Mohon tunggu...
Rendi  Febria
Rendi Febria Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Islam dan 3 Tantangan Peradaban Sekular

21 Desember 2016   08:32 Diperbarui: 21 Desember 2016   09:51 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peradaban Sintesis

Bila kita ikuti pemikiran-pemikiran refleksi dari tokokh-tokoh seperti Rabindranath Tagore dan Iqbal tentang masalah peradaban modern, tidaklah sulit bagi kita untuk menarik titik temu yang jelas. Yang merisaukan mereka adalah bukan perkembangan ilmu dan teknologi yang kini menjadi tulung punggung peradaban modern, tetapi mereka lebih risau karena melihat potensi dehumanisasi dari modernisasi teknologi yang tanpa batas. Russell misalnya sudah sejak 1923 mengingat dunia tentang kenyataan terputusnya rantai kemajuan material dan kemajuan moral. Perang dunia 1 contohnya, indikasi global tentang betapa pertimbagan-pertimbangan moral yang sudah tersingkir dari peradaban modern.

Russell belum melihat titik terang yang bermakna bagi sebuah dunia yang damai. Naluri kawanan yang suka menjarah masih cukup nyata dalam peradaban modern. Tagore, dalam ungkapan yang berbeda tapi dalam muatan pesan yang sama, mengharapkan agar dikembangkan “perniagaan hati dan pikiran, simpati dan pengertian”, suatu yang amat langka dalam peradaban industri. Yang dominan adalah kerakusan. Pangkalnya dalah terlepasnya moral dari pertimbangan politik. Industri senjata akan lebih senang mengembangkan “perniagaan perang” ketimbang perniagaan hati dan simpati. Inilah wajah suram dan rona dunia yang sampai saat sekarang masih kita saksikan bersama.

Iqbal telah lama bersenandung untuk menciptakan sebuah sintesis antara penalaran dan cinta. Tapi persoalannya adalah dalam kegalauan dunia sekarang ini, apakah sintesis yang diusulkan Iqbal itu bukan sintesis prematur?. Sebuah sintesi yang berpatokan kepada memahami diktum ini: manusia merupakan umat yang tunggal. Tugas manusia bukan untuk menjarah, saling menghancurkan, saling berpongah dan membanggakan peradaban masing-masing. Tugas kita adalah lita’arafu (untuk saling mengenal, saling menghargai, saling memberi dan menerima) dengan landasan toleransi budaya yang kokoh, kraetif, dan dinamis. Diluar bingkai itu, kehidupan iklim di bumi ini akan tetap terasa panas dan semakin ganas.

Kini alam dikuras dengan cara yang sangat tamak dengan kepongahan peradaban. Kemajun masih saja diukur dalam matrik pertumbuhan ekonomi, capaian teknologi, dan penegmbangan informasi. Tapi untuk apa semuanya itu, sedikit sekali manusia yang mau menghiraukannya. Dalam dunia yang terpecah belah inilah umat manusia kini merangkak menuju pintu era millenium dengan perasaan bimbang, akankah jeritan fitrah manusia mendapatkan sahutan dari abad itu?. Mari bersama-sama kita amati sekiranya jika batang usia kita masih diberi nafas panjang oleh Allah SWT.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun