Mohon tunggu...
Rendra Trisyanto Surya
Rendra Trisyanto Surya Mohon Tunggu... Dosen - I am a Lecturer, IT Auditor and Trainer

(I am a Lecturer of IT Governance and IT Management. And IT AUDITOR and Trainer in CISA, CISM, CGEIT, CRISC, COBIT, ITIL-F, PMP, IT Help Desk, Project Management, Digital Forensic, E-commerce, Digita Marketing, CBAP, and also Applied Researcher) My other activity is a "Citizen Journalist" who likes to write any interest in my around with DIARY approached style. Several items that I was writing in here using different methods for my experimental, such as "freestyle", "feeling on my certain expression," "poetry," "short stories," "prose," "travel writing," and also some about popular science related to my field. I use this weblog (Kompasiana) as my experiment laboratory in writing exercise, Personal Branding and my Personal Diary... So, hopefully..these articles will give you beneficial or inspiration and motivation for other people like my readers...! ... Rendratris2013@Gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

"Keunikkan" LOCAFORE Jazz Music Festival 2013 Bandung (Catatan Seorang Penonton)

12 Oktober 2013   13:51 Diperbarui: 24 Oktober 2015   13:21 685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah cukup lama saya bolak balik melihat baliho besar tersebut, terpampang di perempatan Jalan Pasteur, Surya Sumantri dan Gunung Batu arah menuju ke Tol Pastur Bandung. Baliho itu tampaknya menarik perhatian siapa saja penggemar musik jazz.

 

[caption id="attachment_294107" align="aligncenter" width="626" caption="(Keterangan Photo: Baliho ini terlihat atraktif. Terutama bagi pencinta musik Jazz. Bayangkan, musisi jazz ternama Indonesia bersedia "numplek" manggung di acara ini dan dapat ditonton secara gratis pula. Acara tahunan yang kemudian banyak ditunggu-tunggu oleh masyarakat kota Bandung dan sekitarnya tersebut, menjadi hiburan tersendiri bagi para Jazz Lovers, menghilangkan sejenak kejenuhan dari rutinitas. / Photo by: Rendra Tris Surya)"][/caption]

Memang dalam beberapa tahun belakang, kawasan perumahan elite Bandung itu, yaitu Kota Baru Parahyangan, kini bukan saja sekedar pemukiman elite urang Bandung. Namun juga telah menjadi pusat aktivitas kreatif berbagai Festival Budaya dan Musik ikon  Bandung. Dan karena berbagai kesibukan, hampir saja saya pun melupakan even penting ini, ketika tiba-tiba di hari Minggu siang tanggal 15 September 2013 itu, anak putri saya mengingatkan kembali.

Jadi nggak nih kita ke Locafore..? Ini hari terakhir lho, pa…

Oh ya-ya..Ya…jadi dong..!”, sahut saya sambil acuh menyelesaikan finalisasi pekerjaan yang sedang dikerjakan di komputer di rumah. “Tapi kok namanya Locafore? Bukankah ini Festival Music Jazz?” tanya saya ke si bungsu yang memang penggemar berat musik jazz tersebut.

Yaaa.. Papa ini kurang gaul deh…! Locafore itu artinya: bahwa dalam festival ini akan dipertunjukkan hal-hal baru. Kalau dalam istilah seni, mirip dengan pengertian ‘Avant-Garde’, gitu lho..!” kata Dhinda Ayu Amalia, si bungsu yang selalu menemani berpetualang diseputar Bandung. Ya, semacam kesadaran yang diharapkan dari para musisi, seniman dan pengelola seni-seni pop kreatif agar terus menerus mencari inovasi dalam karyanya dan menyajikannya dalam suatu karya inovatif baru…”Ah masak sih..? Begitu hebatkah Festival LocaForfe Jazz yang gratis ini?”, tanya saya. Lalu saya mencari brosur (rundown) Festival Music Jazz yang mengundang sekitar 45 musisi Jazz kondang dari Bandung dan Jakarta tersebut di Internet. Saya jadi penasaran...!

 

[caption id="attachment_294110" align="aligncenter" width="670" caption="(Keterangan Photo: Lokasi pemukiman perumahan elite "Kota Baru Parahyangan" yang berada di Kabupaten Bandung Barat, Padalarang ini memang unik. Kontur tanahnya yang berbukit-bukit dan bersentuhan dengan alam langsung yang masih asli itu, membuat udara di sini terasa lebih sejuk dan bersih. Tak heran jika kemudian, acara-acara festival yang sering dibuat di alam terbuka ini menjadi momen penting tersendiri bagi warga Bandung dan sekitarnya.  Rumah-rumah yang berharga milyaran itu tampaknya tak ingin terlihat ekslusif dan sepi sendiri. Mereka tampaknya ingin lingkungannya bermanfaat lebih agar bisa pula dirasakan kebaradaannya oleh masyarakat banyak melalui berbagai acara tahunan seperti festival Locafore 2013 ini. Di sini juga pernah diselenggarakan kongres Pemilihan Ketua Umum Parta Demokrat yang sempat menghobohkan itu, di salah satu hotel bintang lima di kawasan perumahan ini.  / Photo by: Rendra Trisyanto Surya)"]

13815580281619408316
13815580281619408316
[/caption]

Kami pun lalu meluncur dari kawasan Cimahi, tempat tinggal kami, ke kota Padalarang yang hanya sekitar 30 menit tersebut, bergabung dengan 15.000 orang Jazz Lovers "urang Bandung". Ketika memasuki kawasan perumahan elite dengan rata-rata harga jual tiap rumah di sana di atas satu milyar rupiah itu, memang terasa berbeda. Di sini semuanya terlihat sangat asri, teratur dan didukung oleh udara sejuk disertai pohon-phon rindang asri yang tampak dipelihara dengan baik. “Mirip kompleks perumahan di luar negeri…”, kata si bungsu Dhinda Ayu

Tapi, belum lagi sampai di Bale Pare-Pare tempat hajatan besar ini dilangsungkan. Kami sudah dihadang oleh kemacetan,  karena banyaknya mobil para “urang Bandung” penggemar musik Jazz yang ternyata hari itu seperti tumplek di sini. Untung saja, lokasi perumahan ini begitu luas, sehingga parkir berjejer mobil-mobil anak muda kelas menengah atas Bandung ini tidak sampai menghalangi lalu lintas jalan. Tampak satpam sibuk mengatur lalu lintas yang super padat pada hari itu. Mobil patroli mereka pun sibuk ke sana kemari. Dan dari kejauhan, tampak kontur perumahan ini yang berbukit-bukit mengelilingi lokasi konser musik taman yang kemudian menjadi view unik tersendiri.

***

Kami sampai ke Bale Pare-Pare Kota Baru Parahyangan ini pukul 14:00. Mulanya saya mengira ini adalah nama ruang aula yang dijadikan gedung pertunjukkan. Ternyata sebuah nama untuk tiga buah panggung kecil terbuka di taman berumput yang berukuran sedang, yaitu Ampitheter, Green Stage dan Plaza. Ketika panggung ini tampak permanen yang memang di desain khusus sebagai tempat konser musik/pameran ruang terbuka (Park Concert Stage) sebagaimana lazim ditemui di negara maju.

Kami langsung ke Green Stage menyaksikan penampilan kelompok musisi jazz yang sedang membawakan genre jazz klasik dengan lagu-lagu pop-nya, yaitu Sandy Winarta Quartet. Tidak terlalu banyak penonton terlihaat di sini. Namun kubah yang mengelilingi panggung kecil tersebut tampak sesak dipenuhi penonton yang dengan tertib terpaku menyaksikan pertunjukkan tersebut. Grup musik ini menggunakan Bas Betot untuk memberikan nuansa musik jazz quartet tradisional sebagaimana lazimnya. Namun uniknya, anak-anak muda yang mengawaki grup ini menyanyikan lagu-lagu pop jazz , yang memang akhir-akhir ini mulai banyak digemari kawula muda berbagai kalangan tersebut. 

Tiba-tiba, mata saya tertuju ke pemain piano di panggung yang tampak begitu cuek. Bertubuh mungil di antara tiga oraang dewasa yang berdiri di atas panggung. Bahkan, kaki kecilnya terlihat masih tergantung itu, duduk dikursi yang didesain khusus. Jari-jari kecilnya tampak begitu lincah memainkan tuts-tuts piano elektrik yang terlihat masih kebesaran buat tubuhnya. Lalu dalam hati saya bertanya, siapakah bocah imut yang begitu mahir memainkan piano jazz ini?

 

[caption id="attachment_294111" align="aligncenter" width="707" caption="(Keterangan Photo: Pianis cilik yang berusia 10 tahun kelahiran 25 Juni 2003 di Denpasar Bali ini, tampak piawai dan terlihat "cuek" ketika sedang memainkan pianonya tanpa membaca patitur itu. Mengiringi musisi jazz orang-orang dewasa dengan berbagai improvisasi yang spontannya di atas panggung sederhana ini. Penonton yang mengelilinginya acap kali memberi aplaus usai lagu-lagu yang dimainkannya usai. Hm, mungkinkah "anak ajaib" ini akan membawa Indonesia kelak ke panggung musik jazz internasional dengan bakat luar biasanya? / Photo by: Rendra Trisyanto Surya)"]

13815584102095960798
13815584102095960798
[/caption]

 

Diantara berbagai lagu yang dimainkan, kemudian saya beranjak dari duduk karena penasaran lalu mendekatinya begitu dekat di samping panggung. Setelah kasak kusuk ke sana ke mari, akhirnya saya tahu siapa dia. Dia adalah Joey Alexander, salah satu anak emas bangsa Indonesia saat ini, yang memiliki talenta luar biasa dalam bermain piano, khususnya musik jazz. Musisi Jazz cilik yang baru berusia 10 tahun tersebut, adalah salah satu murid andalan musisi jazz Indra Lesmana. Bahkan Desember 2011 lalu dia berkesempatan bermain musik bersama musisi yang juga ikon jazz dunia, yaitu Herbie Hancock, saat Herbie berkunjung ke Indonesia sebagai Duta PBB.

Ekspresinya Joey ketika bermian piano terlihat masih lugu dan ke kanak-kanakkan. Dia berupaya terlihat lebih dewasa dengan kaca mata tebalnya tersebut, “berdialog” dengan musisi di grupnya melalui tut-tus pianonya mengimbangi permainan bas betot, gitar dan drum professional kelompok Sandy Winarta Quartet ini. Di sudut panggung saya lihat juga ada beberapa ibu yang terpesona dengan permainan piano musisi cilik ini. Mudah-mudahan  Joey menjadi inspirasi buat ribuan anak Indonesia, khususnya yang sedang belajar piano.

 

***

Sebenarnya Festival LocaFore ini sudah berjalan selama dua hari dan sudah menampilkan puluhan musisi jazz terkenal Indonesia, yang silih berganti mengisi tiga panggung yaang disediakan. Kami datang di hari ketiga yang merupakan hari terakhir. Namun musisi yang belum tampil masih banyak juga. Kemudian setelah setengah jam berada di sini, kami berpindah panggung menonton pertunjukkan selanjutnya, yaitu Ivan Handojo di panggung lain.

Ada beberapa lagu yang dimainkan oleh Ivan dalam Festival Jazz Locafore 1013 ini. Ivan Handojo memainkan genre musik Jazz Pop dengan sentuhan Blues yang dominan. Saya tertarik ketika dia membawakan lagu “You are so beautiful”, sebuah tembang blues lawas ciptaan Joe Cocker yang begitu populer di era tahun 1970-an. Namun kali ini, Ivan mampu memberi intreprestasi berbeda terhadap lagu lama itu dengan caranya sendiri. Di dukung oleh sepasang remaja yang memiliki teknik backing vocal prima, membuat semua sepakat bahwa Ivan Handojo memang kali ini pantas disebut penyanyi jazz berkaliber internasional. Dia memiliki suara yang jernih, enak didengar dengan teknik menyanyi yang tinggi serta penghayatan terhadap lagu yang menghanyutkan. Sebagaimana halnya penyanyi jazz, terkadang dia juga menyiispkan suara falsetto untuk nada-nada tinggi namun hal ini dilakukannya dengan teknik Pitch Control yang baik.

 

[caption id="attachment_294112" align="aligncenter" width="652" caption="(Keterangan Photo: Ivan Handojo, salah satu musisi jazz muda yang kini sedang naik daun. Tampak sedang mempertunjukkan kebolehannya membawakan lagu jazz blues dengan nuansa rock,  dengan apik dan dinamis itu menghibur penggemarnya yang sudah menunggu sejak sejam sebelumnya. Dua penyanyi backing vocal tampak tampil dengan begitu sederhana seakan-akan ingin mengatakan, kualitas suara dan musik jazz mereka lebih penting dari sekedar penampilan menor sebagaimana artis-artis panggung umumnya. / Photo by: Rendra Trisyanto Surya)"]

13815586831151314950
13815586831151314950
[/caption]

Sempat terpikir juga, bagaimana jika saja penonton memejamkan mata dan hanya mendengar lagu yang dia nyanyikan. Mungkin tidak ada yang mengira bahwa lagu ini dibawakan oleh orang Indonesia. Cengkokan nada Blues di beberapa bar lagunya itu mendekati teknik para penyanyi negro berkulit hitam di Amerika sana, negari tempat asal muasal musik jazz. Penampilan dan gaya komunikasinya dengan penonton juga khas: spontan dan ramah dengan gaya berpakaian modis khas anak muda masa kini denga ciri khas rompi yang tidak pernah lepas. Dia terlihat respek dengan penonton. Wajar jika para penggemar Ivan Handojo ini tampak selalu memberi aplaus meriah setiap lagu dinyanyikan. Yang jelas, mereka tidak pernah mengira bahwa beberapa lagu daur ulang yang dibawakan Ivan Handojo ini, sebenarnya sudah lebih tua dari usia para penonton muda itu sendiri.

Bukankah hal ini menunjukkan juga, bahwa musik merupakan media komunikasi universal yang efektif? Bahkan dapat menjembatani musisi maupun penonton dari tiga generasi berbeda seperti tampak ketika terkumpul dalam kerumunan penonton di Festival LocaFore Jazz 2013 kali ini.

Hampir semua musisi dalam festival ini membawakan satu dua tembang jazz lawas (lagu standar Jazz atau Bluies) dalam setiap penampilannya. Jadi, siapa bilang tembang-tembang lawas sudah habis manisnya, dan cocoknya menjadi sepah yang layaknya disimpan di museum..? Bagi musisi Jazz yang kreatif, karena musik jenis ini memang memiliki ruang improvisasi yang begitu luas. maka mereka selalu berhasil membawakan karya-karya lagu lama tersebut menjadi sesuatu yang baru dan enak didengar..

***

Akhirnya, tidak terasa, satu jam pun berlalu. Kami kemudian berpindah tempat lagi ke panggung lain, yaitu Ampitheater untuk menyaksikan pertunjukkan permainan gitar tunggal Jubing Kristianto yang kini mulai naik daun menyusul popularitas gitaris tunggal Balwan, Dewa Budjana dan Tohpati itu. Jubing sebuah nama yang pertama kali saya kenal, ketika beberapa tahun lalu sedang berjalan-jalan di suatu mal di perbatasan Jakarta Barat dan Tangerang, tertarik membeli Audio CD album pertama Jubing berjudul “Becak Fantasi”. Dan saya terpesona karenanya! Apalagi ketika Jubing akhirnya menggratiskan albumnya dengan sengaja di upload ke Internet sehingga dapat di download  oleh siapa saja. Tampak musisi ini memiliki karakter yang berbeda. Kali ini Jubing membawakan lagu “Becak Fantasi” itu sambil menyapa ramah penonton yang sudah berjejal di taman rumput sejak beberapa waktu sebelumnya. “Helo, apa kabar?” sapanya. Kemudian dia mengobrol basa-basi sebentar. “Mengapa saya suka instrumen musik Gitar ini?” tanyanya ke penonton mengedukasi.

Karena hanya gitarlah satu-satunya instruman yang dapat dimainkan secara tunggal tapi mengeluarkan nada yang seolah-olah dimainkan oleh tiga orang pemain, yaitu bas, rythm (chord) dan melodi. Mungkin Piano bisa juga demikian, tapi khan berat kalau mau dibawa-bawa.. Siapa yang mau memanggul piano?” katanya sambil berseloroh dengan penonton. Dan penonton pun tertawa membahana sambil bertepuk tangan riuh, menyambut sapaannya.

 

13815589541529410148
13815589541529410148
(Keterangan Photo: Jubing Kristanto kini merupakan satu dari empat pemain gitar petik tunggal berbakat dan terbaik yang dimiliki Indonesia saat ini. Teknik tinggi permainan gitarnya tersebut mampu mengubah lagu-lagu sederhana menjadi enak didengar / Photo by: Rendra Trisyanto Surya)

Lagu “Becak Fantasy” ini misalnya, sebenarnya sangat sederhana. Dimainkan Jubing pada kunci F yang hanya membutuhkan kunci B mol utk nada tinggi dan kunci C untuk nada rendah. Tapi, ya itulah, Jubing merupakan musisi yang kreatif. Dia dapat mengubah sesuatu yang sederhana menjadi enak didengar dan akhirnya keemudian memang menjadi tidak sederhana lagi di telinga penggemarnya. Sisipan nada-nada improvisasinya membuat lagu sederhana ini menjadi begitu berdimensi….

Sore hari itu di "Kota Baru Parahyangan", Bandung ini sangat cerah. Matahari sore terlihat memantulkan cahaya refleksinya diantara gitar Jubing di atas panggung yang didesain serba hitam tersebut. Setelah membawakan beberapa lagu, Jubing kemudian mengajak penonton ikut menyanyikan lagu “Bintang Kecil”, diiringi dengan petikan gitarnya ini. Unik memang, karena biasanya konser gitar yang dimainkan dengan cara petik (klasik) itu dimainkan dalam keheningan. Sebelum lagu dimainkan, malah biasanya oleh MC diingatkan, agar penonton dianjurkan untuk tidak berdehem atau batuk yang keras, karena dapat menganggu kualitas musik klasik yang dimainkan. Tapi kali ini, Jubing menerobos pakem tersebut. Dengan gitar petiknya yang secara piawai dimainkan dengan teknik petik gitar klasik tersebut, dia justru meminta penonton bernyanyi. Dan tentu saja penonton menjadi surprise dan serentak kemudian taman Ampitheater tersebut menjadi koor gemuruh penonton yang ikut mennyikan lagu "Bintang Kecil" itu yang diakhiri dengan suara “hmm…hmm” yang dominan membahana ke udara sore hari itu.

Usai bernyanyi bareng, seorang penonton kemudian menyeletuk “Gimana caranya, kok bisa bermain gitar seperti itu?” Gampang.! Jawab Jubing. . Banyak saja belajar dan berlatih, lanjutnya sambil tersenyum. “Saran saya, belajar dulu gitar klasik! Ntar dari sana baru mau ke mana-mana bermain gitar dengan cara memetik seperti ini, menjadi mudah dan berbobot...”, katanya menasehati.

Tiba-tiba, Jubing memainkan lagu “Es Lilin” yaitu lagu rakyat Sunda yang kemudian diwarnai dengan warna kental jazz. “Wah, kayak papa main gitar nih..”, kata Dhinda Ayu anak sulung saya yang dari tadi tekun duduk menonton di sebelah saya menyeletuk. Ya, memang lagu ini sering saya mainkan tapi dengan cara saya sendiri yang amatiran, “gaya petikan tunggal musisi amatiran dari Cimahi” (hehe2…).  Yang membuat surprise, ternyata kunci (chord) yang digunakan Jubing ketika memainkan lagu “Es Lilin” dan “Burung Kakak Tua” tersebut persis dengan kunci Am yang sering saya mainkan, dikombinasikan dengan kunci F, G lalu E. Tapi Jubing, tentu saja, terlihat jauh lebih piawai…. Lha iyalah, kata saya ke pada si bungsu. Dia khan belajar khusus bertahun-tahun. Kalau Bapakmu ini, belajar otodidak dan profesinya juga lebih banyak sebagai dosen Teknologi Informasi, sehingga yang jarang bermain musik lagi, ujar saya berusaha membela diri.. (hehe2…)

***

Di Green Stage kami kemudian menyaksikan pertunjukkan musik Jazz jenis lain yang lebih serius,  dibawakan oleh profesor musik (akademisi yang orang Indonesia), lama tinggal di Jerman, yaitu Tjut Nyak Deviana Daudsjah. Dia bermain piano jazz begitu piawai namun sangat dipengaruhi secara kental oleh musik klasik yang memang merupakan mayor keahliannya. Musik jazz aliran classic ini bertempo slow dan lambat, yang tampaknya memang ditujukan ke penonton yang berusia lebih tua. Inilah uniknya musik Jazz, begitu banyak variasi dan genre hasil proses distilasi dalam perjalanan sejarah musik itu. Jazz sudah terbiasa berakulturasi dengan kebiasaan bermusik di tempat musik itu dimainkan.

Musik Jazz yang berasal dari Amerika tersebut, pada mulanya berasal dari musik Blues yang kita tahu merupakan media menyalurkan kepedihan hati akibat kerja paksa para kaum negro di sana. Namun dengan datangnya orang-orang Eropa yang berimigrasi, kemudian membawa selera musik mereka sendiri, yaitu musik klasik. Pembauran musik klasik dan Blues kemudian melahirkan musik yang sekarang kita kenal dengan nama “Musik Jazz”. Dan kemudian menyebarnya musik jazz bauran ini ketika berkembang hingga ke Amerika Latin menyebabkan masuknya unsur-unsur beat yang dinamis di Jazz, yang membuat musik jazz aliran lambat sebagaimana dibawakan oleh Deviana, menjadi minoritas. Para kawula muda tampaknya kurang menyukai genre musk jazz klasik seperti ini. Beberapa anak-anak muda terlihat mulai meninggalkan rumput tempat duduk penonton berpindah ke panggung lain.

 

[caption id="attachment_294114" align="aligncenter" width="629" caption="(Keterangan Photo: Penonton yang kebanyakan anak-anak muda tersebut, tampak juga tekun menikmati musik jazz Klasik serius yang dibawakan oleh Prof Tjuk Nyak Deviana dan kawan Jerman-nya semasa menuntut ilmu di Musikhochschhule Freiburg Jerman tahun 1977, yaitu  Karoline Hoefler (Bas betot) dan Beatrice Graf (drum cakar) di panggung Green Stage. Musik-musik jaz berat yang mereka bawakan sebenarnya lebih cocok ditujukan buat Jazz lovers berusia lebih tua. Tapi ya begitulah..! Penonton musik jazz terkadang tidak terlalu terlihat jelas oleh perbedaan usianya. Semua membaur menjadi satu dalam passion yang sama... menikmat musik Jazz, yang terkadang juga menjadi terlihat  betah karena rasa ingin tahu. Seperti apakah musik jazz akademisi itu? / Photo by: Rendra Trisyanto Surya)  "]

13815591381658328806
13815591381658328806
[/caption]

 

Pukul 19:00 malam, taman Bale Pare berubah menjadi gelap dan satu dua nyamuk dari berbagai taman dan semak di sekliling panggung, mulai ikut menyaksikan musik di panggung-panggung festival. Kami kemudian berpindah ke Green Stage mengikuti antrian ribuan orang yang hendak menyaksikan penampilan Rio Moreno Latin Combo Jazz. Lho kok musik Jazz ada unsur latinnya, ya? Begitulah…. Musik jazz mungkin satu-satunya aliran musik yang bisa menampung musik dari aliraan/jenis apapun. Karena begitu luasnya ruang improvisasi yang dibuka dalam genre musik ini. Musik dangdut pun sebenarnya bisa dibuat enak ketika dimainkan dengan musik Jazz, kata salah seorang penonton. Tapi kali ini, Rio Moreno, seorang bujangan yang urang Bandung tersebut, membawakan musik jazz ciri khasnya tersendiri dengan citra rasa Latin.

 

[caption id="attachment_294116" align="aligncenter" width="712" caption="(Keterangan Photo: Rio Moreno, pianis  asal Bandung ini boleh dibilang merupakan musisi Jazz Latin terbaik Indonesia saat ini. Musik bernuansa latin yang terdengar ceria, dinamis dan terkadang menjadi sangat "ngerock" tersebut saat memainkan genre Cha cha, Funk, Salsa, Samba Bayau dan Samba Batucada. mewarnai nuansa jazz. Musik Rio tampaknya lebih cocok buat telinga kawula muda yang memang merupakan penonton dominan Festival LocaFore ini.  Karena Rio menyadari juga berbagai tipe penonton yang hadir, yaitu dari tiga generasi. Maka di antara penampilannya, dia mengundang bintang tamu wanita cantik yang imut bersuara emas, yaitu Ivanka untuk "take a break" dengan membawakan lagu-lagu slow bernafaskan Blues dan Country ke dalam musik Jazz-nya. Kenapa tidak meramu ke Jazz Sunda, Rio..? hehe2.../ Photo by: Rendra Trisyanto Surya)"]

1381559410727804000
1381559410727804000
[/caption]

Musik Jazz Rio sangat dinamis. Dengan tempo cepat dan hentakkan drum yang menyengat telinga musik Jazz menjadi ain di sini. Apalagi kemudian Rio melakukan distilasi dengan memadukan unsur Rock, maka jadilah Rio Moreno membawakan musik Jazz Latin dengan bercitra rasa Rock (Jazz Rock?). Buat penonton yang kebetulan sudah duduk dekat dengan panggung, maka bersiap-siap menutup telinganya lebih sering untuk mengurangi efek keras suara musk Rio. Tapi uniknya, seorang wanita muda yang duduk tepat di belakang saya, ternyata begitu asyik menonton musik Rio ini dengan menggunakan earphone yang terus menempel di telinganya. Suara sound system panggung menggelar itu rupanya kurang cukupkah? Atau, karena dia sedang menikmati Radio Streaming yang memang acara Locafore ini disiarkan langsung parallel dengan acara musik live panggung Rio Moreno oleh beberapa radio sponsor acara ini. Wah, ternyata teknologi informasi dan gadget kini telah menjadi asesori keseharian anak-anak muda kelas menengah Indonesia  di manapun dalam menikmati musik, termasuk ketika menikmati musik panggung..

Mungkin RIO menyadari juga musiknya terlalu dinamis, maka dia perlu selingan dengan mengajak berkolaborasi seorang penyanyi Bandung yang “imut-imut” bernama Ivanka. Penyanyi muda cantik ini kemudian masuk panggung dengan gayanya yang santai dan cuek. Membawakan lagu-lagu yang diiringi Rio, diantaranya lagu blues “Gimme One Reason” hit-nya Tracy Chapman. Ivanka berhasil membawakan lagu lawas yang pernah menjadi hit dunia tersebut dengan caranya sendiri. Ekspresinya yang juga terlihat asyik dalam menyayikan lagu-lagunya tersebut, yang terkadang terdengar agak mengarah ke unsur musik country.

Puncak pamungkas dari tiga hari Festival Jazz ini, adalah tampilnya Tompi bersama group barunya yang bernama The Doctor and the Professor. Yang dimaksudkan dengan The Doctor disini adalah diri Tompi sendiri, yang merupakan seorang dokter spesialis bedah kosmetik lulusan Fakultas Kedokteran UI, kelahiran Lhokseumawe Aceh. Sedangkan The Professor adalah karena bergabungnya Prof Tjut Nyak Deviana, akademisi dan musisi klasik dan jazz yang sama-sama kelahiran Aceh tersebut. Di sini Deviana berubah total dibandingkan dengan penampilan sebelumnya yang membawakan genre jazz klasik tadi. Tampaknya sinerginya dengan Tompi membuat Deviana terstimulasi menjadi energik dan bebas berimprovisasi, baik sebagai pemain piano jazz maupun ketika menyahuti suara giggling vocal Tompi dengan teknik-teknik beop dan field hollers-nya yang khas dan rumit.

Bergabungnya dua ikon ini kemudian membawa warna baru bagi musik Jazz Pop Tompi dan juga memberi warna baru musik jazz Indonesia ke depan. Dalam permainan pianonya yang sudah mencapai kaliber internasional itu, seringkali Tjut Deviana memasukkan unsur musik klasik di tengah lagu yang kemudian tiba-tiba berbalik menjadi ekspresif mengikuti gaya menyanyi khas Tompi yang melengking-lengking. Semua ini menjadi harmoni bersama dengan suara falsetto Tompi yang enak didengar.

Dalam lagu “Sedari Dulu” misalnya, bahkan Tompi bersahut-sahutan dengan Tjut Deviana, musisi serbabisa yang dikenal juga sebagai pelatih vocal di Institut Musik Daya Indonesia yang didirikannya di Jakarta. Sehingga suara giggling Deviana yang bersahut-hutan tersebut mengimbangi suara falsetto tinggi khas Tompi. Tiba-tiba terhenti dan terdengar permainan piano anyar Deviana yang menggelegar memaksimalkan oktaf bas piano secara luar biasa, yang membuat penonton pun bergemuruh bertepuk tangan. Seorang penoton di belakang duduk saya sampai berujar spontan“Wah, hebat banget permainan piano Ibu professor musik ini..”, katanya dengan terkagum-kagum.

Yang menarik, musisi lain dalam Grup The Doctor dan The Professor ini pun memiliki kompetensi bermain musik di atas rata-rata. Tampak ketika satu persatu dari mereka kemudian diberi “ruang bertanding” unjuk kepiawainya penguasaan alat musik masing-masing dan berimprovisasi mengimbangi improvisasi tunggal piano Tjut Nyak Deviana. Dimulai dari sambutan permainan bass yang berimprovisasi menujukkan kebolehan memetik bas elektriknya dengan cara mencabik habis sampai mengeluarkan efek suara bas yang menjerit. Kemudian sambut manyambut dengan piano Deviana yang improvisasinya terkadang nyeleneh…. Penonton pun kemudian gemuruh memberi aplaus panjang….! Kemudian giliran pemain drum dengan gebukan-gebukannya beritme tidak biasa itu, membuat Tompi kemudian dengan enak dan pas menutup atraksi individu tersebut dengan melanjutkan lagu yang terhenti di tengah tadi.

 

***

Akhirnya, tanpa terasa waktu berjalan lebih cepat ketika jam kemudian menunjukkan pukul 22:00 menjelang tengah malam. Tompi pun yang sepanjang acaranya ini tak henti-hentinya “meledek” sobatnya yang kini jomblo habis , yaitu penyanyi jazz Glenn Ferdly tersebut, kemudian membawa lagu terakhir “Bujangan” yang ditujukan buat Glenn. Lagu lawas kelompok Koesplus ini menjadi sangat berbeda ketika dinyanyikan Tompi. Sangat terasa banget jazzy…..yang mungkin membuat terkaget-kaget Tony Koeswoyo cs. Lagu pamungkas ini kemudian menutup acara ini, mengiringi hati para penonton para penggemar musik Jazz “urang-urang Bandung” ini, yang tampak begitu puas terhibur…. Mereka kemudian bubar dengan hati riang…..menyambut esok Senin untuk beraktivitas kembali seperti rutinitas biasa.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun