Uniknya, sekitar setengah jam menjelang mendarat di Bandara Cut Nyak Dhien. Tampak pemandangan yang justru sangat kontras. Hutan lebat Aceh yang mempesona itu, berubah warna menjadi tanah datar luas kecoklatan yang menandakan tempat dibukanya lahan-lahan perkebunan besar. Petak-petaknya memang dari udara memberi mozaik tersendiri. Sejak dahulu, memang kawasan di sekitar Meulaboh ini sudah terkenal sebagai pusat perkebunan Kelapa Sawit.
Saya hanya bisa berharap: semoga Pemda Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat ini dapat menyeimbangkan dengan baik tuntutan rakyat akan perkembangan ekonomi dan kepentingan bisnis para investor dari dalam dan luar negeri yang mulai berdatangan tersebut, terhadap pembukaan lahan besar-besaran Perkebunan Kelapa Sawit, dan akhir-akhir ini juga Tambang Batubara. Agar tidak berdampak serius dengan pelestarian hutan-hutan Aceh jangka panjang yang merupakan salah satu paru-paru dunia tersebut.
Di Bandara Cut Nyak Dhien, yang berlokasi di Kabupaten Nagan Raya sebagai hasil pemekaran Kabupaten Aceh Barat itu. Zulfikar, staf Perusahaan dimana Iskandar AB bekerja, tampak sudah menunggu. Keluar dari pesawat, saya kemudian sekilas memandang sekeliling bandara kecil ini dan mencoba menghirup udaranya sebagaimana dulu. Tiba-tiba memori saya mengingatkan kembali era tahun 1977, ketika masih remaja kelas satu SMA Negeri I Meulaboh. Bandara ini waktu itu belum sesibuk sekarang, bahkan lebih sering terbengkalai karena jarang dipergunakan.
Suatu hari, saya bersama rombongan teman SMA jalan-jalan bermotor ria ke sekitar Nagan ini mencari Durian Aceh yang khas itu, yang akhirnya sampai ke lapangan terbang ini. Melihat aspal bandara yang begitu mulus sebagaimana umumnya bandara, membuat beberapa motor rombongan spontan masuk ke bandara yang tak berpagar dan tampak tidak ada penjaga. Setelah mencoba beberapa kali putaran, motor tersebut mulai kebut-kebutan dengan ceria di aspal bandara yang lurus mulus dan panjang, sebagaimana anak-anak remaja yang lugu dan polos. Seolah-olah aspal landasan yang waktu itu yang sering digunakan sapi buat menghangatkan badan itu, seperti sirkuit balap punya sendiri. Angin sepoi-sepoi, membuat acara kebut-kebuatan itu pun semakin seru. Hingga akhirnya, tiba-tiba ada pesawat kecil yang mau mendarat (mungkin pesawat dari perusahaan kelapa sawit yang memang banyak disekitar kawasan Seunagan ini), tidak jadi turun. Pesawat tersebut naik kembali dengan cepat memutar karena hampir menyentuh motor-motor kami.
“Hei..! Kalian lagi ngapain disana....? “suara keras seorang penjaga tua dari kejauhan terdengar kencang mengagetkan.
Dia dengan setengah berlari, tergesa-gesa mendatangi kami, dan marah-marah! Tentu saja, anak-anak SMA yang di era tahun itu jarang melihat pesawat: terdiam kaget! Semua kegiatan bermotor berhenti total. Untung salah seorang di antara kami, kemudian cepat-cepat meminta maaf, karena mengira bandara ini sudah tidak berfungsi lagi. Dia kemudian membisikkan sesuatu ke penjaga tentara yang berpangkat sersan tersebut. Pak Sersan itu kemudian tampak berubah, menjadi agak ramah. Lalu mendatangi saya yang gemetaran terbengong-begong menungu di ujung gapura. “Dik, ini Bandara ya,” katanya. Mungkin karena melihat kami masih berseragam sekolah. Ini bukan jalan raya untuk dipakai kebut-kebutan, lanjutnya.“Ya, sudah! Kalian sekarang kembali pulang semua!” katanya tegas menghimbau.
Lalu dengan keringat dingin dan wajah pucat, apalagi hampir disambar pesawat kecil Twin Otter itu. Kami pun pamit dan tergesa-gesa melanjutkan perjalanan kembali ke kota Meulaboh, yang jaraknya sekitar 40 Kilometer dari bandara ini. Dari jauh saya melihat pesawat kecil twin otter itu pun akhirnya berhasil mulus mendarat.
[caption caption="(Keterangan Photo: Peta kota Meulaboh yang terdiri dari 12 Kecamatan itu, berlokasi di pinggir Samudera HIndia. Membuat kota ini memiliki pemandangan alam laut yang indah dan khas. / Photo by: Rendra Tris Surya) "]
“Mas Ton, ayo bangun! Kita makan dulu di warung. Katanya kangen dengan masalakan 'Plik U' dan 'Gulai Kari Ikan Tongkol' Aceh,” tiba-tiba Iskandar, membangunkan saya yang tertidur pulas di dalam mobil ber AC-nya itu. Udara kawasan Seunagan yang panas dan gerah, membuat AC mobil menjadi tempat yang paling menyejukkan buat beristirahat.
Kami beristirahat sejenak di salah satu warung makan di sekitar Seunagan. “Meulaboh sekarang sudah ramai, mas...” katanya membuka obrolan sambil menikmati makan siang. Banyak orang-orang Jakarta melakukan investasi di sini. Membuka perkebunan kelapa sawit berkualitas ekspor, membuka tambang Batu Bara dan lain-lain. Pembangkit PLTU dan pelabuhan besar juga sedang dibangun, katanya lebih lanjut.
Tidak lama kemudian, mobil yang kami tumpangi memasuki kota Meulaboh. Tampak suasana kota berpenduduk 45.000 orang ini berbeda dengan 35 tahun lalu. Terkesan lebih ramai. Namun struktur kotanya terlihat tidak banyak berubah. Pusat kota tetap di sepanjang Jalan Teuku Umar yang merupakan jalan protokol yang membelah kota dengan Simpang Lima sebagai jangkar muara akhirnya sebelum berputar kee lima arah.