Mohon tunggu...
Rendi Septian
Rendi Septian Mohon Tunggu... Guru - Founder Bimbel The Simbi

Seorang pengajar yang ingin berbagi ilmu, kisah dan pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Solilokui Sepatu Jiwa

27 Juni 2022   06:00 Diperbarui: 27 Juni 2022   06:22 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku memang tidak memiliki mata, tetapi aku dapat melihat indahnya kota. Tidak memiliki kulit tetapi  dapat merasakan dinginnya air, panasnya mentari dan hangatnya sentuhan tangan tuanku. Tuan sangat menyukai travelling. Momen liburnya dari aktivitas mendesain, tuan isi dengan menikmati sore hari berkeliling kota dengan vespa antik kesayangannya. 

Akan tetapi pada suatu senja hujan turun begitu deras, hingga  aku merasa sangat kedinginan. Seakan tuan mengerti keadaanku, ia kemudian berhenti di salah satu toserba, masuk ke dalamnya, lalu membeli sepasang sandal. Berapa banyak pasang mata yang menatapku iri karena ketika berteduh, tuanku begitu sangat menyayangiku. Diganti nya aku dengan sandal. Sementara yang lain mesti menggigil kedinginan tak sedikit dari mereka yang harus berjuang hingga sesak nafas dalam kubangan air. 

Momen itu terjadi beberapa waktu yang lalu, dan kini aku hanya berdiam diri jemu dalam kotak sempit nan pengap.

Malangnya diriku ini, aku dimasukkan dalam kotak yang sama sekali tidak ada celah. Gelap dan hening. Sesekali kudengar derap langkah kaki. Aku selalu berharap itulah momen tuanku kembali mengajakku jalan-jalan dengan vespa antik nya. Warna vespa nya sangat serasi dan senada dengan warnaku. Aku begitu bangga ketika berkumpul bersama sesama anggota klub tuanku. Meski yang lain terlihat lebih mahal, tetapi cara tuanku  memperlakukanku sungguh sangat mengesankan.

Tetapi itu dahulu, sebulan terakhir. Setelah percakapan tuanku dengan salah satu temannya dan mengatakan bahwa "Apa tidak sebaiknya engkau ganti sepatu usang mu itu dengan  yang baru?"

Tetapi tuanku tetap memuji ku seperti biasanya. Ia menatapku sambil tersenyum, lalu menjawab pertanyaan temannya itu dengan "Apa masalahnya dengan sepatu ku ini? Selama aku nyaman memakai nya maka buat apa sepatu yang baru ?" 

Jawaban biasa yang sering aku dengar dari tuanku itu. Ia selalu membuatku bahagia karena selama ini aku selalu bersamanya. Tetapi mengapa sudah lama sekali kotak ini tak pernah dibukanya? Apakah tuanku terpengaruh oleh temannya itu ataukah sedang sibuk dengan pekerjaan desain nya yang sudah deadline hingga mengurung diri dalam ruang kerjanya ? Ah, andai ada sedikit celah agar aku dapat melihat apa yang sebenarnya terjadi.

Aku diletakkannya dalam laci bawah tangga. Jarang sekali anggota keluarga yang menyadari keberadaanku di sini selain tuanku. Karena memang hanya tuanku sajalah yang benar-benar menjaga setiap barang yang ia miliki, terlebih diriku dan vespa antiknya itu. Bukan karena tuanku tidak memiliki cukup uang, akan tetapi tuanku sangat mencintai barang apapun yang sudah membuatnya nyaman. 

Siapa bilang aku hanya diajak berkeliling kota? Aku bahkan pernah berpelesir keliling dunia. Ada diantara barisan sepatu yang sedang menunggu cemas take off pesawat. Merasakan romantisnya menara Eiffel, dingin nya salju Kremlin dan megah nya stadion Old Trafford, markas besar si Setan Merah.

Itu dahulu. Ingin rasanya aku berteriak sekencang-kencangnya agar tuanku mendengar suara ku. Atau setidaknya suara ku ini memancing si Garfield, kucing tambun kesayangan tuan, untuk mendekatiku lalu kemudian, Taraa !! Dunia kembali cerah. Aku dapat melihat lagi dunia meski hanya dalam rumah. Tak apa jika tuanku punya yang baru, asalkan aku tahu tuanku dalam keadaan baik. Tetapi itu hanya menjadi angan-angan saja. Selain suara cicak yang berkelahi juga suara detak jam dinding, sisanya hanya sepi. 

But wait , seperti nya aku mendengar samar suara gaduh di teras depan. Suara yang tidak pernah terdengar selama aku terkurung dalam kotak ini. Oh ya, itu suara ayah dan ibunya tuan. Aku hafal semua suara yang tinggal di rumah ini. Aku perhatikan dengan saksama setiap dari mereka yang berbicara. Aku mengenali ada suara yang lain namun entah siapa. Tetapi mengapa suara tuan tidak terdengar sama sekali. 

Hatiku sungguh tak menentu. Ada apa kah gerangan? 

Sesekali terdengar suara isak tangis dan tepukkan tangan pada pundak ayahnya tuan. Aku memicingkan sekali lagi pendengaranku. Memusatkan perhatian ku pada setiap percakapan. Menanti dengan cemas suara tuanku hadir dalam percakapan yang sedang berlangsung. 

Setelah lama menanti, akhir nya aku faham isi percakapan mereka meskipun samar. Mengapa tuan tidak terdengar suaranya karena tuan lah yang menjadi topik pembicaraan. Sabar, sabar dan sabar satu dari ribuan kata yang terucap. Hah, sabar ? Memang apa yang telah terjadi pada tuan? Degup jantungku semakin tak karuan. Jangan-jangan terjadi sesuatu pada tuan. 

Mengapa tuan memilih sepatu itu dan menyimpan ku dalam kotak ? Ketika waktu terakhir aku melihat tuan sedang bingung untuk menentukan sepatu mana yang akan ia gunakan dalam perjalanannya ke ibu kota. Aku sebenarnya sangat kecewa ketika tuan lebih memilih menyimpan ku dalam kotak. Ingin waktu itu aku merajuk agar aku saja yang dipakai tuan. Karena aku pasti selalu dapat diandalkan. Bukankah tuan pernah selamat dari kecelakaan gegara aku tersangkut dalam besi penyangga sungai. Seluruh tubuh tuan sudah masuk dalam air yang meluap. Tetapi aku dengan sekuat tenaga bertahan dan akhirnya kami selamat. Tapi, dengan segala pertimbangan tuan, nasib ku kini di dalam kotak. 

Suara derap langkah seseorang telah membuyarkan lamunanku. Itu adalah derap langkah ibunya tuan yang sangat aku kenal. Langkah nya pelan namun pasti. Tiba-tiba kotak tempatku dikurung terasa berguncang. Dalam hatiku bersorak sorai, ini lah hari kebebasan yang kutunggu-tunggu. Mengapa bukan tuan? Ah tak apa asalkan aku bisa segera mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada tuan.

Perlahan dibukanya tutup kotak. Semburat cahaya lampu  menyilaukan pandanganku. Udara segar ruangan segera memenuhi rongga dadaku. Laksana bayi yang baru dilahirkan menatap dunia. Diambil nya aku perlahan. Dipeluknya diriku sambil sesekali ibunya tuan meneteskan air mata. Entah air mata bahagia ataukah kesedihan. Aku masih belum memahami apa yang sedang terjadi. 

Sedetik kemudian rasa bahagia itu segera lenyap ketika ibunya tuan kembali memasukkan aku dalam kotak. Kali ini, bukan hanya dalam kotak tetapi juga dimasukkannya aku ke dalam sebuah kantong plastik. Terdengar suara selotip saling silang membungkus diriku. Akan kemanakah diriku? 

Oh tuan, di manakah diri tuan ? Aku seperti akan segera meninggalkan rumah ini. Terdengar sayup suara ibu berkata dengan seseorang. Katanya terserah saja mau dikemanakan sepatu itu. Karena ibu tidak ingin menyisakan sesuatu yang membuat dirinya akan menangis sepanjang waktu. 

Aku yang mendengar itu segera menumpahkan air mata. Tak kuasa untuk berganti tuan meskipun bisa jadi tuan baru ku itu sama baiknya. 

Mesin motor telah dinyalakan. Motor melaju dengan sangat kencang. Aku berusaha sekuat tenaga untuk bisa menjatuhkan diri dari motor itu. Tepat di tikungan pertama aku terjatuh. Pucuk dicinta ulampun tiba. Truk di belakang motor kurir itu tidak menyadari bahwa aku terjatuh. Tubuhku terlindas truk dan aku terlempar ke dalam sungai. Seketika aku berpindah alam. Lalu seperti menyiratkan apa yang terjadi pada tuan di ibu kota sana, seperti inilah perjalanan kami. Perjalanan melintasi ruang dan waktu hingga menghantarkan ku kembali pada tuanku meski dalam dimensi lain. 

Tuan, aku datang. Kulihat tuan sedang berdiam diri di pinggir sungai. Sungai ibu kota yang telah memisahkan kami. Yang telah membuat seluruh dunia merasa kehilangan, tak terkecuali diriku. Ku lihat dari jauh wajah yang tengah tertunduk seolah sedang mencari-cari sesuatu. Dan benar saja sepatu itu tidak ada. Ia tidak menemani tuan. Awas saja jika aku bertemu dengan dia. Akan ku berikan ia pelajaran. 

Kehadiran ku masih belum disadari tuan. Padahal aku sedang bergerak mendekat ke arah tuan seiring arah aliran sungai yang membawa ku untuk segera tuan pakai kembali dan mengarungi kisah bersama-sama lagi selamanya. 

Tamat 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun