Mohon tunggu...
Rendika Kurniawan
Rendika Kurniawan Mohon Tunggu... ASN -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rumah Siaga : Mitigasi Bencana dari Keluarga

24 September 2015   20:39 Diperbarui: 24 September 2015   20:55 990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

    Bencana dapat terjadi secara tiba-tiba maupun melalui proses yang panjang secara perlahan-lahan. Beberapa jenis bencana, misalnya gempa bumi hampir tidak mungkin diperkirakan kapan, dimana, serta besaran kekuatannya secara akurat. Sedangkan beberapa bencana lainnya seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, letusan gunung api, tsunami, dan anomali cuaca masih dapat diramalkan sebelumnya. Meskipun demikian, kejadian bencana selalu memberikan dampak kejutan dan menimbulkan banyak kerugian baik jiwa maupun materi. Kejutan tersebut terjadi karena kurangnya kewaspadaan dan kesiapan dalam menghadapi ancaman bahaya (Bakornas PB, 2007).

    Indonesia merupakan Negara Kepulauan terbesar di dunia yang terletak diantara 2 benua (Benua Asia dan Australia) dan 2 samudera (Samudera Hindia dan Pasifik). Letak geografis ini menyebabkan Indonesia berada pada jalur pertemuan 3 lempeng, yaitu Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik yang berpotensi besar menimbulkan bencana apabila lempeng-lempeng tersebut saling bertumbukan. Kondisi ini juga yang membuat Indonesia masuk dalam zona rentan gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, gerakan massa tanah/batu (longsor), dan banjir. Berdasarkan data kebencanaan edisi Juni 2015 dari BNPB menunjukkan selama Januari-Juni 2015 tercatat 1.082 kejadian bencana yang merenggut 141 korban meninggal, 7 hilang, dan 9.556 unit rumah mengalami kerusakan dampak dari bencana yang terjadi. Pada bulan Juni 2015 saja, bencana terjadi sebanyak 93 kali yang mengakibatkan 20 orang meninggal serta lebih dari 300 unit rumah mengalami kerusakan, mulai dari rusak ringan, sedang, hingga berat.

          Tabel 1. Jumlah Kejadian Bencana, Korban, dan Dampaknya Bulan Juni 2015*)            

                                                                                                             Sumber: BNPB (2015)

    Perhitungan matematis berdasarkan data sensus penduduk tahun 2010 dan peta bahaya menghasilkan 148 juta penduduk terpapar gempa bumi, 63 juta jiwa terpapar banjir, 40 juta terpapar tanah longsor, 11 juta terpapar gelombang ekstrim dan abrasi, 4,2 juta terpapar tsunami, dan 3,9 juta jiwa terpapar bahaya gunung api. Data statistik lain menunjukkan perkembangan peristiwa bencana dari tahun ke tahun di Indonesia berdasarkan jenis bencana berikut data kerusakan dan kerugiannya yang mengalami peningkatan.

 

                                                       Gambar 1. Jumlah Kejadian Bencana Tahun 2002-2014

                                          Tabel 2. Data Kerusakan dan Kerugian Akibat Bencana di Indonesia

                                                                                                Sumber: Bappenas (2014)

    Berdasarkan data statistik dan informasi-informasi sebelumnya, Mengapa Indonesia yang sudah digariskan sebagai daerah rawan bencana masih harus mengalami dampak luar biasa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir hingga menghabiskan dana ratusan trilyun untuk proses rehabilitasi pasca bencana? Boleh jadi karena “peran satuan terkecil masyarakat, yaitu keluarga dalam mitigasi bencana masih belum dilibatkan secara penuh”.

    Undang-Undang No.24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Pemerintah No.21/2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana memberikan gambaran perubahan paradigma di bidang penanggulangan bencana. Undang-Undang ini bertujuan untuk menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, risiko, dan dampak bencana.

                                                      Gambar 2. Perubahan Paradigma Penanggulangan Bencana

                                                                               Sumber: Bappenas (2014)

     Salah satu tujuan strategis penyelenggaraan penanggulangan bencana sesuai amanat UU tersebut adalah pengembangan dan penguatan kapasitas kelembagaan nasional dan daerah serta masyarakat untuk bersama-sama membangun ketangguhan menghadapi bencana. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut diantaranya pengurangan risiko bencana yang mungkin terjadi melalui peringatan dini kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana, mitigasi dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana, serta peningkatan kesiap-siagaan masyarakat dalam menghadapi bencana (Bappenas, 2014).

Belajar Siaga Menghadapi Bencana dari Jepang.

    Jepang merupakan salah satu negara yang dikenal rawan bencana seperti halnya Indonesia. Pengalaman dan proses panjang puluhan tahun mengatasi berbagai bencana, mulai dari gempa bumi hingga tsunami menempatkan Jepang sebagai negara dengan sistem siaga bencana terbaik di dunia. Hal ini karena dukungan teknologi yang sudah canggih dan SDM Jepang yang berkualitas. Terlepas dari itu, ternyata ada salah satu langkah konvensional yang sudah membudaya pada masyarakat Jepang hingga saat ini untuk mengatasi bencana. Langkah itu adalah “Rumah Siaga Bencana”.

   “Rumah Siaga Bencana” merupakan salah satu langkah konvensional siaga bencana yang sudah membudaya di Jepang. Langkah ini termasuk dalam fase siap siaga dari masyarakat sebelum bencana terjadi. Setiap rumah memiliki ‘tas siaga bencana’. Isi tas siaga bencana terdiri dari selimut, makanan kaleng yang tahan sampai 3 bulan, botol minuman, arsip penting, senter, dan obat-obatan. Selain itu, setiap rumah memiliki peta evakuasi karena belum tentu seisi rumah paham kondisi di daerah tempat tinggalnya atau mungkin ada saudara yang hanya menetap baru sehari atau dua hari sehingga masih bingung cara evakuasi. Tas ini diletakkan di dekat pintu rumah atau tempat yang mudah terjangkau. Jadi apabila terjadi bencana, bisa langsung mengambil tas ini. Tas siaga ini masih sangat jarang diterapkan di Indonesia, sehingga tak jarang ketika terjadi bencana korban jiwa yang meninggal maupun terluka selalu dalam jumlah yang besar. Hal ini disebabkan masyarakat awam kita masih sering harus packing barang dulu tanpa memikirkan keselamatan diri dan keluarganya (Aslan Saputra, 2014).

                            Gambar 3. Rumah Yamazaki-san yang telah menerapkan Rumah Siaga Bencana

                                                                    Sumber : (Aslan Saputra, 2014)

 

                                                Gambar 4.Peta evakuasi wajib dimiliki oleh setiap rumah

                                                                      Sumber : (Aslan Saputra, 2014)  

    Rumah siaga ini merupakan salah satu bentuk mitigasi bencana secara konvensional yang melibatkan masyarakat bersama-sama pemerintah membangun ketangguhan menghadapi bencana. Hal ini selaras dengan tujuan strategis penyelenggaraan penanggulangan bencana sesuai amanat UU. Lalu, apakah bisa Indonesia mengadaptasi cara kreatif Jepang ini dalam menghadapi bencana? Tentu saja bisa dan bukan hal yang sulit untuk diwujudkan. Namun, proses pembentukan kebiasaan masyarakat yang nantinya diharapkan dapat membudaya ini sangat membutuhkan peran serta semua pihak, bukan hanya pemerintah saja. Salah satu peran itu adalah keluarga sebagai lingkungan dan wahana pertama dan utama dalam pembentukan karakter dan kepribadian. Mengapa harus dimulai dari lingkungan keluarga? Karena ketangguhan suatu negara dalam bencana dapat tercermin dari sikap dan perilaku dari setiap individu dan keluarga dalam menghadapi bencana yang terjadi (BNPB, 2015).

Peran penting keluarga dalam pembentukan karakter dan kepribadian.

   Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri, dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Keluarga berkualitas tidak sekadar yang sejahtera secara ekonomi. Keluarga juga harus dapat menjalankan fungsi atau perannya dalam menyiapkan dan mendidik manusia Indonesia yang sehat, cerdas, produktif, berkarakter, serta berkepribadian. Menurut BKKBN, seperti disebutkan dalam Peraturan Pemerintah No. 87/2014 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Keluarga Berencana, dan Sistem Informasi Keluarga, ada 8 fungsi keluarga yaitu fungsi keagamaan, fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi, dan fungsi pembinaan lingkungan (Hendra Wardhana, 2015).

    Keluarga menjadi institusi pertama dan utama dalam membentuk karakter, mental, serta kualitas SDM. Kesadaran ini perlu ditanamkan kembali secara mendalam kepada segenap masyarakat, termasuk dalam penanaman kebiasaan siap siaga bencana. Keluarga yang modern bukanlah keluarga yang melimpahkan peran dan tanggung jawabnya kepada pihak lain. Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara bahkan menempatkan keluarga di urutan pertama dari 3 lingkungan pusat pendidikan. Karakter unggul manusia diturunkan dari keluarganya. Jika sebuah keluarga menganut nilai-nilai kemanusiaan, cinta kasih, kerja keras, religius, kejujuran dan bertanggung jawab, maka manusia-manusia yang dihasilkan didalamnya juga akan mewarisi sifat-sifat tersebut. 

   Peran orang tua tak hanya mendidik dan membimbing, namun juga memberikan teladan bagi anak-anaknya. Keluarga yang berkualitas, tangguh, dan memiliki ketahanan adalah institusi paling handal untuk menempa fisik, mental, dan moral manusia-manusia Indonesia. Ketika orang tua memiliki kesadaran tinggi untuk mendampingi dan melakukan pendidikan kepada anak-anaknya, saat itulah transfer nilai dan pembentukan karakter berlangsung (Hendra Wardhana, 2015).

  Siaga bencana merupakan salah satu hal yang dapat terwujud melalui pembinaan dan keteladanan yang bersumber dari keluarga. Peran aktif dan kreatif sebuah keluarga untuk senantiasa mewujudkan kesuksesan berbagai program pemerintah menjadi unsur yang sangat penting. Dalam hal siap siaga bencana BNPB dapat melakukan kerja sama dengan instansi lain, misalnya BKKBN. Salah satu wujud kerja sama yang dapat dilakukan adalah sosialisasi siap siaga bencana yang terintegrasi dalam program-program pembangunan keluarga dan kependudukan. Setali tiga uang, jika integrasi program ini berhasil maka tidak akan lagi jatuh banyak korban di masa depan akibat bencana. Keluarga yang kuat dan berketahanan adalah investasi untuk masa depan dan eksistensi bangsa. Karena membangun keluarga adalah membangun bangsa (Hendra Wardhana, 2015).

 

Oleh : Rendika Singgih Kurniawan

 

DAFTAR PUSTAKA

Bakornas PB. 2007. Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia. Edisi II. Jakarta. dalam website http://www.bakornaspb.go.id.

Bappenas. 2014. Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2015 (Membangun Ketangguhan Bangsa Melalui Upaya Pengurangan Risiko Bencana). Retrieved 2015, dalam website http://www.bnpb.go.id/Publikasi/Buku.

BNPB. 2015. Info Bencana (Informasi Kebencanaan Bulanan Teraktual) Edisi Juni. Jakarta, dalam website http://www.bnpb.go.id/Publikasi/Buletin Bencana.

Saputra, Aslan. 2014. Belajar Dari Jepang: Kreatif Menghadapi Bencana. dalam http://www.eliteword.blogspot.com/Aslan Saputra Story.

Wardhana, Hendra .2015. Merajut Masa Depan Indonesia dengan "Kembali Kepada Keluarga". dalam http://www.kompasiana.com/Published 01.08.2015, 17:40:59/ Updated 12.08.15, 06:35:23.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun