Setahun belakang ini, Bapak Saimi (82 tahun) yang tinggal di Desa Muara Dua, Lampung, itu sudah mulai terdengar sakit-sakitan. “Bapak sekarang sudah susah berjalan. Karena penyakit tua dan komplikasi,” demikian istri saya berulangkali mengingatkan, agar kita mencari waktu yang tepat agar bisa pulang kampung melihatnya. Bapak Saimi adalah mertua saya, yang usianya sudah sangat sepuh. Dia kini tidak lagi seperti dahulu pertamakali saya mengenalnya di tahun 1987, yang gagah dan energik. Ketika hampir di setiap pagi pergi ke kebun, hingga berpanas-panas dengan topinya yang khas, menyiangi rumput dan memupuk tanaman kopi kesayangannya.
Hari ini Jumat 24 Maret 2017, akhirnya kami menyempatkan diri di tengah jadwal kegiatan yang padat tak ada habis-habisnya tersebut, berangkat ke Sumatra. Jumat malam, saya tiba di rumahnya, setelah selama 3 jam berkendaraan dari Bandara Raden Inten II yang berada di Kota Bandar Lampung, Ibukota Propinsi menuju ke Desa Muara Dua, di Kabupaten Tanggamus di selatan. Rumah mertua ini tampak tetap sederhana seperti puluhan tahun lalu. Beberapa kayu kusen terlihat semakin menua dimakan rayap. Bapak Mertua kemudian terlihat kaget ketika saya tiba-tiba masuk ke kamarnya dan menyapa, sambil mencium tangannya “Assalamualikum, apa kabar Pak... ,” sapa saya.
“Eh, Rendra, baru tiba..? Kabarnya sakit jantung, apakah sudah sembuh? “ Itulah kalimat yang diucapkan pertama kali melihat saya, telah hampir 5 tahun tidak pernah bertemu secara langsung seperti ini. Dia kemudian terlihat antusias, banyak bertanya mengenai operasi besar jantung yang saya alami di RS Harkit, Jakarta, tanggal 20 Desember 2016 yang lalu. “Maaf ya Rendra, Bapak tidak bisa datang ke Rumah Sakit di Jakarta waktu itu,” katanya. “Kondisi Bapak sudah tidak memungkinkan lagi untuk berjalan jauh…”, ujarnya.
Pendengarannya tampak semakin banyak berkurang. Namun, dia tetap bersemangat ketika diajak berbincang tentang banyak hal. “Bapak mash sering mendengar Radio RRI untuk mengikuti perkembangan. Dan inilah satu-satunya hiburan bapak sekarang, “ katanya sambil menunjuk radio tua di atas kasurnya yang terlihat agak tipis. Biasanya radio itu dibunyikannya dengan volume yang keras, agar dapat didengarnya dengan baik. “Makanya, Bapak minta kamar tinggal di kamar ini saja di belakang. Agar yang lain tidak terganggu,” lanjutnya ketika saya bertanya tentang radio antik yang ada di atas kasurnya tersebut .
Uniiknya, dengan pendengarannya yang berkurang tersebut, dia tetap piawai menangkap gerak bibir lawan bicara. Hal yang membuat dia tetap bisa diajak ngobrol. “Kuping Bapak yang kanan sudah kurang bisa mendengar,” katanya menjelaskan. Topik obrolan kami yang disukainya tentang Agama Islam dan Pertanian. Dua dunia yang memang paling dekat dengan aktivitasnya di kampung ini sejak muda. Di Desa ini, mayoritas penduduk adalah masyarakat Suku Semendo, yang merantau ke sini sejak puluhan tahun lalu dari Sumatera Selatan, membuka sentra-sentra baru perkebunan Kopi, Lada dan Coklat. Kopi Robusta dari daerah Lampung bagian selatan ini merupakan salah satu yang terbaik di Propinsi Lampung. Dan hasilnya sudah sering diekspor ke luar negeri.
Saat berbincang santai dengan Mertua ini, saya lalu teringat dengan almarhun Ayah saya (Surya Sutrisno, 81 tahun), yang telah tutup usia pada tahun 2010 lalu. Kulit kedua orangtua yang saya hormati ini, terlihat sama. Tampak kurus, mulai mengering dan berkeriput. Wajahnya mereka pun mulai terlihat semakin renta dengan rambut putihnya yang dominan. Tanpa sadar, saya lalu mengelus-ngelus tangan Bapak Saimi ini. Karena saya menjadi terharu melihatnya!
Jauh di dalam hati, saya selalu berdoa agar dia terus diberi kurnia dengan umur panjang. Kesederhanaan kepribadiannya membuat saya kemudian teringat dengan sebuah puisi yang berjudul “Di Saat Daku TUA”. Puisi ini secara tepat mengungkapkan dan menggambarkan bagaimana sebenarnya perasaan hati orangtua yang sudah sepuh dan renta dalam memnghadapi interaksinya dengan keluarga. Setiap kali saya membaca kembali puisi ini, saya selalu tersentuh.. Puisi ini kebetulan saja saya temukan, dalam bentuk sebuah brosur berwarna merah bertuliskan aksara Mandarin, yang tergeletak begitu saja di lantai ketika saya mengunjungi sebuah objek wisata kuil. Saya tidak tahu, siapa penulis puisi indah yang menarik ini. Mungkin puisi ini terjemahan dari kitab sastra Cina kuno tempo dulu..? Brosur itu, kemudian saya simpan.
Pesan di dalam puisi itu benar!
Bahwa menjadi TUA merupakan keniscayaan bagi semua orang di belahan mana pun di dunia. Hanya, tinggal menunggu waktunya saja…. Tidak ada orang yang dapat mencegah dirinya agar tidak menjadi TUA, sekaya dan secerdas apapun dia. Dan memang, perubahan alamiah yang terjadi di dalam diri seorang manusia ketika menjadi TUA tersebut, seringkali membingungkan keluarganya, anak-anak, bahkan cucu-cucu terdekatnya. Kita sebagai seorang anak, seringkali merasa menjadi sulit karena harus menyesuaikan diri dengan sifat “baru” dari Ayah, Mertua. Ibu, Nenek dan Kakek kita yang pikun dan renta tersebut. “Orang tua itu jika sepuh, sifatnya akan seperti anak-anak. Tapi, ya itulah proses alami yang akan dialami oleh setiap manusia, ” kata seorang Psikolog pada suatu hari.
Yang penting, kita selalu berupaya belajar berkomunikasi dengan baik dan memahami para sesepuh kita tersebut sebisa-bisanya. Terkadang sulit juga! Saat diajak berbicara dengan mereka, maka harus teriak-teriak karena keterbatasan pendengarannya tersebut. Ketika diajak ngobrol tentang ke kinian, mereka malah seringkali menajadi tambah “khawatir” berlebihan dengan perkembangan jaman saat ini. Yang mereka senang, justru mengajak membahas kehidupan masa lalunya, yang seringkali justru malah membosankan kita yang hidup di jaman berbeda seperti sekarang ini. Cerita masa jayanya itu diulang-ulang terus. Mareka juga kemudian menjadi cepat tersinggung, termasuk untuk hal-hal yang sebenarnya sepele, seperti saat lupa ditelpon oleh anaknya yang tinggal di kota jauh. Oleh anak-anaknya yang tidak bisa pulang pada saat hari besar seperti Lebaran. Atau, lupa mengirim oleh-oleh baju koko kesukaannya pada saat ada orang yang satu kota dengan anaknya itu pulang. Tapi itulah pata sepuh itu….. Tapi para sesepuh ini, bagaimanapun adalah orang-orang tua yang sebenarnya tetap kita cintai dengan cara kita yang berbeda. Karena merekalah kita sekarang ini ada (cargo ergo sum?). Jadi, kita yang muda-muda ini yang seharusnya menyesuaikan diri dan lebih memahami mereka. Bukankah secara fisik dan brain yang kita miliki masih relatif baik, kuat dan berenergik? Bukan justru sebaliknya, malah meminta mereka yang sepuh itu agar menyesuaikan diri dengan kondisi kita saat ini…
Puisi indah di bawah ini, mudah-mudahan dapat mengungkapkan suasana batin dan hati para orangtua yang sepuh tersebut pada umumnya. Memang, kita hidup di jaman yang berbeda dengan mereka. Sehingga apa yang kita rasakan dan juga apa yang menjadi fokus perhatian kita bisa berbeda dengan mereka. Semoga puisi ini bisa menggugah kita, agar bisa lebih memperhatikan dan menyayangi orangtua kita yang sepu, yang semakin hari usianya pun semakin menuju Renta…