Selama seminggu, 24 sd 31 Maret 2017, saya pulang ke kampung istri di Sumatra. Di antara berbagai acara yang kami hadiri dengan agenda padat tersebut adalah, menghadiri acara pernikahan ponakan di Desa Tekad, Kecamatan Pulau Panggung, Kab Tanggamus, Lampung. Sebagaimana acara serupa di mana-mana, acara diawali dengan prosesi yang biasa-biasa saja. Di sana hadir “Tuan Kadi (petugas KUA)” yang atas nama negara, mengesahkan akad pernikahan muslim, dengan pasangan tersebut mengucapkan Ijab Kabul. Lalu diikuti oleh berbagai acara lain, seperti pemasangan cincin, pemberian perhiasan dan sebagainya.
Seperti biasa, usai Ijab Kabul lalu para undangan dipersilakan mencicipi hidangan khas Lampung yang tersedia, diiringi oleh Musik Live Dangdut “Amanda”, yang sound system-nya nyaris memekakkan telinga. Begitu kerasnya suara musik tersebut, membuat sebagian besar undangan tampak lebih banyak terdiam: entah karena menikmati musik gembira tersebut, atau melamun. Suasana yang kemudian terlihat bingar itu, memang tidak bisa lagi membuat hadirin meng-ngobrol satu sama lain, sebagaimana lazimnya kegiatan silaturahmi di acar resepsi.
Karena justru tidak bisa lagi ngobrol bebas dalam suasana seperti ini, maka saya pun tertarik memperhatikan tamu disekitar yang datang. Siapa saja tamu-tamu kehormatan dalam hajatan lumayan besar ini, yang hadir duduk di paling depan. Dan ini menarik perhatian saya, bahwa acara akad nikah pasangan dari desa ini mengundang tokoh-tokoh masyarakat formal maupun informal di lingkungan Desa tersebut. Tampak Pak Camat Pulau Panggung yang menyempatkan hadir mungkin karena ini hari libur. Lalu, tampak beberapa Kepala Pekon (Desa) yang ada di sekitar Desa Tekad. Mereka adalah pejabat desa yang duduk dikursi VIP berbentuk lingkaran dengan taplak meja putih. Sementara tamu lain duduk dikursi biasa, dibagian belakangan.
Lalu pembawa acara yang dengan santai berdiri di panggung, bolak balik memberi salam hormat terlebih dahulu ke para pimpinan Desa ini, sebelum memulai berbagai acara musiknya. Pemandangan yang mengingatkan saya dengan sebuah lagu dangdut nasional artis ibukota, yang penyanyinya berterima kasih dapat saweran dari Pak Lurah, Pak Polsek, dan terutama, dari Bang Mandor. Bang Mandor (pengontrol suatu Projek), tampaknya akhir-akhir ini menjadi tokoh masyarakat informal yang cukup berpengaruh di Desa. Hal ini sejalan dengan semakin banyaknya dana desa yang masuk ke kampung untuk menjalankan berbagai projek pembangunan infrastruktur. Bang Mandor, kemudian menjadi simbol baru di kalangan masyarakat Desa, sebagai orang yang dianggap berduit (orang “kaya baru”), namun seringkali tampak royal, terutama saat memberi saweran saat diundang menghadiri berbagai hajatan yang bermusik dangdut hingga larut malam itu, ke penyanyi. Bang Mandor biasanya ikut berjoget dengan para biduan yang bergoyang hot dan seringkali menggunakan rok mini, dan mengharapkan saweran (pemberian uang secara spontan) dari pengunjung yang bergoyang di panggung...
Memang dibandingkan dengan acara musik dangdut yang memasuki tengah malam. Maka acara akad nikah di pagi ini terlihat lebih kalem, serius, formal dan hikmat. Berbagai doa dan pengajian pun dikumandangkan menyelingi acara akad nikah tersebut. Setelah pasangan pengantin tersebut dinyatakan sah, maka acara berikutnya adalah mendengar berbagai pidato sambuta dan wejangan yang silih berganti diberikan oleh para pejabat Kepala Desa dan tokoh yang diundang tersebut. Awalnya, tampak tidak ada yang istimewa dari berbagai kata sambutan yang disampaikan yang terdengar berbasa-basi dan klise. Tapi tiba-tiba, saya tersentak dari kantuk ketika mendengar sambutan singkat dari seorang Lurah yang naik ke panggung memberi wejangan perkawinan yang “tidak biasa”. Kalimatnya terlihat cerdas dan bermakna dalam mewakili problema banyak orang dalam berumahtangga, dan “out of the box”.
“Ananda berdua hari ini telah dinyatakan sah sebagai suami-isteri. Mulai hari ini kalian telah membentuk rumah tangga yang mudah-mudahan “Sakinah Mawaddah Wa Rahmah”. Tapi jangan lupa, untuk selalu saling belajar dalam perjalanan rumah tangga kalian. Tidak mungkin di dalam suatu perkawinan semuanya akan berjalan mulus-mulus saja, tanpa ada satu pun rintangan dan perselisiha. Karena kalian berdua sebenarnya dua pribadi yang berbeda, sampai kapan pun. Kalian masing-masing juga dibesarkan serta berasal dari lingkungan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, saling belajarlah satu sama lain untuk selama-lamanya umur perkawinan kalian. Saya pun, yang sudah berkerut dan beruban menua seperti ini, masih tetap terus belajar dalam mengarungi bahtera rumah tangga saya. Sampai nanti nyawa masuk kubur, atau terjadinya perceraian” kata Pak Lurah Desa yang unik ini memulai wejangan menariknya tentang perkawinan.
“Manusia dalam hidupnya akan selalu mengalami perubahan berkali-kali, sesuai perkembangan usia. Mungkin saja di dalam setiap perubahan tersebut kalian akan berubah menjadi orang lain yang berbeda. Jadi, jangan ragu-ragu untuk belajar terus saling memahami karakter pasangan kalian yang sekarang dan yang nanti,” lanjutnya.
Saya tiba-riba, terpesona dengan sambutan Pak Lurah yang satu ini. Kalimatnya sederhana namun bermakna luas dan dalam. Kalau kalimat ini diucapkan oleh seorang Profesor atau intelektual yang berasal dari kota-kota besar, mungkin inimenjadi hal yang biasa-biasa saja. Tapi kali ini, diucapkan oleh seorang Kepala Pekon (Lurah Desa) dari suatu tempat yang sekitar 90 Kilometer dari Bandar Lampung, ibukota Propinsi Lampung.
Tambah menarik lagi, ketika Pak Lurah kemudian menguraikan berdasarkan versinya tentang hubungan antara Nafsu Seks daan Ijab Kabul. Kalimat yang dilontarkannya terhitung berani meski tidak vulgar. Ini menunjukkan bahwa Lurah ini sudah kenyang pengalaman dan asam garam dalam kehidupan rumah tangga. “Dalam suatu perkawinan dan ber-rumah tangga, istri itu memiliki tugas yang sangat mulia. Karena juga berfungsi menjaga nama dan martabat Suami di masyarakat. Seorang Laki-laki yang mempunyai istri, dia akan tercegah dari berpikir macam-macam saat berada di luar rumah,” lanjutnya. Maksud Pak Lurah mungkin, bahwa suatu perwakinan yang sah dan yang dibangun berdasarkan Cinta dan kasih sayang, akan berfungsi memanusiakan hubungan seks, sehingga terhindar dari mudharat suatu perbuatan perzinahan.
Di dalam Agama Islam, memang perzinahan (hubungan seks di luar nikah), dinyatakan sebagai suatu dosa besar yang tak termaafkan dan pelakuknya dihukum dengan sangat keras. Oleh karena itu, jika ketahuan maka akan dihukum rajam degan dilempari 100 batu, yang biasanya berakhir dengan kematian. Tapi, disinilah uniknya: setelah seorang Pria dan Wanita secara sah mengucapkan ijab Kabul yang hanya membutuhkan waktu beberapa menit itu. Maka hubungan seks antara pria dan wanita tersebut tidaak lagi HARAM, tapi Halal (dibolehkan), malah menjadi kewajibkan.
Suami-istri akan mendapatkan sanksi, jika tidak melakukan kewajiban tersebut secara baik dan teratur. Sebagaimana dikatakan juga dengan tegas oleh Tuan Kadi (Petugas KUA) saat menikahkan pasangan ini “ Bahwa jika selama 3 bulan berturut-turut, suami tidak memberi nafkah lahir dan batin (seks), maka istri berhak menggugat cerai..”
Kita sering mendengar dan juga mengamati, bahwa seiring dengan bertambahnya usia maka akan meningkat kejenuhan hubungan para suami-istri. Hubungan seks itu memang tidak lagi dilakukan dengan bersemangat. Malah menjadi hambatan dengan berbagai alasan. “Itulah sebabnya,” kata Pak Lurah melanjutkan sambutannya. “Perkawinan itu merupakan ladang amal. Dan amalnya bersifat jangka panjang yang tak ada habis-habisnya hingga usia tua kita. Karena selain kegiatan Sholat, maka aktivitas “hubungan suami-istri” akan terus menuai amal dalam jangka panjang hingga usia perkawinan tersebut berakhir, karena perceraian atau kematiaan, “ ujarnya. Jadi, belajarlah terus-menerus untuk memelihara hubungan yang selalu harmonis dengan pasangan, baik dalam hal lahir maupun batin, lanjutnya menutup kata sambutannya.
Wejangan ini disampaikan di depan orang ramai dengan pengeras suara dari atas panggung. Mungkin tujuannya juga agar diperhatikan oleeh semua tamu hadir. Karena sangat mungkin, beberapa di antara tamu undangan tersebut, mengalami berbagai permasalahan dalam perjalanan perkawinan masing-masing, baik pasangan tua maupun muda. Cukup banyak Bapak-bapak dan Ibu-Ibu (di Desa maupun di Kota), yang karena usia perkwaninannya sudah lebih dari 20 tahun, bahkan sudah mendapat status Perkawinan Perak. Dengan usia yang udah menginjak kepala 50, menganggap hubungan seks suami-istri tidak lagi penting. Fokus mereka kemudian habis untuk mengurus anak-anak dan mencari nafkah. Mungkin juga kondisi badan yang sudah mulai gendut dan menggelambir, jarang berolahraga dan sering sakit-sakitan, sehingga seks justru menjadi persoalan. Padahal, sebagaimana wejangan Pak Lurah yang cerdas dan berwawasan luas ini, “Hubungan seks suami istri itu adalah ladang Amal yang diberikan Allah dalam jangka waktu yang panjang yang tak habis-habisnya. Amal ini hanya berakhir jika salah satu pasangan dipisahkan oleh maut, atau bercerai..”
Saya kemudian termenung di kursi saya dari suatu sudut di barisan paling belakang. Ya, hari ini, siang ini saya seperti mendapat pencerahan dan “belajar sesuatu” dengan menghadiri acara akad nikah keponakan ini. Terutama, karena wejangan bermutu dan menarimdari seorang Lurah, dari pelosok sebuah kampung di Propinsi Lampung, yang cerdas, bermakna bagi banyak orang, dan menggugah.....
==========================================================================================================================================
(Ditulis oleh: Rendra Tris Surya, Selasa malam 28 Maret 2017 di tengah kamar rumah mertua di Desa Muaradua, Kecamatan Pulau Panggung, LAMPUNG, ...Dengan cahaya lampu yang agak redup..)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H