Dilanjutkan ke tempat sekelompok anak-anak muda yang sedang asyik membuat photo selfie di jembatan kayu khusus yang dibangun di puncak, untuk mnencitrakan sedang berada di atas awan. “Itu di lereng jurang di bawah, kok ada orang yang berkemah? Kita ke sana yuk, Pa.. ” ajak Odimz. “Jangan, ke sana terlalu berbahaya buat kita, terlalu jauh turunnya....Kita belum siap hari ini untuk itu. Ntar kapan-kapan...Kita lihat pemandangannya saja dari atas sini saja ,” jawab saya tegas, karena mulai bertambah khawatir..
***
Motor kami kemudian melewati jalan berbatu yang menurun di tengah hujan geirmis yang mulai deras di hutan Galunggung, pulang menuju ke Kecamatan Sukaratu, ke Pondok tinggal si Odimz. “Pa, bagaimana kalau kita langsung pulang aja ke Cimahi. Saya sudah bosan banget di sini..” tiba-tiba suaranya terdengar dari belakang jok motor ketika kami hampir sampai. Akhirnya, motor tetap masuk ke pagar pondok yang selalu terkunci tersebut. Di ruang tamu, Odimz mulai mengeluh berbagai hal.
Katanya, kepalanya mulai terasa pusing, dan kaki pegal-pegal. Rupanya pendakian kami hari ini berdampak kelelahan luar biasa juga buat dia, yang selama 2,5 tahun di sini jarang berolahraga serius. Tampak dia mulai tidak nyaman dan gelisah, kalau sudah merasa kurang fit seperti ini. Dia kemudian memaksa saya untuk membawanya pulang malam itu juga.... “Naik bus juga ng apa-apa ke Cimahi,” katanya mencoba mayakinkan.
“Saya takut, Pa ! Kalau nanti harus tinggal di tempat ini seumur hidup..” katanya dengan nada yang kemudian berubah menghiba. Dia mulai meneteskan air mata dan menatap saya lama untuk meminta pengertian. Saya kemudian terkejut melihat curhatnya yang tidak biasa seperti ini ! “Oh, rupanya selama ini dia merasa begitu tertekan di sini, yang mungmin sudah melampui batas ketahannya...,” pikir saya. Sebaliknya, kamipun sebenarnya menahan rindu berat kepadanya. Uniknya, kalimat yang diucapkannya ini, persis seperti yang saya dengar saat bertemu Odimz dalam mimpi..
Saya tatap matanya lama.....
Lalu saya elus kepalanya yang plontos itu...”Odimz masih anak Papa....Tenang-tenang saja, jangan terlalu khawatir. Kami semua tidak akan melupakan Odimz, dan membiarkan lebih lama tinggal di sini,” hibur saya kepadanya. “Percayalah, Odimz pasti segera pulang....Tapi bukan hari ini. Karena perlu banyak persiapan yang harus dilakukan di rumah. Khan nanti kamar Odimz harus ditata-ulang. Bang Bobie juga nanti harus menyiapkan dan mendaftarkan Odimz ke berbagai kegiatan agar tidak terjadi kekosongan. Kursus Melukis dan Musik nanti akan kita utamakan kalau Odimz nanti pulang,” ujar saya meyakinkannya. “Oh ya, bukankah Odimz selama ini sudah begitu hebat, kuat dan tegar selama 2,5 tahun hidup di sini..? Hayo..jangan cengeng begini.. Habis lebaran nanti, pasti Papa akan datang menjemput..,” tegas saya kepadanya.
Dia tiba-tiba diam dan kemudian menunduk, termenung.... Dan, saya baru menyadari bahwa anak ketiga saya ini sudah mulai benar-benar merasakan dirinya seperti “terbuang” dari keluarga. Lalu Odimz perlahan-lahan wajahnya kembali tegak. Tampak muncul ketegaran dan kekerasan hatinya. “Ya udah kalau begitu! Kalau memang tidak boleh pulang hari ini , ng apa-apa... Saya sudah ikhlas berada di sini”, kata Odimz berubah. “Sekarang Papa pulang saja...Pulanglah...”, lanjutnya.
Lalu, dia bangun dari duduknya dan bergegas masuk ke dalam pondok yang diikuti oleh seorang pengasuh yang mendampinginya. Jam sudah pukul 20:30. Waktu-waktu mereka harus segera tidur istirahat sebelum besok memulaui kegiatan padatnya kembali. Saya lalu merasakan seperti ada kekecewaan luar biasa di dalam dirinya. Ada sedikit “kemarahan” karena belum juga di bawa pulang hingga hari ini.... Meskipun respon tersebut kini terlihat sangat terkendali. Hal yang menunjukkan, bahwa dia sudah sembuh dan hampir kembali normal seperti kebanyakan orang lain.....
***