Mohon tunggu...
Rendi AudrianaRahman
Rendi AudrianaRahman Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia

Endiyana Rahman

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Dialog yang Ciamik di Pedesaan

14 Januari 2022   19:07 Diperbarui: 14 Januari 2022   19:12 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DIALOG YANG CIAMIK DI PEDESAAN Merasakan Semangat Muda dalam Ekranisasi Film Bentik Curuk Balas Nunjuk.
Oleh Rendi Audriana Rahman.

Menurut Pamusuk Eneste dalam bukunya (1997), ekranisasi berkembang di Indonesia mulai tahun 1984 dengan diangkatnya novel Roro Mendut karya Y. B. Mangun Wijaya menjadi film. 37 tahun berselang, fenomena ekranisasi di Indonesia terus berkembang. Telah banyak karya sastra baik cerpen atau novel yang telah diadaptasi menjadi film.

Pada akhir tahun 2021 film dengan judul Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas diadaptasi dari novel karya Eka Kurniawan dengan judul yang sama. Mengadaptasi karya sastra baik cerpen atau novel ke dalam film bukanlah pekerjaan yang ringan. Tidak sedikit penonton yang merasa kecewa kepada film hasil adaptasi atau ekranisasi. Sebabnya, film hasil ekranisasi tidak sesuai bayangan penonton ketika membaca karya sastranya. Semisal dari aktor yang dinilai kurang bisa memerankan tokoh yang dimainkan.

Dalam bukunya Sapardi Djoko Damono (2005) menyatakan "Dalam film, ekranisasi itu mempertimbangkan banyak hal yang antara lain menyangkut latar dan penokohan." Hal tersebut mencerminkan bahwa ekranisasi harus dilakukan dengan cermat.

Contohnya saja film ekranisasi Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas. Dialog dalam film tersebut menggunakan bahasa yang baku, tapi sayang, saya rasa kebanyakan aktor tidak bisa membawakan dialog tersebut dengan apik, sehingga dialog terasa kaku. Padahal dialog dengan bahasa baku akan tetap hidup, apabila aktor dapat dengan tepat membawakan dialog tersebut. Sependek saya menonton film hasil ekranisasi, yang berhasil dalam segi penokohan adalah film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang diadaptsi dari novel dengan judul yang sama karya Buya Hamka. Herjunot Ali sebagai Zainudin, saya rasa berhasil memerankan perannya, bergitu pula dengan aktor yang lain seperti Pevita Pearce yang memerankan Hayati dan Reza Rahardian yang memerankan Aziz. Dialog-dialog sungguh terasa hidup dalam film tersebut.

Aspek dialog dalam film, saya pikir tetap menjadi unsur yang penting. Apalagi dalam film bergenre romansa yang minim unsur aksi atau pertarungan dalam filmnya. Jan Van Luxemberg, Dkk. dalam bukunya (1984) menyatakan bahwa "Dialog-dialog merupakan bagian terpenting dalam sebuah drama, dan sampai taraf tertentu ini juga berlaku bagi monolog-monolog."

Meskipun drama tidak seperti film yang dapat menampilkan unsur-unsur lain dengan adanya teknik pengambilan gambar, dan sebagainya. Tetap saja dialog menjadi unsur yang penting dalam film atau pun drama. Film "Fences" yang diproduseri dan disutradarai Denzel Washington, misalnya. Film tersebut mengutamakan dialog sebagai kekuatan film. Tidak ada musik latar sama sekali di sepanjang film. Film ini menuntut para aktor untuk memberikan penjiwaan penuh terhadap perannya, memunculkan ekspresi terbaik dari dialog yang harus diucapkan. Dan sungguh, para aktor berhasil memainkan perannya dengan sangat baik.

Jadi kembali lagi, peran aktor dalam membawakan dialog sangat penting demi keberhasilan sebuah drama, dalam hal ini film. Bentik Curuk Balas Nunjuk, film ekranisasi dari cerpen dengan judul yang sama karya Ari Kpin saya pikir memiliki keunggulan dalam dialog-dialognya. Karena jika berbicara tentang hal lain seperti teknis pembuatan film, saya pikir masih banyak tambal sulam yang harus dilakukan. Mengingat pengambilan gambar atau video menggunakan Handphone. Tapi jika diawal pembuatan film menggunakan kamera yang lebih bagus, saya pikir film ini akan manis untuk ditonton. Karena selain dialog, yang enak dinikmati dalam film ini adalah musiknya.

Suara alat musik tiup seperti seruling dan harmonika, dipadukan dengan gitar terdengar merdu dan cocok jadi musik latar film. Setidaknya itu yang saya pikir merupakan keunggulan dalam film ini. Sebabnya, seperti kata Kang Icang, salah seorang yang berpengalaman di dunia film, Ia menyatakan dalam deskripsi film ini bahwa"Sanaos ieu divideo ngangge HP, tapi da nu lalajomah moal ningali kucara ieu video dijieun, nu lalajomah keukeuh hayang ngalalajoan anu hade." Kembali lagi pada dialog dalam film ini. Mendengarkan dialog yang dibawakan oleh aktor-aktornya, seperti mendengarkan seorang dalang Wayang Golek memainkan wayangnya dalam sebuah cerita.

Dialog Juragan Dogar, Kang Warsa, Kang Karta, dan Usep, terdengar familiar dalam telinga. Saya seperti mendengar Semar, Cepot dan Dorna dalam percakapan mereka di film. Hal itu memberikan kesan yang kuat pada saya ketika menonton film tersebut. Adapun peran dari para pemeran wanita tidak kalah familiar, adegan bergosip antara Ceu Kokom dan Ceu Idah mirip dengan ibu-ibu di desa yang sedang membeli sayuran. Sikap julid ibu-ibu sangat kental pada Ceu Kokom yang berusaha memberitahu Ceu Idah tentang kelakuan warga-warga di desanya. Terutama kelakuan Juragan Dogar, Kang Warsa, dan Kang Karta.

Bagi saya, menonton Bentik Curuk Balas Nunjuk semacam nostalgi di kehidupan pedesaan. Bentik Curuk Balas Nunjuk yang merupakan peribahasa dari bahasa sunda, memiliki arti senang memerintah orang lain, tapi dirinya sendiri tidak mau melakukan pekerjaannya, mirip dengan orang yang senang memperalat. Bentik Curuk Balas Nunjuk sendiri merupakan salah satu cerpen dalam kumpulan cerpen Ngalalakonkeun Paribasa karya Ari Kpin. Judul kumcer yang brilian. Saya membayangkan bagaimana peribahasa di wujudkan dalam perilaku seseorang dan diceritakan lewat karya sastra atau film.

Sekali lagi sungguh judul yang brilian. Terlepas dari itu semua, antusias dari seniman senior yang berperan dalam film ini patut diapresiasi. Dalam kondisi pandemi yang masih terjadi, mereka masih semangat untuk berkarya. Utamanya para aktor. Totalitas mereka dalam berakting mampu menyampaikan pesan dari film ini. Sebagai penutup, film Bentik Curuk Balas Nunjuk ini menarik untuk ditonton. Kualitas dari para seniman senior terlihat dalam film ini, dan hal itu dapat dibagikan kepada orang-orang yang ingin belajar dalam berkesenian.

"Tak ada jalan raya yang tak bergelombang." Meski pun dalam segi teknis film ini terdapat kekurangan, bukan berarti tidak ada kelebihan. Semisal dari segi musik yang merdu untuk didengar, suara seruling, harmonika dan gitar yang dipadukan, sangat pas untuk suasana di pedesaan. Saya harap kedepannya Jamuga Cinema yang memproduksi film ini terus berkarya. Layaknya sebuah pohon yang terus bertunas, melahirkan potensi-potensi masyarakat di daerah untuk berkesenian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun