Beberapa menit sebelum mobil ambulan berangkat, tiba-tiba saya merasa mual yang luar biasa. Saya muntah-muntah di atas mobil ambulan. “Apakah Bapak mengalami benturan di kepala?” tanya petugas ambulan, yang kemudian memberikan minyak angin yang dibawanya secara spontan.
Mobil ambulan kemudian membawa kami ke rumah sakit terdekat di sekitar lokasi kecelakan (Karawang Barat, Cipularang), yaitu Rumah Sakit Rosela. Setelah hampir dua jam saya dirawat di ruang darurat, kemudian dokter jaga mengatakan “Bapak harus diopname. Karena mengalami benturan di kepala dan muntah-muntah.” Akhirnya perjalanan menuju ke Jakarta tertahan, karena berbelok ke sini. Saya dan istri kemudian “menginap” di rumah sakit ini selama empat hari. “Hasil rontgen kepala, bagus..Tidak ada apa-apa!” kata dokter jaga. “Coba besok kita periksa dengan CT Scanning,” lanjutnya.
Saya senang, ternyata benturan di kepala saya tidak begitu fatal. Secara fisik tampak luka benjol dan memar saja. Akan tetapi, hasil CT Scanning di RS Cito, Karawang yang menjadi rujukan, ternyata menyatakan lain. “Semua gambar ini menunjukkan tidak ada luka serius di kepala. Hanya sedikit pendaharaan di bagian belakang seperti tampak di gambar ini,” kata dokter Imam, spesialis syaraf di Rumah Sakit tersebut.
“Tapi, tidak usah khawatir. Tidak perlu operasi. Hanya berobat jalan saja sekitar dua minggu hingga satu bulan, luka itu akan sembuh kok,” katanya menghibur. Tapi sebulan kemudian, saat berkonsultasi dengan dokter bedah jantung di RS Harapan Kita di Jakarta, ceritanya lain. “Orang normal saja kalau sedang operasi jantung By-pass, ada resiko stroke ketika sumbatan dilepas. Apalagi Bapak yang mengalami pendarahan di otak. Operasi By-Pass harus kita tunda sampai pendarahan itu betul-betul sembuh,” demikian saran dokter jantung tersebut. Wah, urusan menjadi panjang nih, gara-gara kecelakaan ini.
Ketika saya tidur-tiduran di ruang opname, tiba-tiba datang seorang anak muda yang terlihat berpenampilan rapi dan sopan. “Apakah Bapak yang bernama Rendra Trisyanto Surya, yang mengalami kecelakaan di Kilometer 53 ? ” tanyanya. Saya dari PT Asuransi Jasa Raharja, untuk memastikan identitas dan kondisi korban, lanjutnya.
Setelah dia melihat kondisi luka saya di wajah, kemudian dia mencatat sesuatu di kertas yang dibawanya. Besok harinya dia datang lagi dengan membawa beberapa dokumen. “Ini dokumen pertanggungan biaya pengobatan Bapak, yaitu maksimal Rp 10 juta,” katanya. Saya baru tahu nih, bahwa setiap penumpang yang menaiki kenderaan umum seperti bus umum, taksi, mobil travel, pesawat, kapal dan sejenisnya, akan otomatis mendapatkan tanggungan biaya jika mengalami kecelakaan. Karena dalam tikey tersebut sudah termasuk premi kecelakaan sekali jalan.
Lalu dia menjelaskan dengan sangat terbuka hak-hak korban kecelakaan tersebut sebagaimana tertera di dalam dokumen yang dibawanya. “Biaya pengobatan itu termasuk kamar, obat-obatan, scanning dan lain-lain apapun yang dibutuhkan. Tapi kalau lebih dari Rp 10 juta, Bapak yang harus menaggung sendiri,” jelasnya.
Oh, baru saya sadar bahwa bantuan yang sangat ditunggu ini, ternyata ada di setiap penumpang kenderaan umum. Di sinilah bedanya jika kita mengendarai mobil pribadi, atau bahkan taksi Uber/Grab. Pasti saat mengalami kecelakaan tidak ada asuransi kecelakaan yang otomatis seperti ini.
Karena sedang membicarakan asuransi, saya kemudian teringat ada beberapa asuransi swasta yang selama ini saya ikuti secara tidak sengaja. Yang kemudian tidak pernah saya lihat-lihat kembali dokumennya, karena preminya cukup murah hanya sekitar Rp 60.000 seja setiap bulan. “Coba hubungi PT Asuransi Zurich,” kata saya kepada istri yang mendampingi. Awalnya saya merasa skeptis (ragu) bahwa orang-orang asuransi akan tanggap, kalau sudah urusan klaim.
Ternyata perkiraan saya salah!