Beberapa waktu yang lalu, saya ke Aceh. Sebelumnya rombongan kami telah beberapa hari berada di Kota Meulaboh (Ibu Kota Kabupaten Aceh Barat), melihat perusahaan Tambang Batubara yang dikelola oleh Iskandar AB (orang asli Aceh, yang kini menjadi adik ipar saya). Kemudian perjalanan panjang ini dilanjutkan ke Ibu Kota Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam, yaitu Banda Aceh. Selanjutnya pulang melalui ke Kota Medan, dengan mampir sejenak di kota minyak dan gas Aceh yang terkenal itu, yaitu Lhokseumawe. Di sini kami beristirahat sejenak dari perjalanan yang lumayan melelahkan itu. Perjalanan ini jadinya seperti mengombinasikan urusan bisnis dan juga bernostalgia. Karena periode 1972-1981, saya sekeluarga pernah tinggal cukup lama di beberapa kota kabupaten di Provinsi Aceh, mengikuti tugas orangtua, termasuk ke Lhokseumawe ini.
“Is, kita mampir sebentar ke Jalan Iskandarmuda No 7...” kata saya ke rombongan, tiba-tiba. "OK, tapi jangan lama-lama ya...," jawab Iskandar AB. Akhirnya mobil yang kami tumpangi pun berbelok arah sejenak masuk ke kota Lhokseumawe. Mampir ke rumah dinas Danrem-011 yang terlihat masih apik. Rumah gedung berukuran sedang itu tampak terawat baik. Tentu saja, suasana di sekeliling rumah ini sudah banyak berubah, seiring dengan perjalanan waktu yang demikian panjang...dan selera dari penghuni barunya.
Saya kemudian tertegun lama di depan rumah kenangan ini!
Di sinilah tahun 1978-1980, kami sekeluarga mengikuti tugas Ayah (Kolonel Inf Surya Sutrisno), yang saat itu dipercaya menjadi Danrem 011/Lilawangsa dan bermarkas di Kota Lhokseumawe, mendiami rumah dinas ini selama dua tahun. Di kota ini, ayah meneruskan kebiasaan dan “hobinya” yang selalu dengan semangat dan aktif menggalang anak-anak muda setempat, sebagai bagian dari fungsi pembinaan teritorial tugasnya. Anak-anak muda setempat diwadahi ke dalam berbagai kegiatan seni dan olahraga. “Agar mereka tidak tersesat ke pergaulan bebas, dan tidak mudah pula termakan ideologi separatisme,” demikian katanya pada suatu hari. Memang pada waktu itu Aceh masih hangat-hangatnya dengan gerakan separatisme. Bahkan, Ayah sampai memprakarsai diadakannya kegiatan Pekan Olahraga Daerah (PORDA) setiap tahunnya selama dua minggu, untuk mempersatukan dan melakukan silahturahmi serta mengkomunikasikan seluruh elemen masyarakat dari berbagai kecamatan dari beberapa kabupaten wilayah teritorial Korem 011 ini, untuk mengurangi tensi.
Perusahaan PT LNG ARUN, yang merupakan salah satu perusahaan pertambangan gas cair terbesar di Indonesia, yang berlokasi di kawasan Aceh Utara ini, selalu ikut mensponsori terselenggaranya berbagai kegiatan kemasyarakatan seperti ini. Saya, yang waktu itu masih remaja, “dipaksa” pula oleh ayah agar selalu ikut aktif, mengikuti hampir semua kegiatan remaja di kota Lhokseumawe. "Kamu harus menjadi contoh!"katanya berulangkali. Awalnya, semua ini saya lakukan dengan perasaan terpaksa (tapi, karena ini perintah bos, tidak boleh dibantah, bukan? Hehe...) Akan tetapi, lama kelamaan, ternyata asyik juga. Selain memiliki wadah untuk mencari dan mengasah bakat, melaklukan aktualisasi diri, juga mendapat banyak teman...dan pergaulan menjadi luas...
Di antara semua kegiatan tersebut, yang paling menarik buat saya (dan sampai kini tidak terlupakan), adalah acara pada tanggal 19 September 1978 ini. Ketika saya diminta ikut menjadi bagian dari kepanitiaan penyambutan kedatangan Presiden Soeharto, yang akan meresmikan PT LNG ARUN. Sungguh, tidak terbayang, bisa bakalan ikut-ikutan acara seremonial yang amat serius dan dijaga sangat ketat oleh aparat TNI dan Paspampres tersebut, mengingat Aceh waktu itu memang statusnya belum aman-aman banget...
Tidak jelas juga: kenapa saya yang dipilih menjadi salah seorang remaja penyambut tamu agung ini, dengan kewajiban memakai pakaian adat Pria Aceh, yang membuat saya tampak gagah tersebut. Sebenarnya saya bukan orang Aceh asli, tapi sudah cukup lama tinggal di sini. Dan, begitulah faktanya! Apakah karena postur dan badan saya yang cukup tinggi waktu itu? Atau, karena saya terlihat aktif mengkuti berbagai event olahraga dan seni di kota ini? Atau, karena merupakan salah satu Pemain Teladan dalam salah satu PORDA yang pernah diadakan di kota ini? Atau, karena ada alasan lain?.. I dont know.. Yang jelas, sepanjang malam menjelang hari upacara besar itu, saya sangat gelisah dan sulit tidur... Siapa yang pada waktu itu tidak menjadi deg-degan bila akan bertemu dengan sosok Jenderal Humanis yang murah senyum, yang bernama Soeharto ini?
Mengenakan Pakaian Adat Aceh
Pagi subuh, saya dibangunkan oleh ajudan.
Dan segera menyiapkan pakaian adat yang akan digunakan. Sudah menjadi tradisi dalam masyarakat Aceh, bahwa untuk menyambut tamu (apalagi yang sangat dihormati seperti seorang Presiden), maka harus ada upacara adat. Bahkan untuk seorang presiden, upacara tersebut lebih lengkap dengan diiringi berbagai atraksi kesenian khas Aceh. Acara kesenian tersebut dilaksanakan sesaat beliau tiba di Bandara Malikussaleh, Lhokseumawe ini, dalam bentuk tari-tarian Rampak Gendang, Seudati Inong dan sebagainya.