Mohon tunggu...
Rendi  Febria
Rendi Febria Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Islam dan 3 Tantangan Peradaban Sekular

21 Desember 2016   08:32 Diperbarui: 21 Desember 2016   09:51 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Peradaban Tanpa Cinta

Tujuh abad yang lalu Jalaluddin Ar Rumi penyair besar sufi dari kalangan balkh, dalam karya monumentalnya matsani mengungkap: “jika tiada cinta, dunia akan membeku”. Cinta baginya adalah penaka lautan yang luas dan dalam, seluas dan sedalam daya jelajah nurani manusia itu sendiri. Cintalah semestinya menjadi pilar utama bagi asas hubungan antarmanusia, antarbangsa, antarkebudayaan, antarsistem hidup yang berbeda. Pertimbangan rasional dan kepentingan melulu tampaknya sering benar membawa kepada kebinasaan. Perang adalah salah satu bentuk ekstrem yang desduktif dari corak hubungan manusia yang terlepas dari padanan cinta.

Cinta adalah akar dari segala kebaikan dan keutamaan hidup manusia. Oleh sebab itu nabi Isa a.s pernah berpesan: “cintailah jiranmu (tetanggamu)”. Nabi Muhammad dalam sebuah haditsnya juga mengatakan: “tidaklah beriman seseorang diantara kamu sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. Tapi pada saat peradaban manusia semakin materialistis, masih adakah telinga yang mau mendengar pesan dari Baginda Rasullullah SAW tersebut? Tenttunya masih ada, tetapi kebanyakan mereka sedang berada di arus pinggir gelombang peradaban. Peradaban yang menguasai arus globalisasi, berkat ilmu dan teknologi modern adalah peradaban yang lahir dari konstitusi hati yang sedang membatu dan membeku.

Kebekuan hati memiliki banyak impilikasi. Pertama, lenyapnya kepekaan terhadap nilai yang baik dan buruk. Baik dan buruk telah dijadikan komuditas perniagaan tanpa moral. Hati yang beku dilukiskan dalam Al-Quran “lahum qulubun laa yafqahuna biha” (Q.S.7:179). Hati mereka sudah buta dan sudah tidak berfungsi lagi sebagaimana semestinya. Kedua, dalam hubungan persaudaraan yang semata-mata ditentukan oleh kekuatan benda dan kepentingan profan lainnya. Peradaban barat yang terlepas dari ajaran cinta nabi Isa a.s adalah diantara sebab utama mengapa suasana dunia terasa begini kering dan tandus.maka dari itu dunia isam pun telah lama terpecah, ajaran persaudaraan sejati yang disimbolkan dan ditekankan Al-Quran sudah tidak dihiraukan lagi, semata-mata karena tarikan kepentingan benda dan bangsa yang lebih diutamakan.

Ketiga, dapat kita lihat dalam bentuk kerakusan, baik terhadap benda maupun terhadap kekuasaan. Benda dan kekuasaan di tangan hati yang membeku akan membawa malapetaka. Kerakusan sebenarnya adalah simbol dari struktur batin yang sakit dan labil. Malangnya adalah banyak orang yang tidak mampu melihat bencana yang mungkin ditimbulkan oleh watak rakus ini, khususnya dalam suatu sistem kekuasaan yang tertutup. Komunisme pada abad-abad mendatang tampaknya akan menjadi sia-sia (tuyang-tuyang) peradaban adalah bentuk ekstrem dari kekuasaan tertutup ini. Penganut paham ini rakusnya terhadap kekuasaan luar biasa.

Kerakusan terhadap benda adalah diantara bentuk watak sistem kapitalisme. Dengan demikian, baik komunisme maupun kapitalisme adalah sistem yang lahir dari rahim peradaban tanpa cinta, tanpa orientasi spiritual. Peradaban semacam inilah yang hampir meluluhkan eksistensi umat manusia pada era millenium ini. Akhirnya akankah dunia yang akan datang dapat menciptakan sebuah peradaban yang ramah dan lebih toleran?. Tidaklah mudah untuk menjawabnya, tapi adalah kewajiban kita untuk terus bergerak ke jurusan itu dengan memanfaatkan keadaan peradaban yang sedang sekarat itu. Ketumpulan wawasan moral dan kerakusan terhadap benda dan kekuasaan sepanjang sejarah telah mencabik-cabik prinsip kesatuan umat manusia itu. Bersatu kembalilah, demi meraih peradaban yang benar-benar dilandasi oleh cinta.

Peradaban How Tanpa Why

Sebuah mantra hebat dari seorang filosof Prancis,Cogito Ergo Sum (saya berpikir, maka dari itu saya ada). Dengan mantra ini telah membawa barat tidak lagi sibuk untuk mengajukan pertanyaan “why”, tapi cukup menumpukkan perhatian pada masalah “how”, masalah teknis tentang “bagaimana”. Contohnya: Bagaimana (how) membuat bom nuklir, bagaimana menghancurkan Irak, bagaimana menindas orang-orang muslim Bosnia, bagaimana memecah dunia islam?. Adapaun mengapa (why) semuanya itu dilakukan, tidak perlu dilakuakan secara serius.

Amat disayangkandunia islam belum menyadari benar tentang betapa akutnya masalah yang dihadapi. Beberapa pimpinan formal negeri muslim tetap saja mempertunjukan kebahlulan politiknya terhadap gerakan politik yang terus menguasai mereka. Yang penting ialah bagaimana caranya agar dunia islam punya peran penting dalam mencoraki arus sejarah global ini. Diantara agama-agama besar di dunia ini, memang islam sajalah yang pernah dan akan terus menggugat sendi-sendi peradaban yang terlepas dari wahyu. Oleh sebab itu, Hamid Algar dalam artikelnya:”islam and intelectual challenge of modern civilization”, logika jangan dibalik. Bukan peradaban yang menjadi tantangan bagi islam, tapi islamlah yang menjadi tantangan bagi peradaban sekularistik dan ateistik itu. Kata Algar, islam menawarkan kepada manusia modern, bukan sperangkat penyelesaian bagi masalah-masalah yang dihadapinya, tapi sebuah pilihan arah yang sama sekali berlainan.

Bila demikian keadaanya, untuk mengutip kata Algar tersebut, islam bukan saja tantangan bagi peradaban, tapi sekaligus merupakan tantangan perilaku muslim yang telah melenceng jauh dari prinsip moral yang begitu gamblang diajarkan Al-Quran. Dunia islam, khususnya yang da di Asia Barat dan Afrika Utara, masih tercabik-cabik oleh berbagai perbedaan kepentingan politik dan ekonomi. Mereka sudah lam memekakkan telinga dari seruan Al-Quran tentang persaudaraan. Yang kaya semakin terbuai dengan kekayaannya, yang miskin semakin terombang-ambing  oleh tarikan politik kiri dan kanan yang semakin merajalela.

Akhirnya yang akan digugat islam bukanlah perkembangan ilmu dan teknologi, tapi peradaban yang kehilangan orientasi transidental yang tidak diragukan lagi, cepat atau lambat pasti akan merapuhkan sendi-sendi kehidupan di permukaan bumi ini. Kebisingan orang dengan persoalan “how” telah membuahkan ketidakpedulian mereka tentang masalah ”why”. “how” adalah simbol dari peradaban teknokrasi yang terlepas dari kendali moral.

Peradaban Sintesis

Bila kita ikuti pemikiran-pemikiran refleksi dari tokokh-tokoh seperti Rabindranath Tagore dan Iqbal tentang masalah peradaban modern, tidaklah sulit bagi kita untuk menarik titik temu yang jelas. Yang merisaukan mereka adalah bukan perkembangan ilmu dan teknologi yang kini menjadi tulung punggung peradaban modern, tetapi mereka lebih risau karena melihat potensi dehumanisasi dari modernisasi teknologi yang tanpa batas. Russell misalnya sudah sejak 1923 mengingat dunia tentang kenyataan terputusnya rantai kemajuan material dan kemajuan moral. Perang dunia 1 contohnya, indikasi global tentang betapa pertimbagan-pertimbangan moral yang sudah tersingkir dari peradaban modern.

Russell belum melihat titik terang yang bermakna bagi sebuah dunia yang damai. Naluri kawanan yang suka menjarah masih cukup nyata dalam peradaban modern. Tagore, dalam ungkapan yang berbeda tapi dalam muatan pesan yang sama, mengharapkan agar dikembangkan “perniagaan hati dan pikiran, simpati dan pengertian”, suatu yang amat langka dalam peradaban industri. Yang dominan adalah kerakusan. Pangkalnya dalah terlepasnya moral dari pertimbangan politik. Industri senjata akan lebih senang mengembangkan “perniagaan perang” ketimbang perniagaan hati dan simpati. Inilah wajah suram dan rona dunia yang sampai saat sekarang masih kita saksikan bersama.

Iqbal telah lama bersenandung untuk menciptakan sebuah sintesis antara penalaran dan cinta. Tapi persoalannya adalah dalam kegalauan dunia sekarang ini, apakah sintesis yang diusulkan Iqbal itu bukan sintesis prematur?. Sebuah sintesi yang berpatokan kepada memahami diktum ini: manusia merupakan umat yang tunggal. Tugas manusia bukan untuk menjarah, saling menghancurkan, saling berpongah dan membanggakan peradaban masing-masing. Tugas kita adalah lita’arafu (untuk saling mengenal, saling menghargai, saling memberi dan menerima) dengan landasan toleransi budaya yang kokoh, kraetif, dan dinamis. Diluar bingkai itu, kehidupan iklim di bumi ini akan tetap terasa panas dan semakin ganas.

Kini alam dikuras dengan cara yang sangat tamak dengan kepongahan peradaban. Kemajun masih saja diukur dalam matrik pertumbuhan ekonomi, capaian teknologi, dan penegmbangan informasi. Tapi untuk apa semuanya itu, sedikit sekali manusia yang mau menghiraukannya. Dalam dunia yang terpecah belah inilah umat manusia kini merangkak menuju pintu era millenium dengan perasaan bimbang, akankah jeritan fitrah manusia mendapatkan sahutan dari abad itu?. Mari bersama-sama kita amati sekiranya jika batang usia kita masih diberi nafas panjang oleh Allah SWT.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun