Bulan Agustus 2015 ini merupakan bulan tersibuk bagi saya. Empat kali harus bolak-balik ke Bandara Husein Bandung karena terbang ke berbagai kota untuk berbagai urusan, yang kemudian membuat saya “mengamati” kegiatan per-taksian di sekitar bandara ini.
“Taksi perusahaan lain hanya boleh mengantar penumpang,” kata seorang supir taksi resmi Bandara Husein yang saya tumpangi ketika menuju pulang ke Cimahi. Di hari lain, ketika kembali dari Batam ke Bandung pukul 15:00, tampak kerumunan beberapa supir taksi gelap menunggu menawarkan jasanya di pintu keluar bandara ini. “Kalau ke Cimahi Rp 150.000, pak!” jawab salah seorang, yang ditanya mengenai tarif. Lalu saya terus berjalan mencari taksi lain yang menggunakan argo. Saya kaget! Di bandara internasional ini ternyata tidak ada satu taksi lain pun yang tampak di sekitar pintu keluar, kecuali sekumpulan taksi bercat kombinasi biru tua dan biru muda parkir berjejer rapi di sisi kiri depan area pintu. Tampak beberapa taksi perusahaan lain hanya hilir-mudik mengantar dan menurunkan penumpang, lalu dengan tergesa-gesa kembali keluar area bandara ini.
Sambil menyeret koper, saya kemudian mendekati sekumpulan taksi “resmi” Bandara Husein tersebut. Saya disapa oleh seorang berpakaian batik biru, dan telihat rapi sepertinya kordinator mereka karena membawa map dan catatan, “Mau kemana pak?” Oh, kalau ke Cimahi ongkosnya Rp 70.000. “Pakai Argo?” tanya saya. Disini harga sudah ada daftarnya (list), dan telah ditentukan dari sana, katanya. Tidak jelas juga, dari sana itu dari mana. Setelah saya coba menawar, dia bertahan tidak menurunkan harga borongan tersebut. Malah dengan ketus mengatakan “Kalau bapak mau naik taksi lain yang ber-argo, silahkan! Jalan kaki saja ke arah sana. Di jalan Padjadjaran tidak jauh dari bandara ini banyak berbagai taksi,” jawabnya dengan nada angkuh dan enteng, sambil menunjuk ke arah barat. Wah, jalan kaki sekitar 500 meter dengan membawa koper berat begini? Sungguh tidak realistis! Tampaknya tidak ada pilihan lain buat para penumpang di bandara ini jika tidak ada mobil yang menjemput. Beberapa anak-anak muda Backpacker tampak memanggul ransel masing-masing berjalan ke arah Padjadjaran tersebut.
[caption caption="(Suasana area depan pintu keluar parkir Bandara Husein Sastranegara Bandung. Taksi resmi bandara tersebut, tampak parkir rapi berjejer menunggu penumpang, dan sepertinya menguasai area taksi tersebut / sumber photo:Transporter-bdg.Blogspot.com)"][/caption]
Akhirnya, dengan terpaksa saya ambil dan masuk ke salah satu dari taksi mereka, yang sudah parkir berurut antri siap mengantar penumpang secara bergiliran. Di dalam taksi, saya melihat identitas supir cukup jelas terpampang. Dan supir pun terlihat ramah, meskipun dia seperti tidak suka juga dengan sistem borongan seperti ini yang membuatnya tidak nyaman. “Saya tidak bisa berbuat apa-apa, pak! Menuruti aturan mereka saja, kalau mau dapat kerja di sini dan mendapat penumpang,” jelas supir taksi tersebut pasrah. Di bagian atas kartu identitas supir itu, yang ditempel di jok depan mobil, tertulis PRIMKOPAU. Tampaknya taksi ini dibawah pembinaan Induk Kopreasi Primer TNI AU cabang Lanud Husein. Mungkin karena di samping Bandara Husein ini terletak Pangkalan Udara TNI AU. Menarik, apakah pimpinan PRIMKOPAU Bandara Husein ini mengetahui taksi-taksi yang dikelolanya sebenarnya melanggar aturan (Violation of rule) dari kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung, karena tidak menggunakan Argo?
****
Seminggu kemudian, saya datang kembali dan mendarat di Bandara Husein dari Denpasar BALI. Kali ini saya tiba di Bandung jam 22:00 malam. Orang-orang yang menawarkan taksi gelap di pintu keluar seperti biasa, sudah tidak tampak seramai minggu lalu. Mungkin karena hari sudah menjelang tengah malam. Tapi, sederetan taksi “resmi” berwarna kombinasi warna biru tua dan biru muda itu masih tampak berjejer di malam hari itu. Mungkin juga menunggu jadwal terakhir pesawat dari Kuala Lumpur ke Bandung setiap hari yang jam 22:30. Saya hampiri mereka dan bertanya lagi, “Berapa ongkos taksi ke Cimahi?” Kali ini jawabnya berbeda, dan begitu terlihat enteng mengatakan: “Rp 90.000,pak!” Lho, minggu lalu Rp 70.000? Apakah daftar harga siang dan malam berbeda, ya? Atau, ini harga meraih kesempatan untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya terhadap penumpang yang kepepet, yang kalau sudah malam begini lalu akan menjadi pasrah? Sebenarnya, kalau pakai Argo, dari Bandara Husein ke Cimahi rata-rata hanya sekitar Rp 50.000 saja.
“Ya, kalau bapak tidak mau ng apa-apa...Cari aja taksi lain..” katanya kembali dengan nada angkuh dan cuek, dan tampak kemudian sibuk mengurus penumpang lain yang arah ke Soreang yang lebih dari Rp 150.000. Tapi, taksi lainnya itu mana, ya..? Bukankah di wilayah pintu keluar penumpang Bandara Husein ini, hanya ada taksi anda ini? Begitu kira-kira ngedumel saya dalam hati. Dengan berat hati akhirnya saya naik juga taksi tersebut. Sampai di rumah, lalu saya meng-googling dengan penasaran mencari di Internet, apa sih isi Perda Kota Bandung mengenai tarif taksi. Sebagai warga Bandung saya menjadi terusik, karena lokasi strategis Bandara Internasional Husein Sastranegara yang merupakan salah satu pintu gerbang masuk para turis mancanegara dari Singapura, Malaysia dan Thailand itu, kok tampak menjadi terlihat “liar’ begini? Di Internet, kebetulan saya menemui artikel menarik berjudul “Taksi Tak Pakai Argo di Bandung, Emil Langsung Cabut Izinnya”, yaitu di website koran daerah Tribun Jabar (15 April 2015). “Jangan ada lagi monopoli kawasan untuk taksi tertentu,” kata Ridwan Kamil, Walikota Bandung dalam artikel tersebut. Manajeman (pengelola), tidak ada alasan tidak tahu permainan para sopirnya, jelas Emil (panggilan akrab Walikota Bandung tersebut).
Bagi saya sebenarnya tidak terlalu menjadi masalah adanya selisih ongkos taksi tanpa Argo yang beberapa puluh ribu tersebut yang disebabkan karena sistem borongan begini. Daripada saya harus berjalan 500 meter ke jalan besar dengan tergopoh-gopoh menyeret koper? Namun hal ini perlu menjadi renungan dan perhatian bagi kita semua, bahwa Bandara Husein Sastranegara Bandung itu sekarang merupakan bandara internasional. Apakah kita akan tetap membiarkan saja taksi tanpa Argo menguasai area taksi di lokasi strategis seperti ini, dan lalu merusak citra? Dan membiarkan Bandara Husein Sastranegara Bandung ini (dalam urusan per-taksian), menjadi seperti daerah “tak bertuan”?
====================
[caption caption="Suasana keluar masuk penumpang di pintu gerbang Bandara Husein Sastranegara / Photo by: Rendra Tris Surya)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H