Pagi itu, saya diberi baju adat berupa jas berwarna hitam dengan diberi hiasan benang emas di sekeliling dada. Dalam adat Aceh, warna hitam itu menunjukkan kewibawaan dan kebesaraan. Jadi, bila seseorang mengenakkan baju dan celana hitam seperti ini, berarti orang tersebut sedang memakai pakaian kebesarannya karena ada acara penting yang dihadirinya.
“Kamu khan nanti berada dalam posisi yang sangat dekat dengan Pak Harto, yaitu saat beliau turun dari pesawat dan berjalan menuju ke panggung upacara Peusijuek. Jadi, kamu harus menggunakan pakaian adat yang bagus!” begitu kata salah seorang panitia yang ditugaskan mengurus pakaian adat saya ini, ketika saya tanya kenapa harus menggunakan pakaian Adat yang merepotkan begini.
Sebagaimana halnya juga masyarakat Indonesia di daerah lain. Maka masyarakat Aceh sebenarnya sejak dahulu juga merupakan masyarakat yang terbuka dan dipengaruhi oleh berbagai unur budaya lain. Sejak ratusan tahun, sudah banyak berdatangan para pendatang dari India, Arab, Turki dan Cina, yang berdagang dan berinteraksi dengan masyarakat Kerajaan Aceh ini. Hal ini yang menyebabkan terjadilah secara alamiah: apa yang disebut dengan “akulturasi budaya”. Hasil proses akulturasi tersebut tampak hingga kini. Misalnya, baju adat Pria Aceh yang menggunakan lengan panjang dan kerah itu, mirip baju tradisional Cina. Meskipun, kemudian dimodifikasi sedemikian rupa dengan memberikan sulaman emas di sana-sini. Warna warni budaya dalam pakaian adat ini, tentu saja kemudian menjadi khas dan unik! Saya pun merasakan sensasi tersendiri saat menggunakan baju adat ini, yang di Aceh disebut dengan Baje Meukasah. Ada aura tertentu yang seolah-olah merasuk dan terpancar dalam kebesaraan adat saat baju ini dikenakkan.
Tapi, justru gara-gara menggunakan senjata tajam inilah, saya hampir batal bertugas saat dilakukan Gladi Resik. Rupanya sudah menjadi Standar Operating Procedure (SOP) dari Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) dalam setiap kunjungan Presiden. Bahwa di wilayah ring satu ini tidak boleh ada senjata apa pun. Untunglah, setelah anggota Paspamres yang berwajah serius dan tampak “galak” itu, mendapat penjelasan dari panitia. Akhirnya, dibolehkan juga menggunakan Rencong pada baju adat tersebut. Tetapi dengan catatan, “Kamu tidak boleh menyentuh Rencong ini ketika Pak Harto lewat nanti. Pandangan matamu nanti harus tegak ke depan saja. Jangan lirik-lirik ke sana kemari dan banyak bergerak-gerak,” demikian instruksi mereka. Yang membuat saya pun semakin deg-degan saja mengikuti momen penting ini.
Topi besar yang saya gunakan dalam pakaian adat ini, juga tidak luput dari pemeriksaan. Sampai di bolak-balik sedemikian rupa oleh Paspampres, dan diselidiki hingga dalam-dalamnya secara detail. Topi adat pria ini sebenarnya berfungsi seperti kopiah sebagaimana banyak dipergunakan oleh berbagai kalangan masyarakat muslim di mana pun. Karena masyarakat Aceh kental dengan nilai-nilai Islam yang dianutnya, maka dalam pakaian adat, wajib menggunakan kopiah. Kopiah ini berupa topi yang agak besar memanjang ke atas dengan bentuk bulat meniru kopiah orang-orang Turki. Kopiah khas Aceh ini disebut dengan Kupiah Meuketop. Bagian atas kopiah ini dililiti Tangkulo (Tompok) yang terbuat dari kain tenunan benang emas sehingga kelihatan megah....
***
Saya tiba-tiba kaget mendengar suara Ayah dari kamar, “Ayo Ton..! Siap-siap, lima menit lagi naik mobil hijau landrover plat hitam. Segera berangkat ke Bandara ikut rombongan. Kamu sudah ditunggu di sana!" katanya dengan suara berat dan tegas, sebagaimana biasanya suara seorang komandan militer.
Di Bandara Malikussaleh saya lihat sudah penuh dengan petugas dan panitia. Tampak beberapa orang asing dan juga berbagai awak media dari dalam serta luar negeri juga hadir di sana. Sebagaimana diketahui, pada masa jaya-jayanya, hampir 30% tenaga kerja di PT LNG ARUN ini adalah orang asing. Kompleks perumahan karyawan perusahaan pertambangan gas cair ini di kompleks Batu Phat itu, akhirnya lebih mirip kota kecil di Amerika dengan segala kemewahan dan sajian makanan/minuman yang tidak lazim bagi orang Aceh. Suatu “enclave” di tengah kekumuhan masyarakat Lhoksumawe Aceh pada umumnya pada waktu itu. (Mungkin ini salah satu faktor pemicu munculnya “Gerakan Aceh Merdeka/GAM” ?)
Pak Harto Di Ruang “Peusejuk”
Di Bandara, saya melihat beberapa pesawat yang membawa para Menteri bolak-balik mendarat terlebih dahulu dari Bandara Polonia, Medan. Pukul 10:00, baru kemudian tampak pesawat Kepresidenan yang ditumpangi Pak Harto dari kejauhan siap-siap mendarat. Saya berdiri di pintu pagar masuk menuju Panggung Peusejuk. Pesawat Kepresidenan yang terlihat berwibaea tersebut, kemudian mendarat hanya beberapa meter dari tempat saya berdiri. Ketika perlahan-lahan pintu pesawat terbuka, muncul wajah yang sangat terkenal itu!
Seperti biasa, wajah tenang khas Pak Harto tersebut kemudian menebar senyum spontan ke berbagai arah. Dia kemudian melambaikan tangannya menyapa semua orang yang dilaluinya. Kesan pertama saya: dia tidak seperti Diktator seperti kata kebanyakkan orang! Justru beliau saat itu, tampak bersikap sangat ke-Bapak-an! Seakan-akan semua orang Indonesia yang berada di mana pun, ingin disapanya ....