Panas terik yang membakar jalan ramai itu, seperti diacuhkan banyak orang yang lalu lalang. “Kota Bambu Selatan”, nama jalan di Kelurahan Kota Bambu, Kecamatan Slipi, Jakarta Barat itu, tampak bagai miniatur masyarakat Indonesia. Jalan pendek yang hanya sekitar 400 meter itu, menjadi terkenal di kalangan pasien yang datang dari berbagai daerah. Karena jalan ini membelah dua rumah sakit besar di Jakarta, yaitu Rumah Sakit Jantung “Harapan Kita” (sebagai Pusat Jantung Nasional) dan Rumah Sakit Kanker Nasional “Darmais”.
Gang-gang kecil di sisi jalan ini selalu dipenuhi oleh pasien dan keluarganya. Operasi penyakit jantung dan kanker, memang biasanya membutuhkan waktu pengobatan yang agak panjang. Paling tidak, membutuhkan waktu satu bulan untuk sekedar pulih. Ini sebabnya, rumah-rumah kumuh penduduk di berbagai gang kecil tersebut dalam beberapa tahun belakang, berubah fungsi, menjadi rumah “Kost-kostan Keluarga Pasien”. Bahkan menjadi enclave bagi para pasien dan keluarganya yang merasa tidak nyaman tinggal terlalu lama di hotel, yang sebenarnya cukup banyak di sekitar rumah sakit ini.
Jika biasanya, tempat kost didominasi oleh mahasiswa yang sedang kuliah, atau karyawan perusahaan. Di sini, justru oleh pasien-pasien yang tampak berambut gundul (karena banyak chemothery yang bagi penderita Kanker). Atau, pasien yang dada dan kakinya berbekas sayatan panjang (karena baru seminggu selesai operasi jantung).
Saya dan istri tinggal selama lebih dari satu bulan di salah satu rumah kosan di sini, yaitu di Gang Tali-9. “Ini rumah kostan baru dibangun, yang saya rancang khusus buat kost-kostan. Tidak seperti rumah kostan lain, yang dulunya rumah keluarga yang diubah menjadi kostan,” kata seorang bapak tua yang saya ajak ngobrol, saat duduk-duduk sore di beranda rumah kost-an ini. Ternyata, dia adalah mertua sang pemilik rumah kostan, yang kebetulan juga seorang arsitek.
Dan sebagaimana layaknya orang yang tinggal serumah, meskipun kami berasal dari berbagai kota yang hanya memiliki otorisasi penuh seluas satu kamar saja. Maka bertegur sapa dengan penghuni lain (termasuk jika hanya berbasa-basi, sekalipun) merupakan hal yang lazim. Namun, entah mengapa, sebagian penghuni lantai dua yang terdiri dari 6 kamar itu, selalu memasang wajah “masem” setiap kali berpapasan. Yang akhirnya menjadi pertanyaan besar di antara penghuni-penghuni lain.
Sebaliknya, ada chemistry yang demikian baik yang terjadi, membuat saya betah nyambung ngobrol, dengan mereka yang kost di lantai-1. Bahkan, ngobrol di malam hari kala mengusir waktu panjang itu jadi terasa menyenangkan. Saya mengenal seorang anak muda yang energik dan cerdas, misalnya, yang bernama Rendy Reva Kondon. Orang Toraja (Sulsel) kelahiran Papua yang ramah dan enak diajak ngobrol tentang apa saja ini suka bercanda. “Saya insinyur bidang Pertambangan yang terpaksa berhenti bekerja, karena harus merawat Mama yang terkena Kanker di sini,” katanya saat memperkenalkan diri di hari pertama. Dia sudah 3 bulan di kost-an ini.
Di sana ada juga seorang wanita muda bernama Sulfa Hatala, Ibu Guru SD dari Kabupaten Fak-Fak, Papua, yang kocak saat ngobrol santai dengan aksen Papua-nya yang khas. Mereka membuat waktu-waktu istirahat menjadi penuh canda, humor dan bahkan terkesan kekeluargaan. Ada juga seorang pasien jantung yang juga seorang dosen, bergelar Doktor dari Universitas Hasanudin, Ujung Pandang, yang sekali-kali ikut nimbrung melucu juga.
Akan tetapi, berbeda bak langit dan bumi, dengan para penghuni di lantai-2. Untung ada satu penghuni latnai-2 yang berbeda. Saya berkomunikasi dan mengobrol dengan wanita muda bernama Putri dan Mamanya yang terkena sakit kanker itu. Mereka berasal dari Kota Agung, Lampung Selatan (Tanggamus). Ibu Ida ini terlihat tabah, tangguh dan sabar dengan penyakitnya. Setiap pagi dia berjalan kaki ke Rumah Sakit Kanker “Darmais” menemui dokter dan berobat Chemotherapy, yang dilakoninya selama berbulan-bulan.
Penguni lantai-2 lain yang dihuni oleh dokter-dokter muda tersebut, tampak seperti tak berniat bertegur sapasekalipun! Fenomena sosial yang kemudian menjadi aneh dan terlihat janggal. Saya penasaran, sekali-kali saya mencoba memulai menyapa mereka. Namun, mereka tampak acuh-tak-acuh saja. Memasang wajah “masem”, alias tidak ramah. Bukan hanya ke saya, tapi rupanya juga ke semua penghuni rumah kost-an yang lain. Entah apa yang ada dalam pikirannya setiap hari, sehingga tersenyum saja menjadi beban luar biasa...!
Sejak hari pertama kami di kost-an ini, sampai 30 hari kemudian, bahkan tidak bertegur sapa dengan dokter muda yang kamarnya bersebelahan. Saya sampai heran bukan kepalang, dengan fenomena janggal seperti ini. Kok ada orang yang begitu “angkuh” dan berprofesi sebagai dokter lagi? Lalu, terpikir oleh saya: apakah mereka terkena gejala “psikopat”, karena terlihat anti-sosial tersebut ? Tapi, rasanya tidak mungkin!
Atau, mungkin karena terlalu lama berada di ruang operasi yang hampir setiap hari (sebagai dokter muda), menjadi asisten membedah orang yang sedang tak sadarkan diri? Sehingga merasa tidak perlu beramah-ramah dengan orang "hidup" yang tak dikenal? Uniknya, kalau sesama mereka saling bertemu di salah satu kamar kost misalnya, saat membicarakan materi/tugas kedokteran yang sedang dipelajari, mereka terlihat ramah dan ceria sebagaimana lazimnya....!
Semakin terlihat “unik” ketika ada tulisan tertempel di dispenser air minumi di depan kamar mereka: Hanya untuk kamar 22 dan 23! Wow, begitu invidualistisnya-kah orang-orang kota besar seperti Jakarta ini, sampai air minum saja tidak mau berbagi? Padahal, berapa sih harga air minum aqua dispenser tersebut? Apalagi mereka adalah dokter, pastilah secara ekonomi tidak miskin-miskin amat.
“Bapak merasakan tidak, kalau penghuni di lantai-2 itu ‘agak aneh’? ” tanya Rendy pada suatu hari. Kalimat ini yang membuat saya penasaran dan mengamati perilaku mereka, yang akhirnya menulis catatan artikel ini. Belum pernah selama hidup saya, bertemu dengan orang yang satu kost (satu tempat yang berdekatan) yang berkarakter begitu “cuek". Bahkan, biasanya dokter-dokter yang saya temui dan kenal, begitu ramah serta enak diajak berkomunikasi. Apa lagi sekarang sedang populer semboyan di kalangan para dokter, yaitu “Mengobati dan Melayani Pasien dengan HATI..”.
Lalu, fenomena para dokter muda berwajah masem itu fenomena apa, ya? Mereka terlihat menjadi paradoks dengan para penghuni di lantai-1 dan lantai-3. Untunglah, ada beberapa penghuni di lantai-3 yang lebih natural. Dokter-dokter yang tampak lebih berusia matang ini, lebih santun ketika berpapasan dengan banyak orang. Bahkan sering menyapa duluan dengan kalimat manis seperti ini “Permisi..selamat malam…!” tegur mereka. Setiap kali melewati pagar besi pintu masuk, melewati tempat kami biasanya kongko-kongko. Atau, ketika berpapasan dengan yang sedang makan di ruang tamu di lantai-2.
Melalui artikel sederhana ini, saya berharap fenomena beberapa dokter muda berwajah "masem" tersebut hanya terjadi di sini saja. Karena mungkin, para dokter muda tersebut dulunya bukan “anak gaul” hehe.... Atau, masih kurang memahami apa yang sekarang populer dengan istilah “Inter-Personal Communication buat Para Medis dan Pasien”. Bagaimana pun, pasien adalah partner dalam proses penyembuhan suatu penyakit... Bukankah, begitu..?
==========================================
(By Rendra Tris Surya, akhir Januari 2017 dari Kamar No 24 di Jalan Kota Bambu Selatan, Jakarta Barat)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H