Mohon tunggu...
Rendi  Febria
Rendi Febria Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Impian Bocah Ingusan ke Kota Pelajar

28 Desember 2016   21:11 Diperbarui: 28 Desember 2016   21:19 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
5 sahabat (sumber:rendifebriaputra)

Seiring waktu berjalan, hasil kelulusan sekolah menegah atas akhirnya keluar, Alhamdulillahirrabbil ‘alamiin akhirnya saya lulus dengan nilai yang memuaskan. Tapi saya harus menunggu sebuah hasil pengumuman yang lebih besar lagi selain hasil kelulusan sekolah tersebut. Ya, hasil dari Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negri (SNMPTN). Keinginan saya untuk kuliah diluar Sumatra pun, saya lampiaskan dengan mendaftar SNMPTN ke Yogyakarta, kota yang saya impikan sejak dulu. Rasa sedih dan gundah serta pemikiran yang harus saya pertimbangkan matang-matang saat itu menuntut pemikiran saya agar lebih bijak lagi. Kenapa demikian, karena kalau saya kuliah siapa yang akan mencarikan biaya kuliah saya, sedangkan ayah saya tidak bisa berjalan dan saya tidak sanggup melihat ibu mencari uang sendiri. Biaya obat ayah saja, dengan rasa terpaksa dan sedih saya harus menjual sapi kesayangan ayah yang sudah dipelihara selama 1 tahun.

Keputusan yang ditunggu pun datang, ternyata saya lulus SNMPTN di Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kelulusan saya ini membuat hati saya tambah resah dan gundah apakah akan mengambil kesempatan ini atau membantu ibu bekerja memenuhi kebutuhan hidup. Saya dan adik-adik kemudian mendatangi ibu ke tempat pengobatan ayah, untuk memberikan kabar gembira ini apakah ibu akan senang atau malah membuat ibu makin sedih. Dengan terbata-bata juga disertai air mata akhirnya saya bilang kepada ibu,”Bu, Ndi lulus SNMPTN di Yogyakarta, mungkin Ndi tidak akan mengambil bu, karena Ndi tidak sanggup melihat ibu mencarikan uang kuliah ndi dan sekolah adik-adik, Ndi akan membantu ibu bekerja biar adik-adik bisa mengenyam pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi”.

Mendengar pembicaraan saya itu, ibu bukannya sedih melainkan ibu malah tersenyum, dan ibu bilang,”kamu ini, masa laki-laki cengeng, ini hanya baru beberapa hal kecil yang menguji kesabaran kita, kamu harus tetap kuliah ibu masih kuat kok mencari uang dan ayah tak lama lagi pasti akan sembuh, kamu harus tanamkan prinsip dalam diri kamu itu “alam takambang jadi guru” (falsafah orang minang). Jangan jadikan kesedihan dan keterbatas menjadi penghalangmu untuk bercita-cita yang tinggi, kita yang penting sabar saja, tuhan itu maha pengasih dan penyayang, tuhan itu tidak akan memberikan cobaan dan musibah kepada hambanya melainkan atas kesanggupan hambanya, ingat!”. Tetesan air mata yang mengalir dipipi tidak dapat saya bendung, saya kemudian memeluk ayah dan ibu serta adik-adik saya yang akan saya tinggalkan untuk beberapa tahun kedepan.

Keputusan yang sudah pasti dan keinginan untuk kuliah ke Yogyakarta nampaknya sudah akan terwujud serta dukungan dan motivasi dari ayah dan ibu yang sangat luar biasa. Namun tidak berhenti sampai disitu saja, saya harus bekerja keras untuk mencari uang , ongkos pesawat, dan biaya hidup saya di Yogyakarta nanti. Pilihan pekerjaan saya saat itu hanyalah melanjutkan pekerjaan ladang atau kebun ayah yang terbengkalai serta sedikit sawah yang keluarga kami miliki. Kenalan yang banyak dengan orang-orang penting seperti Bapak wali nagari/lurah, Bapak bupati, dan Bapak Kemenag juga menjadi berkah tersendiri bagi saya untuk mendapatkan dana bantuan biaya. Bermodalkan sebuah proposal yang dikarang sendiri dan kemudian saya mengajukannya kepada orang-orang penting itu. Alhamdulillah akhirnya selang sekitar 3 minggu mereka menanggapi proposal itu dengan memberikan saya sedikit bantuan dana untuk ongkos pesawat dan biaya kebutuhan lainnya.

Dana yang sudah cukup, dukungan serta motivasi yang tak henti-hentinya diberikan oleh sang ayah dan ibu, menjadi sebuah cambuk semangat yang luar biasa bagi saya untuk melanjutkan kuliah dan menggapai impian saya. Ibu tercinta selalu menekankan prinsip “alam takambang jadi guru” dan “dimaa bumi dipijak disinan langik dijunjuang” (dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung). Walaupun ibu saya tidak memiliki pendidikan yang tinggi tapi ibu saya sudah mengenal istilah agent of change, social control, iron stock, dan cerdas cendikia. Ingatlah bahwa agent of change bukan hanya sekedar mantra-matra berbusa. Sosial control bukan sekedar omong kosong yang tolol belaka. Iron stock bukan sekedar cerita gagah-gagahan yg dusta . Cerdas cendikia bukan diotak semata tetapi di perilaku yg mulia.

Akhirnya perpisahan dengan keluarga pun terjadi di Bandara Internasional Minangkabau. Perpisahan yang diiringi air mata ini membuat saya serasa tidak kuat untuk meninggalkan seluruh keluarga. Apalagi ayah, ayah pada saat itu tidak bisa ikut mengantarkan kepergian saya ke bandara. Deraian air mata adik-adik serasa menghentikan sebuah langkah saya untuk pergi, bahkan adik saya yang kecil dia malah mengejar saya pada saat saya sedang melakukan check-in. Satu jam kemudian saya akan menaiki pesawat yang akan saya tumpangi menuju Yogyakarta. Lambaian tangan dari kejauhan dari orang yang paling spesial yang saya sebut malaikat tanpa sayap yang diberikan tuhan kepada saya, “selamat tinggal ibuku tercinta, I love you mom and dad”.

Keberangkatan pesawat tidak dapat diberhentikan supaya bisa berjumpa lagi dengan keluarga. Akhirnya sampai juga seorang bocah ingusan yang dulu mempunyai impian kuliah diluar pulau Sumatra terwujud berkat keinginan keras, optimis, keyakinan, kesungguhan dan keiklasan dalam menjalani hidup.

Sekarang saya sudah di Yogyakarta, saya belum pernah pulang berjumpa keluarga dikampung. Kerinduan yang luar biasa kepada ibu, ayah, adik-adik dan seluruh keluarga saya yang lain. “I miss you mom and dad”.

Satu lagi yang perlu saya sampaikan kepada seluruh pembaca cerpen saya ini, jangan pernah menyerah seperti apapun keadaanmu, “never give up!”.  Sekarang ayah masih belum bisa berjalan seperti biasa, ayah sekarang masih memakai tongkat untuk menopang jalan beliau, saya mohon doa kepada semuanya agar ayah saya bisa berjalan seperti semula lagi. Terima kasih untuk semuanya. . .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun