Bulan Mei 2017 menjadi bulan bencana bagi kota Kendari, selama sebulan ini Kendari dua kali mengalami kebanjiran, seluruh kawasan se-kota Kendari dari Kecamatan Kendari sampai Kecamatan Lapulu dikepung banjir. Kawasan parah terdampak banjir adalah wilayah ditengah kota yaitu Andounohu, Puwatu, Mandonga, Wua-Wua, Bende, Kadia, Lepo-Lepo, Kemaraya, Sanua, Kampung Salo.
Yang paling menyedihkan korban banjir di daerah sekitar aliran sunggai Wanggu - Konaweha. Ketinggian banjir hingga tiga meter lebih, atap rumah warga sudah menyerupai perahu dan kapal terbalik. Bencana banjir tahun ini juga telah menelan korban jiwa gadis belia berusia 16 tahun akibat tanah longsor dijalan Lasolo Kel. Sanua Kec. Kendari Barat Kota Kendari.
Cuaca saat ini sangat tidak bersahabat, curah hujan yang tinggi dan turunnya berkepanjangan hingga seharian bahkan selama dua sampai tiga hari penuh hujan tak henti-hentinya menguyur sebagian besar Kota dan Kabupaten se-Sultra (Sulawesi Tenggara). Kendari yang menjadi ibukota provinsi, menjadi daerah percontohan di Provinsi Sulawesi Tenggara.
Jika kota Kendari mengalami kebanjiran, secara otomatis di daerah daratan bahkan kepulauan Sultra juga ikut kebanjiran. Inilah realitas yang terjadi, apakah memang secara kebetulan ataukah hanya karena curah hujan yang bersamaan melanda sebagian besar Kota dan Kabupaten di Sultra. Apakah pemerintah daerah sempat menganalisa hal itu?
Ingat kembali peristiwa empat tahun lalu (tahun 2013). Dimana kota Kendari dan Kabupaten daratan Sultra mengalami kebanjiran dahsyat, itu menjadi catatan sejarah kelam dan untuk pertama kalinya bencana banjir terbesar terjadi di celebes bagian tenggara yang menenggelamkan bumi Anoa, serta menghancurkan beberapa infrastruktur dan menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat Sultra, baik yang ada diperkotaan maupun dipedesaan.
Semoga peristiwa tahun 2013 itu tidak terjadi kembali ditahun ini. Tentunya hal demikian menjadi harapan bagi seluruh warga masyarakat. Namun melihat kejadian hari ini, bisa jadi harapan kita semua akan sirna jika pemerintah daerah (Provinsi dan Kota) tidak menyikapi serta melakukan tindakan antisipasi nyata secara seksama dan menyeluruh.
Menurut data (kutip: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kota_Kendari ) Keadaan Iklim sekitar bulan April, arus angin selalu tidak menentu dengan curah hujan yang tidak merata. Musim ini dikenal sebagai musim pancaroba atau peralihan antara musim hujan dan musim kemarau. Pada bulan Mei sampai dengan bulan Agustus, angin bertiup dari arah timur berasal dari benua Australia yang kurang mengandung uap air. Hal ini mengakibatkan kurangnya curah hujan di daerah ini, sehingga terjadi musim kemarau.
Pada bulan November sampai dengan bulan Maret, angin bertiup banyak mengandung uap air yang berasal dari benua Asia dan Samudera Pasifik, setelah melewati beberapa lautan. Pada bulan-bulan tersebut di wilayah Kota Kendari dan sekitarnya biasanya terjadi musim hujan. Menurut data yang ada, memberikan indikasi bahwa di Kota Kendari rata-rata setiap tahun terjadi 205 hari hujan dengan curah hujan 2.850 mm [data tahun 2005].
Dari data tersebut sebenarnya bulan ini adalah musim kemarau bukannya musim hujan. Tapi realitas yang terjadi mengaburkan data yang harusnya pasti, jangan sampai hal itu menjadi sebuah kebohongan publik. Kita menyadari bahwa data diatas merupakan data lama tahun 2005.
Semestinya pemerintah daerah baik Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara maupun  Pemerintah Kota Kendari mengupdate data sesuai dengan kondisi terkini. Selama 12 tahun data tersebut dibiarkan begitu saja tanpa adanya inisiatif untuk mengupdate serta adanya tindakan untuk tidak membiarkan lembaga/instansi apapun untuk mempublisnya.
Zaman milenium ini teknologi informasi menjadi tumpuan utama bagi setiap daerah, bahkan seluruh negara memanfaatkannya dengan baik dan benar sebagai alat pembangunan, promosi, pemasaran, perdagangan bahkan transaksi efektif dan menjadi parameter kemajuan suatu daerah/negara.