Mohon tunggu...
Rendi Wirahadi Kusuma
Rendi Wirahadi Kusuma Mohon Tunggu... Penulis - Universitas Pakuan

Seorang mahasiswa Hukum di Universitas Pakuan, gemar dalam membaca, belajar, dan mendalami setiap seluk belum ilmu pengetahuan terkait hukum, penelitian dan penulisan sudah menjadi kewajiban, penuangan argumentasi dalam berdebat sudah menjadi kebutuhan dalam kehidupan, mengkritisi dan memahami adalah kegiatan keseharian.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mengenal Dasar Kewarganegaraan Sebagai Masyarakat Indonesia

3 Februari 2025   23:22 Diperbarui: 3 Februari 2025   23:22 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Prinsip Dasar Kewarganegaraan

Asas Ius Soli dan Ius Sanguinis

Dalam berbagai literatur hukum dan dalam praktik, dikenal adanya tiga asas kewarganegaraan, yaitu asas ius soli, asas ius sanguinis, dan asas campuran. Dari ketiga asas itu, yang dianggap sebagai asas yang utama ialah asas ius soli dan ius sanguinis. Asas ius soli ialah bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan menurut tempat kelahirannya. Untuk mudahnya asas ius soli dapat juga disebut asas daerah kelahiran. Seseorang dianggap berstatus sebagai warga negara dari Negara A karena ia dilahirkan di Negara A tersebut. Sementara itu, asas ius sanguinis dapat disebut sebagai asas keturunan atau asas darah. Menurut prinsip yang terkandung dalam asas kedua ini, kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh garis keturunan orang yang bersangkutan. Seseorang adalah warga Negara A, karena orang tuanya warga Negara A.

Pada saat sekarang di mana hubungan antarnegara berkembang se- makin mudah dan terbuka, dengan sarana transportasi, perhubungan, dan komunikasi yang sudah sedemikian majunya, tidak sulit bagi setiap orang untuk bepergian kemana saja. Oleh karena itu, banyak terjadi bahwa seorang warga negara dari Negara A berdomisili di Negara B. Kadang-kadang orang tersebut melahirkan anak di negara tempat dia berdomisili. Dalam kasus demikian, jika yang diterapkan adalah asas ius soli, akibatnya anak tersebut menjadi warga negara dari negara tempat domisilinya itu, dan dengan demikian putuslah hubungannya dengan negara asal orang tuanya. Karena alasan-alasan itulah, dewasa ini banyak negara yang telah meninggalkan penerapan asas ius soli, dan berubah menganut asas ius sanguinis.

  • Bipatride dan Apatride

Seperti diuraikan di atas, setiap negara berhak menentukan asas mana yang hendak dipakai untuk menentukan siapa yang termasuk warga negara dan siapa yang bukan. Oleh karena itu, di berbagai negara, dapat timbul berbagai pola pengaturan yang tidak sama di bidang kewarganegaraan. Bahkan, antara satu negara dengan negara lain dapat timbul pertentangan atau conflict of law atau pertentangan hukum. 30 Misalnya, di negara A dianut asas ius soli, sedangkan negara B menganut asas ius sanguinis, atau sebaliknya. Hal itu tentu akan menimbulkan persoalan bipatride atau dwi-kewarganegaraan, atau sebaliknya menyebabkan terjadinya apatride, yaitu keadaan tanpa kewarganegaraan sama sekali. Bipatride (dwi-kewarganegaraan) timbul ketika menurut peraturan-peraturan tentang kewarganegaraan dari berbagai negara, seseorang sama-sama dianggap sebagai warga negara oleh negara-negara yang bersangkutan.

Sistem Campuran dan Masalah Dwi-Kewarganegaraan Seperti sudah diuraikan di atas, asas yang dikenal dalam kewarganegaraan adalah ius soli dan ius sanguinis. Pada umumnya, satu negara hanya menganut salah satu dari kedua asas ini. Akan tetapi, karena tidak semua negara menganut asas yang sama, dapat timbul perbedaan yang mengakibatkan terjadinya keadaan apatride atau bipatride. Keadaan tanpa kewarganegaraan atau apatride jelas harus dihindari dan diatasi. Akan tetapi, kadang-kadang ada negara yang justru membiarkan atau bahkan memberi kesempatan kepada warganya untuk berstatus dwi-kewarganegaraan. Kadang-kadang hal ini terjadi, antara lain, karena asas kewarganegaraan yang dianut bersifat campuran.

Misalnya, India dapat dikatakan mengatur asas ius soli, tetapi pada saat yang sama juga mengakui asas ius sanguinis. Oleh karena itu, India menerapkan ketentuan perolehan status kewarganegaraan berdasarkan tanah kelahiran (citizenship by birth) dan sekaligus menurut garis keturunan (citizenship by descent).

Seperti halnya undang-undang, menurut Djokosoetono, kon-stitusi yang menjadi objek kajian hukum tata negara materiil dan formal juga mempunyai tiga arti, yaitu dalam arti materiil, dalam artiformal, dan dalam arti naskah yang terdokumentasi. Menurutnya,undang-undang dapat dilihat:"

a. dalam arti materiil, algemene verbindende voorschriften;

b. dalam arti formal, yaitu bahwa undang-undang itu telah mendapat persetujuan (wilsovereen-stemming) bersama antara Pemerintah dan DPR; dan

c. dalam arti naskah hukum yang harus terdokumentasi (gedocu- menteerd) dalam Lembaran Negara supaya bersifat bewijsbaar atau dapat menjadi alat bukti dan stabil sebagai satu kesatuan rujukan.

Demikian pula konstitusi yang menjadi objek kajian hukum tata negara juga mempunyai tiga pengertian, yaitu:

a. Constitutie in materiele zin dikualifikasikan karena isinya (gequa- lificerd naar de inhoud), misalnya berisi jaminan hak asasi, benruk negara, dan fungsi-fungsi pemerintahan, dan sebagainya;

b. Constitutie in formele zin, dikualifikasikan karena pembuatnya (gequalificerd naar de maker), misalnya oleh MPR;

c. Naskah Grondwet, sebagai geschreven document, misalnya harus diterbitkan dalam Lembaran Negara, voor de bewijsbaarheid en voor

 

Warga Negara dan Kewarganegaraan

Warga Negara dan Penduduk Seperti dikemukakan oleh para ahli, sudah menjadi kenyataan yang berlaku umum bahwa untuk berdirinya negara yang merdeka harus dipenuhi sekurang-kurangnya tiga syarat, yaitu adanya wilayah, adanya rakyat yang tetap, dan pemerintahan yang berdaula wilayah syarat ini merupakan satu kesatuan yang tidak terpi berdaulat. Ketiga Jain. Tanpa adanya wilayah yang pasti, tidak mungkin suatu sama dapat berdiri, dan begitu pula adalah mustahil untuk meu, negara adanya negara tanpa rakyat yang tetap. Di samping itu, meskipun kedua syarat wilayah (territory) dan rakyat telah dipenuhi, apabila pemerintahannya bukan pemerintahan yang berdaulat yang bersifat nasional, belumlah dapat dinamakan negara tersebut suatu negara yang merdeka. Hindia Belanda dahulu memenuhi syarat yang pertama, yaitu wilayah dan rakyat, tetapi pemerintahannya adalah pemerintahan jajahan yang tunduk kepada Pemerintah Kerajaan Belanda, maka Hindia Belanda tidak dapat dikatakan sebagai satu negara yang merdeka.

 

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun