Mohon tunggu...
Rendi  Febria
Rendi Febria Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Impian Bocah Ingusan ke Kota Pelajar

28 Desember 2016   21:11 Diperbarui: 28 Desember 2016   21:19 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yogyakarta, sebuah kota yang terkenal dengan julukannya sebagai kota pendidikan atau kota pelajar membuat saya merasa ditarik sebuah magnet impian yang besar untuk melanjutkan studi maupun mewujudkan cita-cita dan keinginan saya ke kota tersebut. Kota yang terkenal dengan akulturasi budayanya yang kental, wisata dan peninggalan sejarahnya yang indah, serta kulinernya yang dikenal mempunyai ciri khas sendiri, dan sebuah kota yang masih dipimpin oleh seorang raja sebagai gubernurnya mengisyaratkan saya untuk mengunjungi kota istimewa ini.

Semua berawal sejak saya masih dibangku pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pada waktu tamat SMP saya ingin sekali rasanya melanjutkan sekolah keluar pulau Sumatra alias merantau. Tetapi semua belum akan terwujud sedangkan saya saja hanya baru anak yang tamat dari sekolah menengah pertama, ingusan saja masih belum bisa menghapus sendiri apalagi harus berpisah dari ayah dan ibu tercinta. Saya merupakan anak pertama dari 3 orang bersaudara, dan adik saya kedua-duanya itu perempuan. Saya adalah patokan atau sebagai pedoman, pembimbing, panutan bagi adik-adik saya kelak.

Setelah tamat dari sekolah menengah pertama saya melanjutkan sekolah ke Madrasah Aliyah Negri (MAN) Koto Baru Solok, sebuah madrasah yang termasuk favorit ditempat saya. Sebuah tantangan baru bagi saya dari sekolah umum masuk ke sekolah agama, tak hanya itu saja bahkan cemoohan dan ledekan orang-orang disekitar saya mempengaruhi pikiran saya untuk melanjutkan sekolah ke madrasah itu. Orang dikampung tempat saya tinggal itu lebih mementingkan melanjutkan sekolah ke sekolah umum dibandingkan dengan melanjutkan ke sekolah agama.

“Kenapa kamu melanjutkan sekolah ke MAN ? ntar kamu mau kuliah dimana ? kamu mau jadi apa tamat dari situ ? mau jadi ustad !!!!, ah sudahlah ustad sudah banyak ngapain kamu jadi ustad lagi !!” (ujar masyarakat disekitar saya). Saya sedikitpun tak pernah terpengaruh oleh olokan dan cemoohan orang-orang itu, saya optimis dan yakin dengan pilihan hati saya bahwa inilah yang terbaik. Tak hentinya motivasi dari seorang malaikat tanpa sayap yang diberikan tuhan untuk saya yaitu ibu yang sangat saya cintai. Ibu bagi saya seorang pelita penerang yang menyinari anaknya sampai kapanpun dan dimanapun. “Terima kasih ibu”.

Hari demi hari saya lalui semua dengan iklas di madrasah saya, waktupun terus berjalan seakan tak terasa untuk menyelesaikan sekolah. Pada saat kelas 12, rasa kesedihan dan rasa akan kehilangan keluarga baru (teman-teman) seakan sudah mulai menghampiri. Saya merupakan ketua kelas dari kelas 12 Agama 1, saya lebih menekankan konsep kekeluargaan kepada seluruh teman-teman agar setelah kita berpisah pun silaturrahmi kita masih tetap terjalin dan takkan berhenti walaupun terpisah jarak dan waktu. Kami pun terasa seperti sebuah keluarga yang saling melengkapi satu sama lain, bahkan kelas kami banyak meraih prestasi dalam bidang apapun dikala itu.

Libur tenang pun datang, sebelum melaksanakan sebuah evaluasi yang besar yang dikenal dengan Ujian Nasional (UN). Minggu dimana seluruh anak kelas 12 diliburkan dengan maksud menengankan dan menghilangkan semua masalah yang terjadi dalam diri sebelum melaksanakan UN tersebut. Tapi libur tenang itu tidak bersahabat, tidak menenangkan, bahkan tidak menyelesaikan masalah bagi saya, kenapa ?? saat libur tenang tersebut menjadi sebuah kesedihan yang mendalam bagi saya bahkan sampai sekarang saya masih merasakannya. Saya kos didekat madrasah, saat libur tenang saya pulang kampung atau  kembali ke rumah untuk meminta doa dari sang ayah dan ibu semoga melaksanakan ujian nasional berjalan lancar. Jatah libur diberikan sekolah saat itu 4 hari. Saya telah melalui 3 hari libur itu dirumah bersama keluarga. Satu hari sebelum ujian nasional merupakan puncak awal kesedihan saya bahkan yang dinamakan libur tenang itu seakan tak ada artinya sedikitpun.

Pada suatu malam saat ba’da magrib, saya mau makan dengan ibu dan adik-adik saya. Setelah semua makanan terhidang kemudian datang seorang ibu-ibu dan anaknya memberitakan bahwa ayah saya kecelakaan dan dia tidak tau ke rumah sakit mana ayah saya dibawa. Suasana saat itu terasa sangat tegang, adik-adik saya langsung menangis mendengar kabar tersebut. Tanpa pikir panjang dengan kegelisahan yang tidak menentu itu saya langsung mengambil motor paman saya dan mencari sendiri ke rumah sakit mana ayah dibawa. Waktu itu pukul 22.00 saya telah mencari ayah saya didua rumah sakit tapi hasilnya nihil tidak ada ayah disana.

Hati semakin cemas dan kesedihan yang tidak tertahan lagi membuat saya berhenti dipinggir jalan, “kemana lagi aku harus mencari ayah dan dimana ayah??”(ujar saya berbicara sendiri). Kemudian ada sebuah telfon dari nomor yang tidak saya kenal, dia bilang “nak kamu dimana, ayahmu tidak dibawa ke rumah sakit, ayahmu dibawa ke tempat tukang urut dekat rumahmu”(ujar orang misterius itu). Dengan nafas yang terengah-engah saya langsung menuju ke tempat urut tersebut, ternyata ayah saya memang benar disana. Ayah tak menderita luka sedikitpun tetapi hal yang lebih besar terjadi pada ayah, kaki ayah patah dan harus dilakukan pengobatan yang lebih serius agar bisa sembuh.

Keheningan dan sunyi senyap disertai rasa dingin malam yang semakin terasa menambah kesedihan yang semakin mendalam dihati. Tak tau apa yang akan terjadi pada ayah, apakah ayah akan bisa berjalan seperti semula atau tidak. Tepat pukul 02.00 dini hari, saya harus terpaksa balik ke rumah karena adik-adik hanya berdua saja dirumah dan besoknya saya harus melakukan ujian nasional. Sebelum berangkat ke sekolah ibu sempat menelvon dulu kepada saya, “Nak!! Kamu harus tetap semangat ujian ya, kamu fokus dulu ujian, ayah pasti akan sembuh kok, ingat kamu itu agent of change, social control, cerdas cendikia, iron stock bagi keluarga. Ingat !!”. Dengan hati yang bercampur gundah gulana saya paksakan untuk terus bersemangat melaksanakan ujian walaupun dalam pikiran ada sebuah masalah yang besar menopang.

Ujian nasional pun berakhir setelah 4 hari melaksanakan ujian, semua siswa riang gembira karena tak ada ujian yang akan mereka hadapi lagi, tak terkecuali dengan saya. Bahkan satu orang teman pun tak tau apa yang terjadi pada saya karena saya tidak mau menceritakan kesedihan saya pada siapapun. Semua teman kelas saya akan mengadakan syukuran setelah melaksanakan ujian itu dengan mengadakan makan bersama, saya siap ujian langsung keluar kelas dan menitipkan sebuah pesan kepada wakil ketua kelas.

“ Teman, kondisikan kelas kita ya, aku harus pulang dulu karena ada urusan yang lebih penting lagi dari ini, tolong ya teman. Sampaikan salam maaf saya kepada seluruh teman-teman karena tidak bisa ikut acara syukuran ini, semoga teman bisa paham keadaan saya”,(ujar saya pada wakil ketua). Teman saya yang bernama Jamal ini terus mendesak apa alasan saya tidak bisa ikut acara itu. Tanpa sebuah jawaban yang jelas saya bilang, “maaf ya mal”, dan saya langsung pergi tanpa ada ucapan perpisahan pada teman lain.

Seiring waktu berjalan, hasil kelulusan sekolah menegah atas akhirnya keluar, Alhamdulillahirrabbil ‘alamiin akhirnya saya lulus dengan nilai yang memuaskan. Tapi saya harus menunggu sebuah hasil pengumuman yang lebih besar lagi selain hasil kelulusan sekolah tersebut. Ya, hasil dari Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negri (SNMPTN). Keinginan saya untuk kuliah diluar Sumatra pun, saya lampiaskan dengan mendaftar SNMPTN ke Yogyakarta, kota yang saya impikan sejak dulu. Rasa sedih dan gundah serta pemikiran yang harus saya pertimbangkan matang-matang saat itu menuntut pemikiran saya agar lebih bijak lagi. Kenapa demikian, karena kalau saya kuliah siapa yang akan mencarikan biaya kuliah saya, sedangkan ayah saya tidak bisa berjalan dan saya tidak sanggup melihat ibu mencari uang sendiri. Biaya obat ayah saja, dengan rasa terpaksa dan sedih saya harus menjual sapi kesayangan ayah yang sudah dipelihara selama 1 tahun.

Keputusan yang ditunggu pun datang, ternyata saya lulus SNMPTN di Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kelulusan saya ini membuat hati saya tambah resah dan gundah apakah akan mengambil kesempatan ini atau membantu ibu bekerja memenuhi kebutuhan hidup. Saya dan adik-adik kemudian mendatangi ibu ke tempat pengobatan ayah, untuk memberikan kabar gembira ini apakah ibu akan senang atau malah membuat ibu makin sedih. Dengan terbata-bata juga disertai air mata akhirnya saya bilang kepada ibu,”Bu, Ndi lulus SNMPTN di Yogyakarta, mungkin Ndi tidak akan mengambil bu, karena Ndi tidak sanggup melihat ibu mencarikan uang kuliah ndi dan sekolah adik-adik, Ndi akan membantu ibu bekerja biar adik-adik bisa mengenyam pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi”.

Mendengar pembicaraan saya itu, ibu bukannya sedih melainkan ibu malah tersenyum, dan ibu bilang,”kamu ini, masa laki-laki cengeng, ini hanya baru beberapa hal kecil yang menguji kesabaran kita, kamu harus tetap kuliah ibu masih kuat kok mencari uang dan ayah tak lama lagi pasti akan sembuh, kamu harus tanamkan prinsip dalam diri kamu itu “alam takambang jadi guru” (falsafah orang minang). Jangan jadikan kesedihan dan keterbatas menjadi penghalangmu untuk bercita-cita yang tinggi, kita yang penting sabar saja, tuhan itu maha pengasih dan penyayang, tuhan itu tidak akan memberikan cobaan dan musibah kepada hambanya melainkan atas kesanggupan hambanya, ingat!”. Tetesan air mata yang mengalir dipipi tidak dapat saya bendung, saya kemudian memeluk ayah dan ibu serta adik-adik saya yang akan saya tinggalkan untuk beberapa tahun kedepan.

Keputusan yang sudah pasti dan keinginan untuk kuliah ke Yogyakarta nampaknya sudah akan terwujud serta dukungan dan motivasi dari ayah dan ibu yang sangat luar biasa. Namun tidak berhenti sampai disitu saja, saya harus bekerja keras untuk mencari uang , ongkos pesawat, dan biaya hidup saya di Yogyakarta nanti. Pilihan pekerjaan saya saat itu hanyalah melanjutkan pekerjaan ladang atau kebun ayah yang terbengkalai serta sedikit sawah yang keluarga kami miliki. Kenalan yang banyak dengan orang-orang penting seperti Bapak wali nagari/lurah, Bapak bupati, dan Bapak Kemenag juga menjadi berkah tersendiri bagi saya untuk mendapatkan dana bantuan biaya. Bermodalkan sebuah proposal yang dikarang sendiri dan kemudian saya mengajukannya kepada orang-orang penting itu. Alhamdulillah akhirnya selang sekitar 3 minggu mereka menanggapi proposal itu dengan memberikan saya sedikit bantuan dana untuk ongkos pesawat dan biaya kebutuhan lainnya.

Dana yang sudah cukup, dukungan serta motivasi yang tak henti-hentinya diberikan oleh sang ayah dan ibu, menjadi sebuah cambuk semangat yang luar biasa bagi saya untuk melanjutkan kuliah dan menggapai impian saya. Ibu tercinta selalu menekankan prinsip “alam takambang jadi guru” dan “dimaa bumi dipijak disinan langik dijunjuang” (dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung). Walaupun ibu saya tidak memiliki pendidikan yang tinggi tapi ibu saya sudah mengenal istilah agent of change, social control, iron stock, dan cerdas cendikia. Ingatlah bahwa agent of change bukan hanya sekedar mantra-matra berbusa. Sosial control bukan sekedar omong kosong yang tolol belaka. Iron stock bukan sekedar cerita gagah-gagahan yg dusta . Cerdas cendikia bukan diotak semata tetapi di perilaku yg mulia.

Akhirnya perpisahan dengan keluarga pun terjadi di Bandara Internasional Minangkabau. Perpisahan yang diiringi air mata ini membuat saya serasa tidak kuat untuk meninggalkan seluruh keluarga. Apalagi ayah, ayah pada saat itu tidak bisa ikut mengantarkan kepergian saya ke bandara. Deraian air mata adik-adik serasa menghentikan sebuah langkah saya untuk pergi, bahkan adik saya yang kecil dia malah mengejar saya pada saat saya sedang melakukan check-in. Satu jam kemudian saya akan menaiki pesawat yang akan saya tumpangi menuju Yogyakarta. Lambaian tangan dari kejauhan dari orang yang paling spesial yang saya sebut malaikat tanpa sayap yang diberikan tuhan kepada saya, “selamat tinggal ibuku tercinta, I love you mom and dad”.

Keberangkatan pesawat tidak dapat diberhentikan supaya bisa berjumpa lagi dengan keluarga. Akhirnya sampai juga seorang bocah ingusan yang dulu mempunyai impian kuliah diluar pulau Sumatra terwujud berkat keinginan keras, optimis, keyakinan, kesungguhan dan keiklasan dalam menjalani hidup.

Sekarang saya sudah di Yogyakarta, saya belum pernah pulang berjumpa keluarga dikampung. Kerinduan yang luar biasa kepada ibu, ayah, adik-adik dan seluruh keluarga saya yang lain. “I miss you mom and dad”.

Satu lagi yang perlu saya sampaikan kepada seluruh pembaca cerpen saya ini, jangan pernah menyerah seperti apapun keadaanmu, “never give up!”.  Sekarang ayah masih belum bisa berjalan seperti biasa, ayah sekarang masih memakai tongkat untuk menopang jalan beliau, saya mohon doa kepada semuanya agar ayah saya bisa berjalan seperti semula lagi. Terima kasih untuk semuanya. . .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun