Mohon tunggu...
Rendi  Febria
Rendi Febria Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lidah; Antara Estetika, Normatif, dan Spiritualitas

24 Desember 2016   14:26 Diperbarui: 24 Desember 2016   14:56 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbicara merupakan aktivitas yang memang menjadi tugas lidah untuk melakukannya, lidah mempunyai kosa kata ynag bnyak dan kaya, punya diksi ynag lengkap, serta mempunyai estetika yang tidak dimiliki oleh organ tubuh lain. Maka, lidah dapat menjadi penghias bagi manusia sehingga banyak orang bertekuk lutut akibat pembicaraan yang luar biasa seseorang. Banyak orang jatuh dalam pelukan seseorang akibat sang lidah ini mengeluarkan panah pembius yang cukup jitu yang dapat melelhkan orang yang keras nalurinya. Sang lidah tadi juga dapat menjadi bisa berbahaya dan penuh racun yang mematikan siapa saja.

Dari sisi estetika, tentu semua orang tahu bahwa wilayah estetika atau keindahan merupakan wilayah yang seharusnya merdeka dari berbagai sekat moral apa pun. Dalam lokasi estetika, tentu tidak ada batasan yang bersifat yuridis apakah hal itu halal atau tidak, tetapi wilayah estetika sebenarnya melampaui etika dan norma. Demikian halnya dengan lidah manusia, ia tidak sekedar sebagai alat indra ynag mempunyai tugas sebagai penghubung agar orang lain tahu tentang apa yang ada dalam hatinya dengan bantuan kosa kata yang tersedia. Tetapi, karena wilayah estetika terlalu luas maka kadang kala sesuatu yang bernialai estetik itu melampaui ranah etika sehingga ia terkesan bertentangan dengan ajaran yang benar.

Dengan kata lain, sering kita menemukan keruwetan tentang batas etika seseorang dalammenggunakan lidahnya. Wilayah estetika mempunyai kedudukan yang tinggi dalam struktur pengetahuan kita, sementara wilayah etika adalah wilayah yang mengatur dataran operasionalnya yang sifatnya standar menurut kepatutan dan kepantasan sosial. Mari kita menyederhanakan pembahasan ini pada ranah pergerakan lidah, baik yang berfungsi normatif seperti berkomunikasi dan fungsi spiritual untuk melakukan dzikir dan membaca mantra dan doa, sekaligus lidah dalam konteks seni atau estetika.

Sekalipun tradisi berbicara, sebagaimana sejarah berbicara atau ngomong dalam bahasa yanag populer, orang memaknai berbicara sama dengan retorika, yang pada intinya adalah seni bagimana orang berbicara. Dalam pemahaman yang lazim, retorika yang makna aslinya adalah seni berbicara disederhanakan menjadi seni berpidato. Makna retorika mengalami penyempitan sehingga retorika seakan sama dengan ilmu bagaimana seseorang bisa berpidato di depan orang banyak.

Untuk itulah, dalam memahami setiapaktivitas menggerakkan lisan atau lidah, sebenarnya kita ditunjukkan kepada tiga penampilan sekaligus: Lidah melakukan aktivitas komunikasi yang bersifat normatif. Lidah melakukan kegiatan spiritual dalam bentuk yang beragam, seperti membaca kitab suci, berdzikir, dan membaca mantra. Lidah melakukan aktivitas ektetis, dimana ia mengungkapkan berbagai hal dan pihak lain merasakan adanya keindahan dari apa yang diucapkannya itu.

Sekarang mari kita lihat, apakah dalam keseharian kita menggerakkan lidah hanya sebatas aktivitas normatif, spiritual, dan estetik?. Mana yang paling dominan dalam penggunaan lidah itu?. Jika kita telusuri sebenarnya aktivitas komunikasi juga bagian dari aktivitas estetik yang mengandung nilai seni. Karena, dalam setiap pembicaraan atau bercakap-cakap pasti ada unsur mengajak atau diajak, menjebak atau dijebak, dirayu atau merayu, menjadi pendengar atau pembicara, dan menerima pembicaraan atau menolak?.

Oleh sebab itu, gerakan lidah yang mengucapkan berbagai argument dengan berbagai kata-kata dan bahasa, sebenarnya menunjukkan cara kerja ketiga aktivitas lidah secara bersamaan, baik estetik, normatif, maupun spiritual sehingga yang dituliskan dalam buku “misteri lidah manusia”  karangan Nurul Mubin berkesimpulan bahwatidak selamanya setiap sesuatu yang berdimensi estetik itu bertentangan dengan syariat sebagaimana seni diharamkan karena dianggap bertentangan dengan syariat islam.

Maka dari itu, yang perlu diuraikan disini adalah bagaimana seseorang mampu menyinergikan kemampuan lidah itu untuk bergerak secara  indah, tetapi juga tidak melampaui kerangka yang bersifat syar’i. Berikut ini uraian tentang bagaimana semestinya lidah itu digunakan.

Berbicara lah seperlunya menurut kebutuhan. Jangan biarkan lidah anda mempunyai hobi untuk terus berbicara. Karena, tidak semua ppembicaraan lidah itu mengandung hikmah, tetapi sesekali juga mengandung fitnah. Maka, sebaiknya berbicaralah menurut kebutuhan bukan menurut selera. Mungkin kita sesekali pernah melihat orang yang mempunyai hobi berbicara, perhatikan dan amatilah pasti apa yang dibicarakannya itu tidak mengandung hikmah, akan tetapi sesekali juga mengandung ghibah,  menggunjing dan bahkan sesekali menfitnah. Kita juga perlu memperhatikan orang yang tidak suka berbicara, kadang apa yang dibicarakan banyak mengandung hikmah.

Orang yang banyak bicara akan mudah terlihat ketololannya, sebaiknya orang yang sedikit bicaratentu akan tertutup aib dan kebodohannya. Untuk itu, jika anda ingin terlihat sebagai seorang yang tolol maka banyak-banyaklah berbicara. Karena, hobi bicara menuntut seseorang untuk melakukan apa yang ia bicarakan. Selain itu, orang banyak berbicara dan suka bicara tanpa mengetahui secara pasti kebenarannya maka akan mendatangkan dosa bagi dirinya sendiri. Rasulullah SAW bersabda:

Sesungguhnya jika seseorang hamba berbicara dengan kalimat yang belum jelas baginya (jelas benar dan salahnya) maka ia akan tergelincir ke dalam neraka sejauh jarak antara timur dan barat.”(H.R. Bukhari).

Hadits ini membimbing kita supaya tidak menggunakan lidah secara boros, sehingga tidak semua hal yang terjadi dikomentari oleh sang lidah berbisa tersebut. Karena kecendrungan dan hobi dan memperbanyak bicara sesuatu yang ia tidak tahu akar permasalahannya akan mendatangkan musibah yang besar. Mengenai hal tersebut, Imam Syafi’i juga pernah mengatakan dalam salah satu ceritanya, ketika beliau tidak pernah membalas dan cenderung diam ketika dimusuhi.

Ia mengatakan, “banyak orang berkata: mengapa engkau diam, padahal engkau dimusuhi?. Imam Syafi’i meniru teguran teman-temannya. “Menanggapi suatu permusuhan jawabannya sama dengan melakukan kejahatan. Bersikap diam dalam menghadapi orang bodoh merupaka kebijaksanaan. Sebab, di dalam sikap diam terdapat upaya memelihara kehormatan. Tidakkah engkau ketahui bahwa harimau ditakuti karena berdiam diri atau diamnya?”. Bukankah anjing berkeliaran di jalan raya sering dilempari orang karena ia terlalu banyak menggonggong?”

Oleh karena itu, kita bisa belajar dari seorang Imam besar ini karena ia menganggap diam sebagai perniagaan. Meskipun tidak ada untungnya, tetapi paling tidak seseorang tidak akan rugi. Ada sebuah mantra hebat mengatakan, “ orang bodoh itu ngomong, tapi orang bijak itu bicara yang baik”.

Kebanyakan kita selalu sibuk untuk berlatih bagaimana berbicara di depan publik dengan baik. Berbagai latihan dilakukan, termasuk diantaranya dengan berpidato, retorika, dan lain sebagainya.Untuk itu, anda perlu bersyukur karena termasuk orang yang lincah dalam berbicara dan fasih ketika mengucapkan kata-kata, karena ada juga orang yang tidak dikaruniai kemudahan dalam mengungkapkan isi hatinya dengan kata-kata. Ia berkata dengan gugup, tidak sistematis pembicaraannya, bahkan kadang kala setiap pembicaraannya itu tidak bisa dipahami oleh orang lain.

Bagi anda yang sudah memiliki bakat alamiah dalm bentuk kemudahan ketika mengungkapkan kata-kata dan berbicara maka hendaknya anda mengelola lidah dengan baik. Karena semua lidah, baik yang fasih atau tidak ketika berbicara, mempunyai kesamaan potensi untuk melakukan kemaksiatan sekaligus juga dapt melakukan kebaikan. Dalam kehidupan kita sehari-hari, banyak  sekali orang yang kebingungan  dan mempertanyakan hal-hal berikut: bagaimana saya berbicara, bagaimana memilih kata-kata yang baik untuk bicara, bagimana mengusai materi agar pembicaraan tidak ditertawakan orang, kenapa ide yang selalu saya utarakan selalu hilang, dan bagaimana memulai pembicaraan ?.

Pertanyaan-pertanyaan itu tentu tidak salah anda utarakan, dan pertanyaan anda itu harus sungguh dicari jalan keluarnya. Dengan berbagai langkah, tentu anda harus dapat berbicara dengan fasih dan lancar sebagaimana kedua orang tua kita mengajari kita supaya bisa berbahasa dengan benar, fasih, jelas, dan dapat dipahami.

Berbagai pertanyaan di atas kelak menjadi sesuatu yang semestinya diajukan karena pertanyaan pada fase awal tentu pertanyaan untuk memacu seseorang agar ia dapat berbicara dengan lancar, cepat, tepat, dan benar. Dengan kata lain, seharusnya seseorang “terutama” yang suadh bisa berbicara dengan lancar, tepat, dan benar, serta fasih menggunakan bahasa, seharusnya menggunakan argumentasi dengan pernyataan yang reflektif, “apa yang telah saya katakan”. Untuk itu, orang yang berpikir reflektif tentu akan menggunakan cara pandang seperti, “pikirkan apa yang sudah anda katakan”. Sebaliknya, bukan dengan mengajukan pertanyaan, “apa yang akan saya katakan”.

”Jangan anda katakan apa yang ada dalam pikiran, tetapi pikirkan apa yang anda katakan”. Maksudnya, jika anda mengatakan segala sesuatu yang ada dalam pikiran maka akan menimbulkan banyak masalah. Sebab, tidak semua orang akan menerima pikiran anda sekaligus ide anda itu, tetapi yang bijak adalah bagaimana anda memikirkan tentang apa yang anda katakan karena itu akan memberikan pengayaan reflektif bagi seseorang untuk menilai dan mengevaluasi setiap apa yang dikatakannya.

Lidah manusia seharusnya bergerak untuk selalu berdzikir kepada Allah SWT. Karena setiap organ tubuh itu mempunyai hak, dan setiap hak harus ditunaikan kepada yang bersangkutan. Setiap sesuatu mempunyai hak. Sebagaimana tubuh manusia mempunyai hak untuk beristirahat dan berolah raga, hati manusia mempunyai hak untuk senantiasa dekat dengan pemiliknya (Tuhan) dengan beribadah kepadaNya. Demikian halnya dengan mata, ia punya hak untuk melihat hal-hal yang menjadi haknya dan bukan hal-hal yang bathil, demikian pun juga  dengan telinga ia punya hak untuk mendengar setiap nasehat dan kebaikan, bahkan lidah manusia atau senjata mematikan ini pun juga demikian, ia mempunyai hak untuk berbicara dengan sesuatu yang baik dan ada hak utama yang ada pada lidah, yaitu berdzikir.

Dzikir merupakan bagian dari cara orang terhindar dari membicarakan hal-hal yang tidak perlu dan semestinya, dzikir juga dapat mengobati seseorang dari penyakit hati dan akan menambah ketentraman dalam kehidupannya.  Diakhir tulisan ini saya akan menutupnya dengan sebuah syair untuk membimbing lidah yang dikutip dari Adzkar Nawawi:

”Seorang pemuda tertimpa musibah karena tergelincir lidahnya

Jarang orang yang tertimpa bencana karena tergelincir kakinya

Tergelincir dalam ucapan akan menghilangkan kepala

Sedangkan jika kaki yang tergelincir akan sembuh dengan segera.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun