Mohon tunggu...
Rendi Septian
Rendi Septian Mohon Tunggu... Guru - Founder Bimbel The Simbi

Seorang pengajar yang ingin berbagi ilmu, kisah dan pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Solilokui Sepatu Jiwa

27 Juni 2022   06:00 Diperbarui: 27 Juni 2022   06:22 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hatiku sungguh tak menentu. Ada apa kah gerangan? 

Sesekali terdengar suara isak tangis dan tepukkan tangan pada pundak ayahnya tuan. Aku memicingkan sekali lagi pendengaranku. Memusatkan perhatian ku pada setiap percakapan. Menanti dengan cemas suara tuanku hadir dalam percakapan yang sedang berlangsung. 

Setelah lama menanti, akhir nya aku faham isi percakapan mereka meskipun samar. Mengapa tuan tidak terdengar suaranya karena tuan lah yang menjadi topik pembicaraan. Sabar, sabar dan sabar satu dari ribuan kata yang terucap. Hah, sabar ? Memang apa yang telah terjadi pada tuan? Degup jantungku semakin tak karuan. Jangan-jangan terjadi sesuatu pada tuan. 

Mengapa tuan memilih sepatu itu dan menyimpan ku dalam kotak ? Ketika waktu terakhir aku melihat tuan sedang bingung untuk menentukan sepatu mana yang akan ia gunakan dalam perjalanannya ke ibu kota. Aku sebenarnya sangat kecewa ketika tuan lebih memilih menyimpan ku dalam kotak. Ingin waktu itu aku merajuk agar aku saja yang dipakai tuan. Karena aku pasti selalu dapat diandalkan. Bukankah tuan pernah selamat dari kecelakaan gegara aku tersangkut dalam besi penyangga sungai. Seluruh tubuh tuan sudah masuk dalam air yang meluap. Tetapi aku dengan sekuat tenaga bertahan dan akhirnya kami selamat. Tapi, dengan segala pertimbangan tuan, nasib ku kini di dalam kotak. 

Suara derap langkah seseorang telah membuyarkan lamunanku. Itu adalah derap langkah ibunya tuan yang sangat aku kenal. Langkah nya pelan namun pasti. Tiba-tiba kotak tempatku dikurung terasa berguncang. Dalam hatiku bersorak sorai, ini lah hari kebebasan yang kutunggu-tunggu. Mengapa bukan tuan? Ah tak apa asalkan aku bisa segera mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada tuan.

Perlahan dibukanya tutup kotak. Semburat cahaya lampu  menyilaukan pandanganku. Udara segar ruangan segera memenuhi rongga dadaku. Laksana bayi yang baru dilahirkan menatap dunia. Diambil nya aku perlahan. Dipeluknya diriku sambil sesekali ibunya tuan meneteskan air mata. Entah air mata bahagia ataukah kesedihan. Aku masih belum memahami apa yang sedang terjadi. 

Sedetik kemudian rasa bahagia itu segera lenyap ketika ibunya tuan kembali memasukkan aku dalam kotak. Kali ini, bukan hanya dalam kotak tetapi juga dimasukkannya aku ke dalam sebuah kantong plastik. Terdengar suara selotip saling silang membungkus diriku. Akan kemanakah diriku? 

Oh tuan, di manakah diri tuan ? Aku seperti akan segera meninggalkan rumah ini. Terdengar sayup suara ibu berkata dengan seseorang. Katanya terserah saja mau dikemanakan sepatu itu. Karena ibu tidak ingin menyisakan sesuatu yang membuat dirinya akan menangis sepanjang waktu. 

Aku yang mendengar itu segera menumpahkan air mata. Tak kuasa untuk berganti tuan meskipun bisa jadi tuan baru ku itu sama baiknya. 

Mesin motor telah dinyalakan. Motor melaju dengan sangat kencang. Aku berusaha sekuat tenaga untuk bisa menjatuhkan diri dari motor itu. Tepat di tikungan pertama aku terjatuh. Pucuk dicinta ulampun tiba. Truk di belakang motor kurir itu tidak menyadari bahwa aku terjatuh. Tubuhku terlindas truk dan aku terlempar ke dalam sungai. Seketika aku berpindah alam. Lalu seperti menyiratkan apa yang terjadi pada tuan di ibu kota sana, seperti inilah perjalanan kami. Perjalanan melintasi ruang dan waktu hingga menghantarkan ku kembali pada tuanku meski dalam dimensi lain. 

Tuan, aku datang. Kulihat tuan sedang berdiam diri di pinggir sungai. Sungai ibu kota yang telah memisahkan kami. Yang telah membuat seluruh dunia merasa kehilangan, tak terkecuali diriku. Ku lihat dari jauh wajah yang tengah tertunduk seolah sedang mencari-cari sesuatu. Dan benar saja sepatu itu tidak ada. Ia tidak menemani tuan. Awas saja jika aku bertemu dengan dia. Akan ku berikan ia pelajaran. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun