Setiap tahun pada tanggal 24 Agustus, kita merayakan Hari Televisi Nasional. Namun, apa sebenarnya makna di balik peringatan ini? Lebih dari sekadar mengenang perkembangan teknologi dan hiburan, hari ini mengingatkan kita tentang perjalanan panjang televisi di Indonesia, dan dampak yang mungkin terjadi terhadap karakter dan perilaku kita, seringkali tanpa kita sadari.
Hari ini juga sekaligus mengenang hari ulang tahun Stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI), yang dengan tegas ditetapkan oleh Kep. Menpen RI No.20/SK/M.61. Merayakan televisi adalah merayakan bagian penting dari budaya kita, yang telah menjadi jendela dunia yang membawa berita, hiburan, dan informasi langsung ke ruang keluarga kita.Â
Namun, perjalanan televisi ini dimulai jauh sebelumnya, bertepatan dengan penyelenggaraan Asian Games di Jakarta pada tahun 1962. Data dari Buku "Stasiun Televisi & Perkembangannya" karya Prihatmaji (1998) mengungkapkan momen bersejarah ini.
Begitu siaran pertama dimulai di Indonesia, dengan pionirnya TVRI Jakarta, jaringan televisi segera merambah lebih luas lagi. Yogyakarta, Medan, Balikpapan, dan berbagai wilayah lainnya segera diikuti.Â
Setiap penjuru tanah air dijangkau oleh pesan-pesan dan hiburan yang disampaikan melalui layar kecil ini. Bahkan, pada tahun 1978, stasiun penyiaran TVRI juga muncul di Bandung, Surabaya, dan Denpasar. Melangkah lebih jauh pada tahun 1993, tiga stasiun penyiaran baru di Ambon, Samarinda, dan Banda Aceh pun dirayakan secara serentak.
Namun, televisi bukan hanya tentang perangkat dan teknologi. Televisi memiliki peran yang lebih dalam dalam membentuk karakter dan perilaku kita. Sebagai media yang memiliki daya jelajah yang kuat, televisi memiliki kemampuan untuk menyuntikkan pesan-pesan tertentu ke dalam pikiran kita secara perlahan-lahan. Seiring waktu, apa yang kita tonton di layar kecil ini dapat meresap ke dalam alam bawah sadar kita, membentuk kebiasaan dan karakter kita sehari-hari.
Sebagai ilustrasi, perhatikan bagaimana tayangan televisi dapat membentuk karakter sehari-hari ibu-ibu. Mereka mungkin awalnya hanya menonton sinetron Indonesia, yang seolah-olah merupakan hiburan ringan.Â
Namun, lambat laun, mereka dapat terbawa suasana tontonan, menyerap cara berbicara dan merespon situasi dengan kelebihan emosi atau "lebay". Fenomena ini bahkan dapat diperkuat oleh budaya sekitar yang mempertegas perilaku berlebihan dalam pembicaraan. Kemudian lahirlah gosip dari pertemuan rutin ibu-ibu rumah tangga yang dampaknya bisa sangat berbahaya.
Kita harus sadar bahwa pengaruh televisi tidak berhenti pada situasi positif saja. Ada kasus-kasus yang menyoroti dampak negatif dari paparan tayangan yang tidak pantas. Berita tentang perilaku kriminal, seperti perkosaan, yang melibatkan individu yang sering menonton konten pornografi, mencatat betapa kuatnya pengaruh tayangan ini dalam mengubah perilaku individu. Hal ini memberi kita gambaran tentang bagaimana televisi dapat menjadi bentuk pendidikan tak langsung, bahkan ketika kita tidak menyadarinya.
Tentu saja, dampak televisi tidak hanya berlaku pada orang dewasa. Anak-anak adalah kelompok yang sangat rentan terhadap pengaruh subliminal (alam bawah sadar) ini. Mereka cenderung meniru apa yang mereka lihat tanpa mempertimbangkan konsekuensi atau dampaknya. Dalam era digital ini, di mana anak-anak dapat dengan mudah mengakses berbagai tayangan melalui gadget, pengawasan terhadap jenis tayangan yang mereka tonton menjadi sangat penting.