Hari ini, Jumat 27 Oktober 2017 adalah hari  Ulang Tahun anak bungsu saya. Saya mencoba berkontemplasi, memaknai dan mengingat-ingat hari bersejarah buat kami itu...
                                                     *******
Waktu itu, saya bersama tiga orang bocah laki-laki kecilku pukul 05:30 pagi, Â 27 Oktober 1995 itu. Bergegas ke klinik bersalin (setelah sehari sebelumnya Mamanya terbaring di sana). Dengan rasa bahagia, yang karena entah sudah berapa puluh kali berdoa meminta, agar anak saya terakhir ini diberikan seorang putri. Terkabul sudah!Â
Terbayang kemudian, bagaimana dia kelak akan dengan apik memperhatikan Mama dan Papanya hingga mjungkin di hari tua. Dan, harapnnya bisa lebih piawai serta peduli di dalam mengurus rumah sebagaimana kodratnya sebagai seorang wanita. Tentu, para "pengawal" kecil saya yang lain, tiga orang bocah kecil laki-laki, Â juga sayang ke orang tuanya. Namun, dalam bentuk dan cara mereka sendiri yang berbeda.
Kehadiran putri kecil ini, kemudian mewarnai keluarga kami dalam bentuk lain. Menjadi primadona menyeimbangkan keriuhan rumah sederhana kami di hampir setiap pagi. Khususnya, menyongsong hiruk-pikuk menjelang pagi, waktu mulai sekolah. Mereka semua bak bermain musik pagi  sambil mencerocos pagi yang ceria tersebut. Si kecil perempuan ini selalu berusaha mengimbanginya. Dengan gaya bicaranya yang pelan, berhati-hati, sering terlihat lebih penyabar dan suka mengalah. Dibandingkan karakter abang-abangnya yang kadang tergesa-gesa, keras, spontan dan riuh.. Â
Saat kami tiba di klinik bersalin "Wulandari" yang berlokasi di jl Gatot Subroto, Cimahi, waktu itu. Rasanya seperti melihat sekuntum kembang mekar baru yang sedang merekah indah. Sejenak saya hampir tak percaya, bahwa bayi perempuan mungil yang hari itu lahir ini adalah anak saya. Saya menatapnya lama. Dia terlihat lemah dan juga rentan. Mungkin karena hari itu baru  'tiba' dari dunia lain.  Tapi, dia terlihat cantik, dengan kulitnya yang putih, bentuk wajah yang oval, dan matanya yang agak sipit. Bibirnya yang merah alami seperti tersenyum, meski tampak matanya sedang meram tertidur pulas.  Saya kemudian merasa merinding: oh, bukankah di sana ada bagian dari diri saya yang dititipkan Tuhan ? Mungkin dia hari itu bersama beberapa Malaikat mengantarnya ke sini. Dan bayi mungil itu seperti sedang menyapa Mama dan Papa-nya di dalam keheningannya. Lalu, bayi ini saya beri nama Dhinda Ayu Amelia.... Yang arinya: adik termuda (dalam keluarga) yang cantik (Ayu), namun berhati  mulia karena seuka memberi (Amelia). Begitulah waktu itu harapan saya kepadanya...j
Tiba-tiba saya tersentak, saat  suster lewat dan menyapa. "Kok, bayi saya belum menangis, suster..?" tanya saya gusar. "Tidak apa-apa. Dia sehat kok. Anak Bapak ini perempuan. Beratnya sekitar 2,6 kg," ujar suster yang tampak tergesa, bersiap-siap hendak membersihkan dan membedakinya. Tak lama kemudian, terdengar dari kejauhan suara tangisannya di ruang mandi. Suara tangisnya terdengar pelan dan lembut.  Ada rasa bahagia mendengar suara tangisan anak saya ini. Bayiku ini sekarang sudah bisa menangis. Suaranya bagaikan harmoni nada dari surga.."Nanti setelah dibersihkan, Bapak boleh gendong dan jangan lupa memberi azan. Biar  kelak dia akan menjadi anak yang Sholeh.." demikian pesan suster tersebut. Suster yang soleh ini mengingatkan saya akan tradisi di dalam Islam, bagi  setiap bayi yang baru dilahirkan.
Sebelumnya, beberapa proses kelahiran anak yang lain, saya selalu menghindar hadir langsung melihat. Memilih menunggu di rumah saja. Karena saya tak tega melihat proses persalinan yang cukup mengerikan. Namun kali ini, entah mengapa: saya memberanikan diri datang ke persalinan, untuk melihat semua  proses kelahiran tersebut secara dekat.  Bahkan, menggendong dengan spontan bayi rentan yang baru berusia beberapa jam tersebut. Dulu, saya merasa takut bukan kepalang, menggendong seorang bayi. Dhinda Ayu Amelia kemudian saya gendong dengan sangat hati-hati dan dada terasa bergetar. Saya tidak ingin dia tergores sedikitpun. Kemudian saya mengumandangkan azan dengan suara lirih di teliga kiri dan kanannya. Mungkin karena melakukannya dengan  menjiwai, tak terasa beberapa bulir air mata terasa menetes. Entah mengapa, saya begitu treharu ...Usai azan tersebut, saya coba mencari dan memegang  jari-jari mungilnya yang terlihat lemah.... Lututnya dan telapak kakinya tak luput saya amati. Oh, Alhamdulilah, semuanya lengkap!  "Terima kasih, Tuhan...!" seru saya dalam hati.Â
Tiba-tiba saya jadi teringat, hebatnya jasa para IBU. Mereka sungguh berjasa melahirkan dan merawat masa-masa awal anak manusia. Betapa tidak! Mereka tidak saja melahirkan bayi mungil yang lemah.  Akan tetapi, juga dengan keikhlasannya membesarkan anak-anaknya tersebut secara bertahap. Berhari-hari, berbulan-bulan dan bahkan berbilang tahun, tanpa terlihat ber-pamrih.... Sampai akhirnya, sang bayi itu pun n pandai berjalan, bisa berbicara, dan menjadi  "manusia"....
***
Esok harinya suasana rumah kami di komplek Puri Cipageran Indah, Cimahi, itu  tidak seperti dulu lagi.  Semua dengan antusias menerima kehadiran anggota keluarga baru ini dengan suka cita, dan dengan berbagai bentuk ekspresi.  "Siapa nama adik, Ma," tanya Angga Yudhistira anak laki-laki tertua saya, yang saat itu masih kelas II SD, terlihat penasaran.  "Boleh Ma, Bobbie gendong sebentar?" kata anak laki-laki kedua saya ini, di lain waktu, yang saat itu masih TK, dengan nada polos...Tentu saja Mamanya menjadi kelabakan mendengar permintaan nekat begitu dari seorang anak yang masih balita. Bobbie Tisna Anandika terlihat gemas melihat adik barunya yang tampak begitu anteng dan tenang, cuek, dan tertidur pulas. Anak bungsu laki-laki saya, yaitu Dimas Try Hanggara pun, yang saat itu masih digendongan.....tampak mengelus-elus pipi adik barunya. Mungkin dia terheran-heran: manusia mungil ini dari mana ya, kok tiba-tiba ada di rumah...?
Ketika hari pun berganti hari. Bulan berganti bulan. Tidak terasa Dhinda Ayu Amelia kemudian tumbuh sebagaimana lazimnya anak-anak. Di usianya yang 3 bulan, dia kemudian menjadi "mainan" dan pusat perhatian keluarga, karena berbagai tingkah lucunya yang menggemaskan banyak orang. Dengan kepandaian barunya, yang silih berganti muncul (termasuk ketika dengan spontan menjulur-julurkan lidahnya kalau dipanggil), sebagai respon berkomunikasi. Dia kemudian menjadi rebutan untuk digendong. Dan bagi saya, Dhinda sejak bayi memang selalu terlihat 'Photogenic', sehingga sering menjadi objek photo-photo saya.
Tentu saja, dalam berbagai perlombaan anak-anak tersebut,  Dhinda sering menang. Namun, suatu ketika pernah kalah juga. Sebagaimana anak-anak seusianya, dia terlihat putus asa. Lalu saya selalu memberinya piala pengganti, yang sering membuatnya menjadi tersenyum girang menerima piala tersebut. Mungkin dalam pikiran kanak-kanaknya, piala adalah tujuan dari setiap perlombaan. Dia kemudian merasa seperti orang lain yang menang. Piala-piala yang dilengkapi berbagai tulisan itu, kemudian saya letakkan di meja belajarnya sebagai simbol perjuangannya. Setiap saat saya selalu memotivasinya dengan mengatakan:  "Bagi Papa, Dhinda selalu juara  di dalam setiap perlombaan yang diikuti. Karena, tidak semua orang mau dan berani berkompetisi..banyak orang yang belum apa-apa, takut kalah. " Saat itu, saya juga tidak tahu apakah dia yang masih SD dan SMP mengerti maksud kalimat saya ini. Tetapi begitulah, saya selalu mengutarakan kalimat itu setiap kali  usai menyaksikannya ikut perlombaan anak-anak......
Sampai saat ini, saya suka geli sendiri. Jika melihat sekumpulan piala di rumah yang sebagian, sebenarnya dari saya juga.  "Jangan bersedih, khan setiap perlombaan pasti ada yang kalah," hibur saya jika melihatnya kecewa pulang dari karnaval, misalnya tanpa piala apapun. "Kalah itu merupakan proses  menjadi juara. Bukankah kekalahan adalah sukses yang tertunda? " hibur saya sambil memeluknya.  Saya selalu mengajarinya agar selalu terus memperbaiki diri dengan terus belajar dari setiap apa yang sudah dilakukan. cari makna dari setiap kegiatan yang diikuti. Namun, dalam berkompetisi harus tetap berjiwa sportif. "Biar saja, kalau ada orang berbuat curang dalam suatu kompetisi atau ujian di sekolah. Ntar lama-lama, pasti akan ketahuan juga aslinya, mana yang emas dan mana yang loyang," lanjut saya di saat lain.Â
Ketika Dhinda sudah mulai menginjak dewasa dan sering berdiskusi dengan saya lebih serius tentang berbagai hal. Nasehat saya kepadanya sering lebih jauh lagi. Di antaranya  seperti berikut kalimat berikut: "Orang yang menang karena curang, papa menyebutnya  'The Pseudo Winner'. Mereka seperti Bubble/balon palsu yang awalnya cepat naik ke awan justru karena ringan tak berisi. Akan tetapi, saat mereka  sudah berada di suatu ketinggian, mereka  menjadi berat, lalu gamang dan rentan. Karena balon itu  sebenarnya tidak diisi  oleh pengetahuan/skill/pengalaman yang cukup. Sukses/Balon seperti itu hanya tinggal menunggu waktu saja untuk meletus. Kemudian akan pecah di atas ketinggian sana, terburai habis karena harus jatuh ke bawah yang jauh......".  Â
Suatu hari, ketika Dhinda  memenangkan suatu perlombaan, saya juga memberikannya hadiah.  Sambil menasehatinya begini: "Sang Juara, apapun peringkat dan bentuk perlombaannya, layak mendapat Hadiah. Karena dia telah berjuang dan berupaya lebih untuk  menjadi pemenang. Terus berupaya semaksimal mungkin di dalam  setiap  perlombaan atau kompetisi apapun. karena hidup ini, pada hakekatnya adalah suatu KOMPETISI...Berupaya terus untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya, apapun itu profesi kita" ujar saya suatu ketika. Suatu kali, Dhinda yang saat itu sudah mulai masuk  ke bangku kuliah, berhasil menjadi finalis 12 Besar Mojang-Jejaka se-kota Cimahi, dari ratusan pelamar yang masuk. Selain mendapat hadiah dari panitia, saya juga memberikannya hadiah khusus. Karena saya bangga melihatnya ketika dia  begitu penuh percaya diri berjalan di catwalk di acara final. Berlenggak-lenggog dengan mengenakkan pakaian adat Sunda di depan Walikota dan para pejabat Pemkot Cimahi pada acara tahun 2016 itu.
Meskipun di masa remajanya dia akhirnya suka berlomba. Tapi sewaktu di SMA, putri saya ini selalu berada di ranking sepuluh besar dalam soal belajar. Dia kayaknya pintar membuat keseimbangan, antara kapan harus belajar di sekolah dan kapan berbagi kegiatan ekstrakurikuler-nya. Â "Pengen tahu aja..," jawabnya singkat, ketika ditanya kok ikut begitu banyak kegiatan. "Khan Dhinda ikut Papa, yang waktu muda SMA di Aceh dulu, senang mencoba dan mengikuti segala macam kegiatan," katanya beralasan.Â
Ya, saya sebenarnya setuju itu!Â
Anak remaja dan anak-anak muda di manapun, memang harus mengaktifkan otak, jiwa (seni) dan fisiknya. Mereka harus  tetap selalu sehat, energik, kuat dan kreatif. Terutama, ini yang lebih penting: mengeksplorasi bakat-bakat terpendam yang ada di dalam dirinya secara positif. Seringkali bakat sebenarnya dari seseorang, tidak terlihat jelas, jika tidak memulai mencobanya dengan mengikuti  berbagai kegiatan tersebut. Kebiasaan Dhinda merasa passion (senang) ikut berlomba sejak kecil itu, rupanya terbawa terus hingga di msa kuliahnya hari ini. Dia  sekarang tampak tidak canggung saat menjadi penyiar radio di Bandung. Bahkan menjadi MC di berbagai panggung dengan ribuan orang penonton di kampusnya.
Hari ini, di Ulang Tahun-nya yang ke-22..Si Putri Cantik  ini, juga sedang asyik-asyiknya menyelesaikan kuliahnya di jurusan Teknik Sipil, Politeknik Negeri Bandung. Tak terasa, kini anak bungsu  saya ini telah tumbuh dan berkembang menjadi sosok wanita dewasa, yang tampak lebih matang dan tenang pembawaannya di dalam menghadapi berbagai kendala. Bayi mungil yang rentan tak berdaya 22 tahun lalu itu, kini terlihat lebih percaya diri dalam menyongsong masa depannya. Meskipun, cita-citanya dulu adalah menjadi seorang dokter, tidak kesampaian. Karena kondisi ekonomi orangtuanya yang tidak memungkinkan waktu itu. "Tapi, tidak apalah...Bukankah menjadi seorang insnyur (sarjana teknik) itu juga tidak kalah menjanjikannya?"  Apalagi, kalau profesi tersebut ditekuni dengan penuh kesungguhan (passion) dengan rasa percaya diri yang kuat: Pasti akan membuahkan hasil! Â
Akhirnya, anakku...! Â
Gantungkanlah cita-citamu setinggi mungkin. Bila mungkin, letakkan di antara langit dunia global yang dewasa ini semakin terbuka memberikan kesempatan luas bagi orang-orang yang terdidik (the knowledge worker) dari manapun untuk berkarya..... Jadilah kelak: Â 'the world citizen' yang selalu tetap mencintai tanah air tercinta, yaitu Indonesia...!
Walaupun, sebenarnya tidak ada yang benar-benar tahu, apa yang akan terjadi di masa depan. Di dalam waktu Lima, Sepuluh, dan bahkan Dua Puluh tahun yang akan datang... Kita di sini hanya bisa memprediksi dan terus berupaya..... Tapi, prediksi itu, akan selalu mendekati jika apa yang kita lakukan hari ini: Seserius dan sebaik mungkin!  Hari INI ada, karena Hari Kemarin. Hari Depan (masa depan) itu, selalu ditentukan determinasinya oleh: sejauh mana usaha yang  kita lakukan Hari INI.....
Selamat Ulang Tahun: Dhinda Ayu Amelia Rendra...(My lovely daughter...)...! Â Because, life is also begin at 22 years old....isn't it..?
=========================================================================================================
(*Ditulis oleh sang Ayah: Rendra Trisyanto Surya/di rumah  PCI-I, Blok E-129, Cimahi, Jawa Barat. (Tanggal 27 Oktober 2017). Semoga tulisan sederhana ini dapat menjadi hadiah ulang tahun buat Dhinda yang paling berharga. Karena sebuah tulisan (betapa sederhananya), akan abadi.... Mudah-mudahan memberi inspirasi banyak orang....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H