Setiap tanggal 4 Juli, Amerika Serikat memperingati Hari Kemerdekaan mereka, sebuah momen penting yang tentu penuh akan perjuangan dan perubahan. Pada tahun 1776, tepat pada tanggal tersebut, Amerika meraih kemerdekaannya dari Kerajaan Britania Raya. Namun demikian pada kenyataannya setelah Perang Dunia ke-II, Amerika Serikat berubah menjadi sosok penajajah terutama di Timur Tengah.
Semua berawal dari sebuah peristiwa yang masih menjadi kontroversi, pun hingga saat ini, yakni runtuhnya menara kembar WTC (World Trade Center) pada 11 September 2001. Seluruh media Amerika Serikat kemudian menggaungkan sebuah kata unik, 'teroris', sehingga munculah musuh bersama bagi Negara Amerika yang harus ditumpas, yakni terorisme. Mengapa dikatakan musuh bersama, karena bagi Amerika, jika berbicara mengenai perang maka Negara Adidaya karena persenjataan nuklinya itu tidak sendiri, ada NATO (North Atlantic Treaty Organization) yang berdiri berdampingan dengannya.
Jadilah kemudian penjajahan yang diberi nama bagus sekali, yakni 'Operation Iraqi Freedom', padahal pada kenyataannya alasan mengapa Amerika Serikat menginvasi Irak tidak pernah terbukti kebenarannya. Senjata pemusnah massal tidak pernah ditemukan, kekuasaan Saddam Hussein langsung digulingkan dalam waktu singkat, dan seperti biasa rezim boneka buatan berkuasa di sana, menjadi representatif kekuatan otoriter dibalik topeng ideologi bernama demokrasi. Selalu, yang muncul di permukaan media massa adalah kalimat-kalimat terbaik yang dipilih.
Setelah invasi, pasukan Amerika Serikat dan koalisi internasional menghadapi kenyataan yang tak mengenakkan dalam membangun kembali Irak serta menjaga stabilitas. Terjadi serangkaian serangan pemberontak dan serangan teroris yang dipimpin oleh kelompok-kelompok seperti Al-Qaeda di Irak dan kemudian ISIS (Negara Islam Irak dan Syam) yang ditengarai ada kaitannya dengan CIA. Pasukan AS terlibat dalam pertempuran yang disebut sebagai 'operasi pemeliharaan perdamaian', dan 'upaya rekonstruksi'. Pada tahun 2011 akhirnya pasukan AS secara resmi menarik diri dari Irak, meskipun kehadiran mereka terus berlanjut dalam kapasitas 'penasihat dan pelatih' yang pada kenyataannya di lapangan tentu tetap berusaha mempertahankan bentuk imperialisme modern.
Selain Invasi AS ke Irak, satu lagi bentuk penjajahan mereka, yang semula diatasnamakan pencarian otak dari serangan 11 September 2001, terjadi di Afganistan. Koalisi internasional, termasuk Amerika Serikat, bekerja sama dengan oposisi Afghanistan dan membantu membentuk pemerintahan sementara. Meskipun berhasil mengusir Taliban dari kekuasaan sementara waktu, konflik dengan Taliban dan kelompok pemberontak lainnya berlanjut dalam bentuk perang gerilya dan serangan teroris.
Bahkan, Amerika yang tak dapat mengendalikan situasi akhirnya harus meminta bantuan rekan-rekan seperjuangannya dalam NATO. Sungguh amat disayangkan, operasi yang tadinya hanya bertujuan mencari otak tindak terorisme sampai harus menghilangkan nyawa ratusan ribu orang masyarakat sipil di Afganistan. Setelah penarikan pasukan AS yang diumumkan oleh Presiden Joe Biden pada April 2021, situasi di Afghanistan berubah drastis. Pasukan Taliban dengan cepat merebut kembali kendali atas berbagai wilayah di negara tersebut, termasuk ibu kota Kabul. Pemerintahan Afghanistan yang diakui secara internasional runtuh dan Taliban kembali berkuasa penuh atas Afganistan. Kenyataan yang menunjukkan sebenarnya, apa yang diinginkan oleh masyarakat akar rumput di sana.
Penulis tentu bukan ingin menggaungkan sentiment anti-Amerika, namun cerita kepahlawanan kuda hitam di perang dunia kedua yang akhirnya menjadi pahlawan perang dan berhasil mengakhirinya dengan pembantaian massal di Hiroshima dan Nagasaki hilang sudah kini. Citra Amerika sebagai negara pembebas yang mendukung kemerdekaan cukup diragukan setelah peristiwa invasi mereka ke Timur Tengah. Apalagi ketika penyelidikan ulang tentang peristiwa 11 September 2001 menyeruak ke permukaan, yang berkata bahwa seluruh rangkaian peristiwa invasi itu sudah direncanakan sebelumnya, di atas sebuah operasi 'false flag' atau palsu/tipuan bernama 9/11. Banyak analisis yang menyebutkan bahwa dua menara kembar tersebut runtuh bukan karena ditabrak pesawat namun oleh bahan peledak yang sudah dipasang di bagian dalam gedungnya.
Sebenarnya jika dirunut lebih jauh lagi, bentuk penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa barat, terutama Amerika Serikat setelah Perang Dunia kedua lebih kepada imperialisme modern. Hal ini berarti tidak diperlukan penjajahan dalam bentuk fisik yang langsung menguasai wilayah negara yang menjadi target. Sistem ekonomi misalnya, menjadi senjata utama untuk menjajah negara lain tanpa harus mengirim pasukan nyata ke negara tersebut.
Melalui Bretten Wood Agreement, Dollar menjadi mata uang utama yang wajib dipakai oleh seluruh negara di dunia ini ketika hendak melakukan perdagangan ekspor-impor. Untuk memperoleh dollar, kala itu, pemerintah di berbagai belahan dunia wajib untuk menukarkan emas yang mereka miliki, yang waktu itu masih dipakai sebagai alat tukar. Munculah kemudian legenda atau kisah yang tidak dapat dipastikan kebenarannya tentang Presiden Soekarno yang menukarkan berton-ton emas milik raja-raja di Indonesia.
Entah kisah tersebut benar atau tidak, namun Amerika Serikat kemudian memutuskan secara sepihak hubungan antara Dollar dan Emas, setelah sebelumnya juga menaikkan nilai tukarnya, yang semula $35 setara dengan 1 ons emas menjadi beberapa kali lipatnya. Pemerintah dari beberapa negara di dunia kemudian tidak terima dan menginginkan emasnya kembali, namun Amerika Serikat kemudian secara sepihak mengganti konvertibilitas emas ke Dollar.
Sempat mendapat beking dari minyak, yang kemudian memunculkan istilah petro-dollar, mata uang ini tetap menjadi pilihan utama, dan bisa dicetak secara ajaib oleh pihak swasta bernama Federal Reserve (The Fed).
Bukankah itu artinya mereka memiliki dana perang tak terbatas?
Untungnya, kemenangan akar rumput Afganistan pada tahun 2021 lalu meruntuhkan seluruh citra mengenai Negara Adidaya. Kemerdekaan yang sesungguhnya adalah ketika entitas paling dasar di negara itu yang memegang kuasa, bukan boneka yang ditunjuk siapapun juga. Seperti halnya kemerdekaan Indonesia yang direbut dengan semangat berani mati dan jiwa yang suci, bukan mengaburkan kemerdekaan dengan penjajahan berkedok demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H