Saya memeluknya dan menyerahkan oleh-oleh titipan Mamanya. Dan seperti biasa, dia banyak bertanya ini-itu tentang keadaan rumah. Lalu beralih ke Abangnya, menanyakan mengenai perkembangan musik terakhir di Bandung (Abangnya kebetulan juga seorang musisi), termasuk perkembangan HP terbaru yang sedang dipergunakan Abangnya. Dia pegang-pegang HP Abangnya. Tampak sekali dia ingin kembali ke lingkungan masyarakat modern seperti dulu yang tidak terlepas dari telpon genggam dan medsos itu.
Memang, sepertinya tidak ada anak muda dari mana pun yang bisa bertahan hidup lama terisolir seperti ini. Mungkin, jika diamati secara seksama: ada juga pemberontakan dari dalam hati para pasien yang umumnya anak-anak muda berusia produktif tersebut. Namun, di sisi lain, sekaligus tampak ketidakberdayaan mereka sejak “ditinggal” para keluarganya masuk ke sini. banyak di antara mereka berasal dari tempat-tempat yang jauh seperti Sumatera, Kalimantan bahkan Sulawesi.
“Di sini dikenakan biaya dengan sistem subsidi silang,” kata pengurus. “Biayanya Rp 2.250.000 per bulan bagi yang mampu. Tapi, gratis bagi warga lokal yang kami nilai tidak mampu,” katanya lebih lanjut. Tapi, ya itu tadi. Pasen harus siap hidup terisolir selama pengobatan di lingkungan di sini. Menjauhkan diri dari segala kebisingan kehidupan masyarakat modern, yang seringkali bisa menambah drepresi.
Odimz tampak senang ketika saya minta ijin ke pengasuhnya, untuk mengajaknya jalan-jalan beberapa jam dengan motor, menuju ke Gunung Galunggung yang berjarak sekitar 1 jam dari lokasi Pondok Sukaratu ini. Selama dua tahun setengah dia berada di sini, tidak pernah sekalipun dia jalan-jalan ke luar lingkungan. Saya tahu, pasti, dia yang hobi traveling ini i senang. Lalu di sepanjang jalan, tampak dia terkagum-kagum dengan keindahan alam persawahan subur yang mengelilingi Pondoknya ini.
Desa-desa disekitar kaki Gunung Galunggung yang kami lewati itu, memang salah satu lumbung padi dan sentra ikan air tawar di Kabupaten Tasikmalaya. “Udaranya dingin dan segar ya, Pa..”, komentarnya. Saya surpirse! Odimz sudah berubah banyak hari ini, termasuk dalam hal berkomunikasi. Dia tidak lagi tampak terlihat panik, marah dan gelisah sebagaimana dulu, saat dibawa ke tengah keramaian. Bahkan, terlihat antusias dan tertarik dengan berbagai hal yang dilihatnya dalam perjalanan kami menyusuri kampung-kmpung dan hutan di sekitar Gunung Galunggung ini.
Akhirnya, kami sampai ke kaki Gunung Galunggung, dan lalu mengajaknya naik ke puncak melalui 625 anak tangga, yang sebenarnya akan melelahkan bagi siapapun. Odimz tampak dengan tenang menapaki anak tangga tersebut. Dia tampak tenang dan nyaman sebagaimana kecil dulu saat diajak "berpetualang" di samping Ayahnya.
Meskipun kemudian, dia minta istirahat berkali-kali setelah melewati anak tangga yang ke 300. Dan saya pun ikut terengah-engah pula. Memang, seharusnya pasca lima bulan operasi besar, saya belum boleh melakukan aktivitas fisik berat seperti ini. Tapi saya surprise juga! Karena kalau dulu sebelum operasi jantung, saya terengah-engah berat dan berkeringat dingin yang banyak sambil merasakan “ngab” di dada sebelah kiri (catatan: Angina dlm istilah kedokteran) ketika mendaki tangga ini.
Kondisi jantung koroner sebenarnya berbahaya buat naik gunung. Karena aliran darah ke jantung tersumbat akan tetapi jantung dipaksa bekerja keras. Mungkin, saat itu dua tahun yang lalu tersebut ketika saya ke sini: bisa terserang jantung dan riskan! Tapi kali ini, terengah-engah yang dirasakan seperti rasa capek biasa saja...Jantung tetap berfungsi normal. Inilah uniknya. Saya dan Odimz (Ayah dan Anak) hari itu, sama-sama sedang menguji “kesehatan” diri masing-masing..... Dan Alhamdulilah, kami berhasil sampai ke puncak ! Tampaknya kami berdua telah diberikan kesehatan kembali..
Ketika kami duduk-duduk di warung di puncak Gunung Galunggung, sambil menikmati indomie kesukaan Odimz dan secangkir kopi hangat. Saya sempat khawatir juga. Bagaimana kalau tiba-tiba Odimz kumat “sakaw”nya, lalu lari-lari tanpa sadar tidak terkontrol seperti dulu dan melompat ke jurang? Atau, bagaimana ketika kami jalan di puncak saat wara-wiri lalu terpeleset ke tepi jurang ?
Uniknya, justru menjelang senja yang mulai gelap. Odimz malah mengajak saya menelusuri sisi kanan di bagian atas Puncak Galunggung itu untuk melihat tugu letusan yang baru dipasang di sana beberapa bulan yang lalu. Dia termenung sesaat sambil membaca tulisan di tugu tersebut, yang mungkin waktu di sekolahnya dulu, kedahsayatan letusan Gunung Galunggung ini sering dibahas. Lalu dia mengajak jalan-jalan ke sudut lain ketika melihat orang-orang yang sedang berkemah.