD) positif di sebelah barat. Ini adalah kombinasi yang berpotensi memicu peningkatan kebakaran hutan dan lahan yang merugikan.
Faktor lain yang memperburuk situasi adalah minimnya curah hujan. Dengan hujan yang jarang turun, kebakaran dapat dengan mudah merambat dan berkembang pesat.Â
Oleh karena itu, seluruh pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan perusahaan, harus tetap waspada dan proaktif dalam menghadapi potensi bahaya ini.
Dampaknya Terhadap Kualitas Udara
Kualitas udara yang buruk telah menjadi masalah serius di beberapa wilayah Indonesia, terutama di Kalimantan Barat, yang saat ini menjadi pusat sorotan.Â
Musim kemarau yang panjang dan kebakaran hutan dan lahan yang terus berkembang telah menghasilkan kondisi kualitas udara yang semakin memburuk, dengan dampak serius terhadap kesehatan dan kualitas hidup warga.
Data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan bahwa Kalimantan Barat adalah salah satu wilayah yang paling terkena dampak.Â
Wilayah ini memiliki jumlah hotspot terbanyak, dengan 247 titik panas terdeteksi dalam 10 hari terakhir. Konsentrasi partikel PM 2,5, yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, telah mencapai tingkat yang sangat tinggi.Â
Puncaknya adalah pada tanggal 17 Agustus 2023, di mana konsentrasi PM 2,5 mencapai 520 mikrogram per meter kubik, masuk ke dalam kategori berbahaya.
Sementara Indonesia merayakan Hari Kemerdekaan dengan meriah, Kalimantan Barat terus berjuang melawan masalah kualitas udara yang sangat buruk akibat kebakaran hutan dan lahan yang meluas.
Kondisi serupa juga terjadi di Jakarta, meskipun dengan penyebab yang berbeda. Kualitas udara di ibu kota juga mengalami penurunan signifikan, terutama pada bulan Agustus, meskipun bukan akibat langsung dari kebakaran hutan dan lahan.Â
Jakarta menghadapi masalah emisi polutan dari kendaraan bermotor yang semakin tinggi serta dari sektor industri, terutama permbangkit listrik.
Kondisi kualitas udara yang semakin buruk juga meluas ke wilayah Kalimantan Tengah, yang ikut terpengaruh oleh bertambahnya titik panas.Â
Peningkatan konsentrasi PM 2,5 pada tanggal 2 September 2023 di Tjilik Riwut mencapai 118 mikrogram per meter kubik, masuk dalam kategori tidak sehat.
Sumatera Selatan juga merasakan dampak buruk dari peningkatan jumlah titik panas, terutama selama puncak musim kemarau. Di Palembang, konsentrasi PM 2,5 mencapai 229 mikrogram per meter kubik pada 2 September 2023, masuk dalam kategori Sangat Tidak Sehat.
Selain kebakaran hutan dan lahan, kondisi cuaca yang kering namun dengan tingkat kelembaban tinggi terutama di malam hari di beberapa wilayah Indonesia semakin memperparah situasi.Â
Kelembaban udara yang tinggi dalam iklim tropis dapat mengakibatkan akumulasi polutan di udara, meningkatkan risiko kualitas udara yang buruk.
Kualitas udara yang buruk bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga dampaknya dapat berdampak jangka panjang pada lingkungan dan ekonomi.Â
Untuk mengatasi masalah ini, upaya pencegahan dan mitigasi kebakaran hutan dan lahan harus ditingkatkan, dan pemerintah harus bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mengurangi emisi polutan di berbagai sektor, termasuk transportasi. Selain itu, kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan dan udara bersih juga harus ditingkatkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya