Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Makna Pentingnya Jilbab dalam Agama Abrahamik: Toleransi, Identitas, dan Kehormatan

3 September 2023   15:26 Diperbarui: 3 September 2023   15:32 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyuarakan Solidaritas: Mengenang Tragedi Marwa El Sherbini

Di tengah hiruk-pikuk dunia modern yang semakin canggih dan beragam, seringkali kita melupakan betapa pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai dasar seperti toleransi, keberagaman, dan penghargaan terhadap hak asasi manusia. Hari ini, tepat tanggal 4 September, kita merayakan International Hijab Solidarity Day (IHSD) atau Hari Solidaritas Hijab Internasional. Hari ini adalah saat untuk mengingat seorang wanita pemberani yang menjadi simbol perjuangan hak-hak individu, terutama hak beragama dan berpakaian.

Kisah Marwa El Sherbini adalah satu yang patut diingat. Ia adalah seorang wanita Mesir yang mendapatkan pendidikan tinggi dan menjadi penduduk Jerman. Marwa adalah seorang ibu yang penuh kasih dan istri yang setia. Namun, namanya akan selalu dikenang karena peristiwa tragis yang menimpanya pada tahun 2009.

Marwa El Sherbini datang ke Jerman dengan impian untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi keluarganya. Namun, nasib buruk mengejarinya ketika ia menjadi korban diskriminasi dan kemudian menjadi korban pembunuhan di ruang sidang. Kejadian ini tidak hanya mencoreng citra hukum dan keadilan di Jerman, tetapi juga menyentuh hati banyak orang di seluruh dunia.

Konflik yang mengarah ke tragedi tersebut dimulai dengan perselisihan sepele di taman. Marwa dan pelaku, Alex Wiens, berseteru karena anak-anak mereka ingin menggunakan ayunan yang sama. Apa yang seharusnya menjadi pertengkaran sehari-hari di taman berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih gelap ketika Alex Wiens memutuskan untuk menghina Marwa dengan mengacungkan hijabnya dan mencemooh agama Islam, diantara kata-kata yang keluar dari mulutnya yakni hinaan "teroris". Istilah yang muncul hanya karena Marwa mengenakan jilbab layaknya semua orang yang beriman dari zaman dulu hingga sekarang. Marwa yang berani, merasa perlu untuk memperjuangkan martabatnya dan mengajukan tuntutan hukum terhadap pelaku.

Kisah ini mencapai puncaknya ketika keduanya berada di ruang sidang dalam proses banding. Alex Wiens, dengan rasa kebencian yang tidak masuk akal, menyerang Marwa dan suaminya berkali-kali. Tragedi ini terjadi di hadapan anak mereka yang masih berusia 3 tahun, yang harus menyaksikan kematian ibunya dengan kejam.

Reaksi terhadap peristiwa ini tidak hanya meluas di Jerman, tetapi juga di seluruh dunia, terutama dari komunitas Muslim. Solidaritas, empati, dan keinginan untuk menghapus diskriminasi dan kebencian menyebar seperti api di seluruh dunia. Akibatnya, tanggal 4 September ditetapkan sebagai International Hijab Solidarity Day (IHSD) atau Hari Solidaritas Hijab Internasional untuk mengenang Marwa El Sherbini dan menghormati perjuangannya.

Mengenakan Jilbab: Perintah dan Maknanya dalam Al-Qur'an

Di tengah kompleksitas kehidupan modern, tuntutan untuk mempertahankan nilai-nilai dan tradisi agama seringkali menjadi hal yang membingungkan. Dalam Islam, salah satu nilai yang sangat ditekankan adalah pemakaian jilbab, sebuah simbol penting dalam menjaga ketertiban sosial dan nilai-nilai agama.

Ayat suci dalam Al-Qur'an, khususnya QS Al-Ahzab: 59, memberikan petunjuk yang jelas tentang kewajiban wanita Muslim untuk mengenakan jilbab: "Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin: 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Dalam ayat ini, Allah SWT menegaskan bahwa wanita Muslim hendaknya mengulurkan jilbab mereka untuk menutupi seluruh tubuh mereka saat mereka keluar rumah. Hal ini bertujuan agar mereka dapat lebih mudah dikenali sebagai wanita yang mematuhi syariat Islam, dan dengan demikian, mereka tidak akan diganggu oleh orang lain.

Konsep penutup kepala atau jilbab juga disebutkan dalam surat An-Nur ayat 31: "Katakanlah kepada wanita yang beriman: 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita."

Ayat ini menekankan bahwa wanita yang beriman harus menjaga pandangan, menjaga kemaluannya, dan tidak menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada orang-orang yang diizinkan oleh syariat, dan mereka juga harus menutupi dadanya dengan kain kerudung.

Mengenakan jilbab bukan hanya tugas atau kewajiban, tetapi juga sebuah simbol kepatuhan terhadap Allah dan penghormatan terhadap nilai-nilai agama. Ini adalah bentuk nyata dari kesucian, pemuliaan diri, dan penghormatan terhadap identitas Muslimah. Oleh karena itu, pemakaian jilbab adalah sebuah perintah suci yang memiliki makna mendalam dalam kehidupan seorang Muslimah.

Dalam dunia yang terus berubah, menjaga nilai-nilai agama adalah sebuah tantangan. Namun, sebagai kaum Muslim, kita memiliki kewajiban untuk menjalankan perintah Allah dengan tekun dan menjaga identitas agama kita. Dengan mengenakan jilbab sesuai dengan tuntunan syariat, kita memperkuat identitas kita sebagai Muslim dan memberikan contoh nyata tentang pentingnya menjaga nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.

Pemakaian jilbab bukan hanya tentang melindungi bentuk fisik yang indah dari seorang perempuan, tetapi juga tentang menjaga hati dan pikiran terhadap hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama. Ini adalah langkah penting dalam menjaga martabat dan kehormatan diri sebagai wanita Muslim. Dengan ketaatan terhadap perintah Allah, kita dapat mencapai ketenangan dan penghormatan dalam masyarakat, sesuai dengan visi yang diungkapkan dalam Al-Qur'an.

 

Tertutupnya Kepala: Perspektif Jilbab dalam Tiga Agama Abrahamik

Tidak dapat disangkal bahwa jilbab, atau kerudung, telah menjadi simbol kepatuhan dan ketaatan agama Islam. Bagi banyak orang, ini adalah bagian penting dari identitas Muslimah, menandakan penghormatan terhadap ketentuan Islam yang mengharuskan wanita menutup kepala mereka. Namun, apa yang mungkin tidak banyak orang ketahui adalah bahwa tradisi menutup kepala tidak hanya ada dalam Islam, tetapi juga dalam agama Yahudi dan Kristen, dua agama pendahulu yang kemudian menyempurnakan ajaran ini melalui Islam.

Dilansir dari InilahKoran, tidak dapat disangkal bahwa jilbab, atau kerudung, telah menjadi simbol kepatuhan dan ketaatan agama Islam. Bagi banyak orang, ini adalah bagian penting dari identitas Muslimah, menandakan penghormatan terhadap ketentuan Islam yang mengharuskan wanita menutup kepala mereka. Namun, apa yang mungkin tidak banyak orang ketahui adalah bahwa tradisi menutup kepala tidak hanya ada dalam Islam, tetapi juga dalam agama Yahudi dan Kristen, dua agama pendahulu yang kemudian menyempurnakan ajaran ini melalui Islam.

Kitab Taurat, kitab suci agama Yahudi, mengandung beberapa istilah yang semakna dengan hijab, seperti "feret." Ini menunjukkan bahwa konsep penutup kepala telah ada sejak zaman Nabi Musa dalam agama Yahudi. Dalam buku "Al Hijab" karya Abul A'la Maududi, kita menemukan kutipan yang menyatakan bahwa wanita Yahudi yang melanggar syariat Talmud dengan tidak mengenakan penutup kepala dapat diceraikan oleh suaminya tanpa membayar mahar.

Rabbi Dr. Menachem M. Brayer, seorang pemuka agama Yahudi dan profesor literatur Injil di Universitas Yeshiva, dalam bukunya "The Jewish Woman in Rabbinic Literature," menulis tentang tuntunan bagi wanita Yahudi untuk menutup kepala saat keluar rumah. Ini adalah praktik yang harus diikuti dan, dalam beberapa kasus, bisa menutup sebagian besar wajah, hanya meninggalkan satu mata terlihat. Ini menegaskan pentingnya penutup kepala dalam agama Yahudi.

Penutup kepala dalam masyarakat Yahudi kuno juga menyimbolkan status sosial dan kemewahan. Wanita bangsawan Yahudi mengenakan penutup kepala sebagai tanda martabat dan keagungan mereka. Jadi, dalam masyarakat Yahudi, penutup kepala bukan hanya aturan, tetapi juga simbol status sosial yang terhormat.

Begitu juga dalam agama Nasrani (Kristen dan Katolik), kita menemukan istilah yang semakna dengan jilbab dalam kitab Injil. Istilah seperti "zammah," "realah," "zaif," dan "mitpahat" digunakan, membuktikan pentingnya menutup aurat pada masa Nabi Isa. Namun, sayangnya, praktik penutup kepala ini hanya berlanjut dalam agama Islam, dan tidak lagi diterapkan dalam agama Yahudi dan Kristen.

Perlu diingat bahwa biarawati Katolik masih mempertahankan tradisi menutup kepala mereka, menunjukkan bahwa praktik ini masih hidup dalam beberapa tradisi Kristen. Bahkan, di Indonesia sebelum tahun 80-an, biarawati mengenakan jilbab sebagai bagian dari pakaian mereka. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, banyak tradisi ini mengalami perubahan.

Semua ini menunjukkan bahwa konsep penutup kepala atau jilbab adalah bagian integral dari banyak tradisi agama Abrahamik, termasuk Yahudi, Nasrani, dan Islam. Ini adalah bukti bahwa pemakainya bukan hanya wanita yang tunduk, tetapi juga wanita yang terhormat dalam berbagai budaya dan agama. Dalam zaman modern yang penuh tantangan, pertanyaannya adalah apakah kita dapat mempertahankan nilai-nilai ini untuk melindungi dan menjaga diri kita dengan lebih baik, dengan menjunjung tinggi perintah yang karena dijalankan semenjak dahulu menjadi tradisi yang telah ada sejak zaman Nabi Musa hingga Nabi Isa.

Bukankah Maryam binti Imran, ibunda Nabi Isa alaihissalam dulu juga mengenakan jilbab? Sama seperti Sayyidah Aisyah radhiyallau 'anha serta Fatimah Az-Zahra radhiyallahu 'anha, serta seluruh perempuan yang beriman hingga saat ini, seharusnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun